Bab 3
Mungkin sudah satu jam lebih yang dihabiskan Geon untuk bersemayam di depan minimarket. Beribu-ribu foto perempuan telah memenuhi galeri ponselnya. Mungkin jika ia kepergok orang lain, akan dianggap sebagai pria cabul.
Tentu saja, semua hal yang dilakukannya tak ada hubungannya sama sekali dengan naluri nafsunya sendiri. Semua yang Geon lakukan di bawah perintah bosnya, Daniel yang menurutnya agak menyebalkan. Bagaimana tidak? Bosnya itu menyuruhnya untuk memotret gadis yang sedang dicarinya. Mungkin akan terlihat mudah bila ada petunjuk yang jelas dan pasti.
Namun, hal itu sama sekali tak didapatkan Geon, bosnya itu hanya menyuruhnya untuk memotret seorang gadis di antara jutaan gadis yang ada di dunia in dengan catatan petunjuk yang nihil. Beberapa kali Geon berdecak kesal, ia mengentak-entakkan kakinya dengan pelan, takut jika aksinya itu disadari orang-orang sekitar. Berjuta-juta foto telah dikirimkannya ke nomor Daniel. Tak ada satu pun foto yang diterima dari beratus-ratus foto yang telah ia ambil.
Geon merasa semua usahanya sia-sia. Ia terduduk sembari merenung akan nasibnya yang seperti diperalat oleh bos menyebalkannya itu. Di tengah lamunannya, sebuah notifikasi dari ponselnya berbunyi. Geon segera membuka pesan yang baru saja dikirimkan Daniel.
[Kamu tidak perlu foto semua cewek yang ada. Cewek yang aku cari masih SMA]
Tentu saja ia terkejut membaca pesan dari bosnya itu. Daniel bukanlah pria kemarin sore yang baru berusia puluhan atau bahkan dua puluhan. Saat ini umurnya telah mencapai 32 tahun, sangat tidak cocok bila disandingkan dengan gadis SMA dengan wajah yang masih polos. Sebuah pikiran jahil tersebit di otaknya, Geon membalas pesan itu dengan senyum yang mengembang di bibir.
[Cewek yang bos cari masih SMA? Gila, ternyata bos aku seorang pedofil.]
Geon terkekeh pelan setelah mengirimkan sebuah ejekan kepada Daniel melalui pesan. Ia tak menyangka bahwa Daniel pintar dalam memilih pasangan yang masih muda, jauh dari usianya yang cocok disebut sebagai om-om. Mungkin jika ia berjalan bersama gadis SMA idamannya itu, semua orang pasti akan mengira jika itu adalah bapak dan anak.
[Diam lo!] balas Daniel. Walaupun melalui pesan, Geon bisa membayangkan wajah kesalnya yang sangat lucu baginya. Beruntung, saat ini bosnya itu tak ada di dekatnya. Jadi, Geon bisa tertawa puas tanpa ada sepasang sepatu yang terlempar ke arahnya.
[Bos bisa aja yang yang masih muda. Inget umur, he-he-he ....]
[Potong gaji?]
Raut wajah pucat seketika terpampang di wajah Geon. Ia menelan ludah, lalu mengetik sebuah pesan lagi dengan buru-buru, takut jika ancaman bosnya itu menjadi nyata.
[Janganlah, Bos, Geon cuma bercanda. Tolong maafin, ya? Please ....]
[Ya sudah, kalau tidak mau potong gaji, selesain tugas kamu tanpa banyak omong!]
[Siap, Bos!]
Lagi-lagi Geon mengerang pelan. Ia semakin yakin bahwa bosnya itu sedang memperalat dirinya. Mungkin ia tak akan menyia-nyiakan waktunya seperti orang cabul yang memotret-motret seluruh gadis yang lalu lalang jika petunjuk diberikan lebih awal. Tak bisa berbuat banyak, Geon terpaksa menuruti perintah dari bosnya itu.
Sekitar dua puluh siswi SMA telah ia dapatkan fotonya. Kini saatnya ia mengirimkannya kepada Daniel. Sembari menunggu balasan, Geon memasuki minimarket untuk membeli sebuah es krim yang kemudian bisa membantunya untuk mendinginkan kepala yang sudah panas. Setengah bagian ia habiskan kurang dari dua menit. Notifikasi kembali berbunyi, membuatnya terperanjat sesaat sebelum ia membuka pesan itu.
[Dari semua foto yang kamu ambil, tidak ada satu pun cewek yang aku cari.]
Geon melempar pelan ponselnya ke arah kursi kosong yang ada di sampingnya. Ia melanjutkan untuk menikmati es krimnya sembari tak memedulikan beberapa notifikasi yang terus berbunyi itu. Satu menit berlalu. Setelah es krim yang ia makan telah ludes, barulah Geon kembali membuka ponselnya.
[Tapi .... Ada seorang siswi yang pakai seragam sama dengan cewek yang aku inginkan.]
Seperti dirasuki sesuatu, mendadak semangat Geon kembali dengan cepat. Ia tampak tertarik dengan pesan yang dikirim Daniel kali ini, menandakan bahwa tugasnya tak jauh lagi untuk mencapai finis. Geon menyimak pesan terakhir dengan saksama.
[Foto yang satu ini, seragam yang digunakan siswi itu sama dengan seragam cewek yang aku lihat waktu itu. Geon, mungkin kamu hanya perlu memotret beberapa siswi dengan seragam yang sama.]
“Yosh!” Geon beranjak dari kursinya, membuatnya menjadi pusat perhatian dengan sesaat. Buru-buru Geon mengambil sikap tenang, seolah tak ada hal yang baru saja ia lakukan. Rasa malu kini datang menggerayanginya.
Sesuai perintah terakhir yang diberikan, Geon hanya memotret beberapa siswi dengan seragam yang sama di salah satu hasil jepretan sebelumnya. Terkumpul hingga lima belas foto yang ia dapatkan. Seperti sebelumnya, ia kembali mengirim beberapa foto itu kepada Daniel, bosnya, berharap ini adalah usahanya yang terakhir kali.
Sekian kali notifikasi di ponselnya mengalunkan nada yang telah diatur. Dengan sigap Geon membaca pesan yang terkirim.
[That’s it! Ini adalah cewek yang aku cari! Akhirnya ketemu juga. Lo memang asisten terbaik!]
Walaupun kini tubuhnya tak beraksi apa pun—mengingat aksi terakhir yang membuat malu setengah mati, hati Geon seperti melompat-lompat riang ketika tahu bahwa semuanya telah berakhir. Dihapusnya seluruh foto hasil jepretannya tadi, kecuali foto gadis yang Daniel cari. Geon takut jika ia dituduh sebagai pedofil karena sering mengoleksi foto anak di bawah umur. Cukup bosnya saja yang aneh, tidak dengannya. Geon lalu membaca pesan selanjutnya.
[Lalita Ningrum, nama yang bagus. Oke!]
kata Daniel yang tiba-tiba saja mengetahui nama dari gadis tersebut tanpa diberitahu. Tentu saja, hal itu bisa dia lakukan karena melihat bet nama yang terpasang di salah satu bagian seragamnya.
Tiba-tiba rasa tak enak kembali menghantui hati Geon. Ia menatap lekat-lekat kontak bosnya itu yang masih dalam keadaan typing, menunggu pesan selanjutnya dengan kegelisahan yang mendampinginya. Benar saja, semua rasa itu menjelma menjadi nyata, ketika satu pesan lagi terkirim setelah lama menunggu.
[Tugas baru untuk kamu. Aku mau kamu cari tahu siapa Lalita ini. Seluruh informasi yang kamu dapatkan segera lapor ke aku. Setelah aku merasa bahwa semua informasi telah cukup, barulah giliran aku yang turun tangan.]
[Siap, Bos! Terima kasih karena telah mempercayakan tugas yang amat berat ini kepada Geon :)]
Geon memasukkan ponselnya ke dalam saku, lalu menendang batu tak bersalah yang ada di hadapannya. Kini saatnya untuk memulai misi baru. Diamatinya gadis bernama Lalita itu, lalu diam-diam Geon mengikutinya dengan tidak mencolok. Kali ini, tugas yang diembannya begitu berat. Namun, sebagai asisten profesional, meski memendam rasa kesal yang sangat besar kepada bosnya, tak urung ia tetap akan menggeluti semua tugasnya hingga selesai.