Bab 9 Real Mission
Amel kaget ketika mendengar kata-kata Papanya barusan. “Jadi cowok ini bakalan jadi bodyguardku sekaligus teman sekolahku? Ish, ogah banget ah. Tampangnya aja culun gitu. Dah gitu lusuh lagi. Bisa malu aku sama temen-temen di sekolah kalau deketan terus sama dia.”
“Pa!” teriak Amel memotong pembicaraan antara Broto dan Munding, “Amel nggak mau Pa.”
Broto melirik ke arah putri semata wayangnya, “kenapa? Bukannya kemarin Amel selalu komplain ke Papa soal bodyguard yang dulu dari angkatan? Kalau Munding kan seumuran sama kamu, setidaknya dia bisa terlihat seperti temanmu kan dibandingkan anak buah Papa?”
“Pokoknya nggak mau,” kata Amel sambil melipat kedua tangannya di depan dada dan memonyongkan bibirnya.
“Sudah, ini bukan sesuatu yang bisa ditawar-tawar dan diganti sesukanya sama Amel. Amel tahu nggak seberapa susahnya Papa nge-arrange Munding jadi bodyguard kamu?” tanya Broto.
Amel membuang mukanya dan tidak mau melihat ke arah Papanya.
Broto cuma menggelengkan kepalanya dan kembali melihat ke arah Munding, “jadi gimana?”
Munding terdiam sebelum akhirnya tersenyum ke arah Broto, “tawaran Bapak terlalu bagus untuk saya ya kan? Its too good to be true.”
Broto tertegun sebelum akhirnya tertawa mendengar jawaban Munding, “Munding, oh Munding. Kamu tahu kalau dirimu itu adalah seseorang yang mempunyai potensi tak terbatas? Setelah lulus SMA nanti, kamu berminat join dengan militer? Aku berjanji kalau kamu akan menjadi paling tidak sepertiku bahkan lebih.”
Munding menggelengkan kepalanya. Yang paling dia inginkan saat ini adalah sesegera mungkin menyelesaikan misinya dan mendapatkan keringanan hukuman. Kemudian kembali ke rumahnya. Rumah Munding di Sumber Rejo tempat Nurul menunggunya.
Broto menghela napas melihat jawaban Munding. Tapi dia yakin, seiring berjalannya waktu dan membayangkan pengaruh gaya hidup perkotaan yang akan Munding hadapi setelah ini, Broto berharap Munding akan mempunyai pandangan lain tentang tawarannya.
“Tentu saja tugasmu tidak hanya itu. Kamu tidak berpikir kan kalau pemegang komando tertinggi akan membiarkan kamu keluar dari sana dengan alasan untuk menjadi bodyguard anak seorang Broto Suseno?” kata Broto sambil tertawa kecil.
Broto kemudian melirik ke arah Amel yang masih merajuk di sebelahnya, “Amel, keputusan ini sudah bulat. Munding akan segera masuk di sekolahanmu beberapa hari lagi. Kalau bisa, bertemanlah dengan dia seperti teman lainnya dan jangan sampai kawanmu yang lain tahu identitas Munding yang sebenarnya. Itu akan lebih mempermudah tugasnya melindungimu.”
“Sekarang, Papa ingin membicarakan sesuatu yang confidential dengan Munding. Tolong tinggalkan kami disini.”
Amel menolehkan mukanya ke arah Papanya kemudian menjulurkan lidahnya. Amel berdiri dan berjalan ke arah rumah. Saat dia melewati Munding yang duduk di dekat Ambar, Amel cuma meliriknya sekilas dan mencibir, tapi Munding sama sekali tidak memperhatikan Amel sama sekali.
Muka Amel memerah ketika ternyata dia tidak digubris oleh Munding, “liat aja nanti kalau dah masuk sekolah. Humph. Humph,” geram Amel dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian setelah Amel pergi meninggalkan tempat itu. Broto menarik napas dalam dan kemudian melihat ke arah Munding dengan muka serius.
“SMA Amel merupakan SMA elit di kota Semarang. Banyak anak pejabat dan orang-orang penting yang sekolah disana.” kata Broto memulai latar belakang ceritanya.
“Kamu harusnya tahu seperti apa sistem sosial di masyarakat kita bekerja. Pisau hukum bermata satu dan tajam ke bawah.” lanjut Broto.
“Para anak pejabat dan orang berpengaruh itu seakan kebal hukum, mereka melakukan berbagai tindakan melanggar hukum tapi selalu terlepas dari jeratan pidana.”
“Narkoba, bullying, pemerasan, pemaksaan, pemerkosaan dan bahkan pembunuhan.”
“Mereka pandai dalam memilih korban untuk melakukan aksinya. Di SMA itu, ada dua macam siswa yang bersekolah. Si pintar dan si kaya. Kalau kamu kurang mampu secara ekonomi tapi prestasi belajarmu bagus, kamu bisa masuk kesana. Kalau kamu kemampuan belajarmu kurang tapi orang tuamu kaya dan berpengaruh, kamu juga bisa masuk ke sana.”
“Pihak sekolah menggunakan sistem subsidi silang untuk mengembangkan sistem pendidikan mereka. Sumbangan pengembangan institusi dari murid yang kaya digunakan untuk mendidik murid yang pintar. Murid-murid yang pintar inilah yang kemudian dikirim maju untuk mengikuti berbagai lomba dan membuat nama sekolah mereka harum.”
“Semakin harum nama sekolah mereka, semakin banyak orang tua-orang tua yang mampu dan berpengaruh memasukkan anak-anak mereka ke sekolah ini. Dan akhirnya siklus ini terus berputar dan berkembang. Membuat SMA ini menjadi salah satu terfavorit di Semarang.”
“Di atas kertas, siklus itu seperti sebuah simbiosis mutualisme. Semuanya saling menguntungkan. Tapi secara aktual, siswa-siswa pandai tapi kurang mampu secara ekonomi ini rentan terhadap tindak bullying yang dilakukan oleh siswa-siswa kaya anak orang berpengaruh.”
“Dan tindakan ini akhir-akhir ini semakin memprihatinkan. Dalam beberapa bulan terakhir ini, ada peningkatan transaksi narkoba oleh siswa-siswa disana. Bahkan dicurigai ada tindakan pemaksaan yang dilakukan oleh sekelompok siswa nakal untuk memaksa rekan-rekan siswinya menjadi pekerja seks terselubung.”
“Pihak kepolisian angkat tangan, karena mereka pernah mengusut sendiri salah satu kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh siswa disana. Dan ternyata, pelakunya adalah anak dari seorang anggota DPR Daerah tingkat 1 dengan koneksi kuat di Polda. Akhirnya pihak kepolisian setempat menutup kasus itu tanpa penyelesaian.”
Munding masih mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Broto tanpa memotong sekalipun.
“Jadi, kami, militer terpaksa turun tangan untuk masalah ini. Kami tidak bisa bergerak secara langsung untuk menangkap atau mengusut mereka, karena ini masih menjadi ranah dari kepolisian. Kami cuma bisa melakukannya dari belakang layar.”
“Dengan mengirimmu kesana.”
“Apa yang harus saya lakukan?” tanya Munding.
“Yang pertama, prioritasmu tetap melindungi putriku. Yang kedua, coba masuk dan telusuri semua aktivitas kejahatan di dalam sana.” jawab Broto.
“Lalu?” tanya Munding.
“Ambar yang akan menjadi kontak person dan pengawas langsung untuk misimu. Kamu bisa langsung menghubungi dia kalau ada sesuatu yang kamu butuhkan atau ingin melaporkan sesuatu,” jawab Broto.
“Bisakah aku bertindak sendiri?” tanya Munding lagi.
Broto terlihat ragu-ragu, dia tahu apa yang dimaksud Munding dengan bertindak sendiri.
“Oke. Bisa,” jawab Broto setelah terdiam dan terlihat berpikir selama beberapa detik.
“Batasan?” tanya Munding lagi.
“Anything is fine as long as tidak ada fatality,” jawab Broto sambil tersenyum.
“Military will clean up the mess after that dan tidak akan ada tambahan masa tahanan untuk itu kan?” tanya Munding, dia butuh kepastian soal ini.
“Ya. Nanti urusan militer untuk menyelesaikan after match dari semua tindakan yang kamu ambil. Tapi tolong pertimbangkan baik-baik konsekuensinya sebelum kamu melakukan,” jawab Broto.