Bab 6
Diana pulang lebih awal dari restoran tempat ia bekerja. Dia pun menjemput Hany tepat waktu, tidak seperti biasanya yang selalu telat. Hany pun merasa heran dengan perubahan sikap Ibunya, tapi dia juga senang karena tak harus menunggu lama Ibunya menjemput.
"Ma, Om Ardhi gak jemput Mama lagi?" Tanya Hany dengan polos. Diana yang sedang berjalan sembari menuntun Hany pun terdiam sesaat kemudian melanjutkan langkahnya lagi.
"Tidak." Jawab Diana singkat. Hany menghela nafas lelah. Dia senang akhir-akhir ini Ardhi menjemput dia dan Ibunya karena mereka tak harus jalan kaki untuk sampai ke apartemen.
Diana berjalan dengan tatapan kosong. Dia tahu kalau putrinya itu senang dijemput Ardhi, begitu juga Diana. Tapi, setelah apa yang dilakukan Ardhi kemarin padanya membuat Diana ingin menjauh. Bahkan kalau bisa mereka tak bertemu lagi.
Diana marah dengan apa yang dilakukan Ardhi. Baru seminggu mereka bertemu, Ardhi berani-beraninya menciumnya. Bukan hanya itu, tapi juga karena Ardhi yang mengatakan peduli padanya.
Diana tersenyum sinis. Apa yang dikatakan Ardhi kemarin itu tidak mungkin. Diana bisa menebak kalau Ardhi orang dari kalangan atas, terlihat dari penampilan dan juga mobil yang dipakainya. Bukan seperti Diana yang hanya seorang pelayan.
Diana tak berharap lebih, dia cukup senang Ardhi menjadi teman. Tapi, setelah mendengar ucapan Ardhi kemarin, Diana tahu kalau dia harus menjauh. Karena Diana juga tahu, berhubungan dengan orang-orang kaya macam Ardhi hanya akan menempatkannya dalam masalah.
BRUUKK
Diana mengerang sakit saat dia jatuh terduduk ke trotoar.
"Mama gak apa-apa?" Tanya Hany khawatir. Diana tersenyum kemudian menggeleng.
"Maaf aku tak sengaja." Diana mendongak menatap siapa orang yang ditabrak nya. Diana cepat bangkit dan mundur beberapa langkah.
"Ah rupanya kau Diana." Ucap orang itu diselingi tawa. Diana pun kaget, saat mengetahui orang yang ditabrak nya adalah Rian, teman SMA-nya sekaligus sahabat mendiang suaminya dulu. Diana tersenyum kikuk.
"Bagaimana kabarmu?" Tanya Rian dengan senyuman.
"Baik." Jawab Diana singkat. Mereka pun terdiam cukup lama. Diana berniat untuk melanjutkan perjalanan pulangnya.
"Aku duluan." Pamit Diana. Dia pun pergi tanpa berbicara lagi. Tanpa Diana sadari, Rian terus memperhatikannya. Kemudian sebuah seringai licik muncul di bibir Rian.
'Akhirnya aku menemukan mu.'
.
.
.
Ardhi berjalan dengan tergesa-gesa. Matanya melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 13.45. Dia telat menjemput Diana dan Hany karena meeting dadakan.
Ardhi sudah berpikir, pasti Diana dan Hany sudah sampai di apartemen mereka. Ardhi menghela nafas panjang. Kemudian Ardhi bersiap untuk pergi ke apartemen Diana. Tapi, seseorang menghentikannya.
"Bapak mau kemana?" Ardhi melirik sekretarisnya.
"Bukan urusanmu." Jawab Ardhi dengan tenang.
"Tapi Pak, ada beberapa dokumen yang harus Bapak tanda tangani." Ucap Alia lagi. Ardhi yang semula sudah berjalan kini kembali berhenti dan menatap tajam Alia.
"Tinggal kamu simpan di meja saya."
"Ta-tapi Pak-"
"Alia, kalau kau masih ingin bekerja disini lakukanlah tugasmu dan jangan coba-coba mengaturku. Aku atasanmu." Alia langsung mengatupkan bibirnya. Hatinya terasa sakit dan matanya pun terasa panas.
"Ba-baik Pak." Setelah mengatakan itu Alia pergi ke ruangan nya sendiri dengan kepala menunduk.
Ardhi tak peduli dengan sekretarisnya itu. Sekarang yang menjadi tujuannya adalah apartemen Diana.
.
.
.
Ardhi mengetuk pintu kayu yang cat nya sudah kusam itu berkali-kali. Tak ada jawaban dari sang pemilik tempat. Setelah itu Ardhi kembali mengetuk pintu kayu itu dan pintu pun terbuka menampakkan seorang wanita yang terlihat kaget melihat Ardhi.
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Diana dengan sinis. Diana tak akan segan-segan untuk mengusir Ardhi.
"Kau tak membawaku masuk?" Diana menatap tajam Ardhi. Bukannya menjawab pertanyaan Diana, Ardhi malah balik bertanya. Akhirnya Diana pun membuka pintunya dengan lebar dan membiarkan Ardhi masuk.
Diana mengerutkan keningnya melihat sikap Ardhi. Ardhi terlihat seperti bukan seorang tamu, seolah-olah dia adalah pemilik apartemen. Kemudian Diana tersenyum sinis. Orang kaya memang suka seenaknya pada orang yang lebih rendah darinya.
Diana hendak pergi ke kamar Hany untuk melihat putrinya yang sedang mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi, sebuah suara memanggilnya.
"Diana, aku ingin bicara denganmu." Diana pun membalik arah dan berjalan ke arah sofa. Diana mendudukkan dirinya di depan Ardhi.
"Apa?" Tanya Diana ketus. Dia masih marah atas apa yang Ardhi lakukan kemarin. Dia bukanlah wanita murahan yang akan dengan senang hati dicium orang kaya seperti Ardhi. Diana merasa dirinya direndahkan.
Ardhi menarik nafas panjang dan menghembuskan nya dengan pelan. Dia sudah memikirkan semuanya dari semalam. Dan Ardhi akan mengatakan semuanya pada Diana sekarang.
"Aku ingin mengenalmu lebih jauh." Diana menatap Ardhi dengan tatapan tak mengerti. Ardhi pun menjelaskan maksudnya.
"Maafkan aku atas apa yang aku lakukan kemarin. Aku tahu, aku salah. Aku hanya ingin memberitahunu tentang apa yang kurasakan terhadapmu." Ardhi yang terbiasa bicara seadanya pun kini berbicara panjang lebar. Hanya untuk menjelaskan maksudnya kepada wanita dihadapannya.
"Aku merasakan hal aneh saat didekatmu. Aku merasa tak ingin jauh dan berpisah denganmu. Aku merasa nyaman denganmu dan aku juga merasa peduli padamu. Padahal aku bukanlah orang yang suka peduli pada orang asing." Diana terdiam berusaha mencerna kata-kata yang diucapkan Ardhi. Entah kenapa, Diana merasa jantungnya berdetak kencang.
"Karena itu lah aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi. Aku ingin tahu dan aku ingin menjadi bagian hidupmu." Mata Diana terbelalak mendengar penuturan Ardhi. Ingin menjadi bagian hidupnya?
"Ardhi, sepertinya kau sedang sakit." Ucap Diana berusaha menyembunyikan kegugupan yang melandanya. Ardhi bangkit lalu menghampiri Diana dan duduk disamping Diana. Kemudian Ardhi meraih tangan Diana dan menggenggamnya dengan erat.
"Aku serius dengan kata-kata ku." Diana menatap bola mata hitam milik Ardhi dengan seksama. Diana tak menemukan kebohongan apapun dan yang Diana temukan hanyalah kejujuran.
"Tapi, kita baru bertemu satu minggu yang lalu. Aku belum bisa mempercayaimu." Balas Diana. Ardhi tersenyum hangat membuat Diana tersesat untuk sesaat.
"Itulah alasannya kenapa aku ingin mengenalmu lebih dalam. Aku ingin kita mendekatkan diri dan saling terbuka." Diana termenung. Dia bingung harus berkata apa lagi. Di sisi lain dia merasa bahagia tapi dia juga ragu. Apakah Ardhi bisa dipercaya?
Diana kaget saat Ardhi menarik tubuhnya dan membawanya ke dekapan hangat pria itu. Ardhi menyandarkan kepala Diana di dada bidangnya sehingga Diana bisa mendengar irama jantungnya yang sangat cepat.
"Kau mendengarnya? Aku selalu begini saat berada didekatmu." Diana merasakan pipinya memanas. Dia belum pernah sedekat ini dengan laki-laki terkecuali suaminya dulu. Sedangkan Ardhi hanyalah orang asing, tapi entah kenapa Diana merasa nyaman saat pria itu menyalurkan kehangatan.
"Baiklah. Aku akan mencoba mempercayainu."