Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

Waktu tengah malam adalah waktu di mana sebagian manusia menghabiskan tiap menit untuk beristirahat demi mengumpulkan kembali energi mereka yang terlepas. Hal itulah yang membuat malam begitu sunyi tanpa adanya suara bising dari beberapa manusia yang ada. Malam hari juga kerap kali menjadi waktu yang tepat bagi para manusia untuk merenungkan tentang jalan hidupnya akhir-akhir ini. Dengan keadaan yang sunyi, membuat manusia-manusia itu dapat berpikir dengan tenang tanpa ada yang mengganggu sedikit pun.

Berbeda dengan manusia-manusia lain, seorang pria yang telah menginjak usia tiga puluh lebih itu baru saja pulang dari kegiatannya pada hari ini, yakni mencetak semua dokumen-dokumen tentang gadis bernama Lalita yang diam-diam disukainya. Seluruh dokumen itu telah disusun secara rapi oleh Geon, asistennya. Tentu hal itu dilakukannya setelah ia sembuh dari pingsannya. Kini beberapa bekas luka masih menghiasi wajahnya.

Beruntung, saat itu Geon berhasil menyelamatkan diri dari amukan anak-anak panti yang membuatnya tersiksa. Ia berhasil melarikan diri dengan mengecoh mereka semua dengan ide-ide cemerlangnya. Lebih beruntungnya lagi, asisten itu sama sekali tak menampakkan atau membocorkan identitas dirinya sendiri, mengingat ketika acara penyerbuan anak-anak panti, ia lebih memfokuskan untuk melindungi maskernya agar tak terlepas dan membuat dirinya menjadi buronan sana sini. Asisten yang satu itu memang memiliki kecerdasan yang tak diherankan lagi.

Dengan kecerdasannya itu selalu membuat Geon bisa diandalkan dalam berbagai tugas yang diberikan oleh bosnya, baik berupa tugas ringan, sedang, sulit, hingga yang paling sulit. Namun, Geon selalu bisa menjalani semuanya itu dengan baik, membuatnya yang akhirnya menjadi tangan kanan bosnya, yakni Daniel.

Senyum manis merekah di bibir Daniel ketika melihat salah satu foto Lalita. Gadis itu tampak sangat cantik, membuat Daniel terkagum-kagum ketika melihatnya. Beberapa menit dilalui Daniel dengan menatap foto itu lekat-lekat, seperti tengah berkhayal tentang kehidupannya dengan gadis itu. Tanpa ia sadari bahwa mungkin saat ini ia sudah seperti orang gila saja yang tersenyum sendiri tanpa ada hal lucu yang terjadi.

Setelah puas menatap foto itu, Daniel beralih ke dokumen-dokumen lain yang didapatkannya, seperti informasi tentang latar belakang Lalita, sekolahnya, sejarah panti asuhan itu, dan masih banyak lagi informasi yang bisa Daniel ulik. Namun, semua perhatiannya tertuju saat ia membaca salah satu dokumen yang menjabarkan tentang kondisi panti asuhan yang menurutnya agak miris.

Daniel tak menyangka bila panti asuhan yang ditinggali gadis itu ternyata telah berdiri sejak lama, dan bisa juga disebut sebagai panti asuhan tua karena beberapa kerangka bangunannya yang sudah mulai rusak, sangat berbahaya jika sewaktu-waktu roboh dan memakan korban jiwa.

Namun, di balik semua itu, ide jahat muncul di otaknya. Daniel menyeringai, lalu pandangannya menengadah ke atas, membayangkan jika rencananya kali ini berhasil, akan sangat mudah baginya untuk mendapatkan Lalita. Walaupun rencana yang dipikirkannya saat ini jauh dari kata baik, semua akan tetap dilakukannya tak terkecuali dengan menempuh jalan setan sekali pun. Itulah Daniel, selalu berjuang keras mendapatkan apa yang diinginkannya.

Namun, seseorang tak layak disebut sebagai bos jika tak ada pendamping atau anak buah yang menemaninya dalam melakukan suatu aksi. Oleh karena itu, Daniel merogoh saku celananya, lalu menemukan sebuah benda pipih. Kemudian, ia membuka salah satu dari daftar kontak yang ada di ponselnya, lalu menelepon orang tersebut. Nada dering menggema di seluruh ruangan. Tak ada jawaban apa pun dari seberapa sana. Hal itu membuat Daniel yang tak kenal berhenti untuk melakukan tugasnya itu. Setelah berkali-kali percobaan menelepon, akhirnya seorang pria dengan nada bicara yang agak serak terdengar dari sana.

“Halo, Bos, kenapa tengah malam begini telepon?” tanyanya dengan suara menguap yang sangat jelas terdengar di ponsel Daniel. Aura dari orang itu dirasakan oleh Daniel, membuatnya menjauh dari telepon selama sesaat. Daniel mengernyitkan dahi, lalu terkekeh geli. “Bau mulut kamu sampai sini, nih. Sikat gigi dulu, sana!” pintanya bercanda.

Geon tak menghiraukan hal itu. Ia masih terlena dengan rasa kantuknya, berharap bisa kembali memeluk bantal gulingnya dengan bau air liur yang sudah tak tertolong lagi. “Lagian, malam-malam gini telepon ada apa, sih? Ada tugas lagi? Harus banget, ya, malam-malam begini? Ini bener-bener tidak ada waktu istirahat buat aku?” oceh Geon sebelum Daniel menjelaskannya. Hal itu membuat Daniel sedikit emosi.

“Siapa juga yang mau memberi tugas jam segini? Asal kamu tahu, ya, tugas yang kuberikan saat ini harus kamu laksanakan besok, bukan malam ini juga, sotoy! Gini-gini juga aku masih kenal dengan rasa manusiawi,” jelas Daniel, membuat Geon menyengir. Ia lalu melontarkan sebuah kalimat yang sangat tepat.

“Jadi, apa rencana kita kali ini? Jangan bilang rencana ini lagi-lagi aku yang hadapain sendiri?” tanya Geon dengan nada yang masih sedikit curiga. Ia masih trauma jika dilibatkan dalam tugas sendiri tanpa adanya pendamping. Cukup kejadian mengerikan yang terjadi di panti asuhan yang membuatnya mengecap bahwa panti asuhan merupakan tempat yang membahayakan baginya saat ini, apalagi Geon belum seratus persen yakin bahwa beberapa orang di sana sama sekali tidak mengenalinya ketika peristiwa itu terjadi.

“Oh, tentu tidak. Khusus untuk rencana ini, aku dan kamu yang harus bekerja sama,” bantah Daniel. Senyum seringai kembali terbit di bibirnya. Hal itu membuat asistennya, Geon tampak bingung dengan apa yang akan disampaikan olehnya. Geon merasa bahwa saat ini Daniel benar-benar serius dengan rencana yang akan dilaksanakan, terlihat dari suaranya yang menjadi penanda bahwa saat ini ia sedang berada dalam mode serius.

“Dan, gue akui, rencana kita kali ini agak ....” Daniel menghentikan ucapnya sejenak, membuat Geon penasaran dengan apa yang sedang dikatakan olehnya. “Licik,” sambungnya. Seketika Geon terperanjat, ia merasa bahwa rencana kali ini bukanlah rencana-rencana yang satu level dengan sebelumnya. Petualangan sesungguhnya akan dimulai di rencana yang satu ini, dengan banyak risiko yang menerjang ketika salah dalam memilih langkah.

“Maksud kamu, kita bakalan berbuat kriminal?” tanya Geon yang masih tak paham dengan apa yang dimaksud Daniel, bosnya.

Daniel terkekeh pelan. “Kurang tepat, kita tidak akan menempuh jalan yang sepenuhnya kriminal seperti yang biasa dilakukan para bajingan di luar sana. Kita menempuh jalan yang licik, itu artinya bisa saja kita terjerumus ke dalam perbuatan kriminal, bisa juga tidak jika kita lebih berhati-hati,” jelas Daniel. Entah kenapa, Geon merasa bahwa rencana yang dibuatnya kali ini akan jauh lebih dahsyat dari rencana-rencana sebelumnya. Merasa tertarik, ia pun melontarkan kalimat tanya untuk ke sekian kalinya. “Jadi, bisa kamu jelasin, bagaimana rencana itu berjalan?”

“Of course! Dengan senang hati.” Daniel tersenyum penuh arti. Malam ini, ia pun menjelaskan semua rencananya kepada asistennya. Setelah semua hal telah disampaikannya, Geon menggelengkan kepala. Hanya sebuah kalimatlah yang mampu mendeskripsikan tentang semua rencana itu.

“Benar-benar licik, ha-ha-ha ...!”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel