Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 Sekolah

“Tadi Amel melakukan kesalahan dengan menempatkan kamu di pavilion belakang. Tempat itu harusnya untuk para pekerja laki-laki yang menginap disini. Nanti biar aku minta Laras untuk memindahmu ke kamar tamu di rumah utama,” kata Broto.

“Tidak perlu Pak, saya suka tinggal di belakang sana,” jawab Munding, “kalau bisa saya juga diijinkan untuk menggunakan kebun buah yang ada di belakang untuk latihan saya.”

“Oke, kalau itu maumu,” jawab Broto, “tapi kapanpun kamu mau pindah ke rumah utama, kasih tahu saja Laras atau Ambar.”

Mereka berempat terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya Broto memecah keheningan dengan menghela napas, “Munding, aku benar-benar serius dengan tawaranku untuk mengajakmu masuk ke militer. Kamu tidak sama seperti orang-orang lain. Kamu itu punya karunia yang jangan sampai kamu sia-siakan.”

“Kamu itu seorang petarung alami. Kami hanya akan butuh sedikit usaha untuk mengasahmu. Dan itupun bukan untuk mengasah kemampuan bertarungmu. Hanya sedikit pengetahuan tambahan tentang dasar ideologi negeri kita dan pengetahuan umum lainnya.”

“Justru itu yang membuat saya tidak bisa bergabung dengan militer. Norma yang kita yakini berbeda. Bagi saya, agama dulu baru negara. Bagi kalian, negara dulu baru agama. Kita tidak sejalan,” jawab Munding.

Broto menarik napas panjang, “kasih tahu aku kalau suatu saat kamu berubah pikiran,” setelah terdiam selama beberapa saat, “oke, mungkin kurasa cukup untuk pertemuan pertama kita. Aku berharap kamu melakukan yang terbaik dalam tugas ini. Amel adalah putriku satu-satunya,” kata Broto pelan.

Seorang pemuda berpakaian seragam SMA terlihat turun dari sebuah mobil MPV kelas menengah keluaran pabrikan Toyota bersama seorang gadis yang berseragam sama.

Sudah beberapa bulan sejak kejadian di Sukorejo, saat itu, Munding baru kelas 1 SMA. Dan kini Munding kembali ke bangku sekolah, alih-alih mengulang kelas 1 SMA lagi, Munding justru naik ke kelas 2 SMA. Sekelas dengan Amel. Munding agak heran membayangkan bagaimana caranya Ambar dan timnya bisa melakukan itu.

Meskipun ini bulan pertama sejak tahun ajaran baru dimulai, tapi Munding sudah tertinggal mata pelajarannya selama kelas 1 kemarin. Tapi, bagi Munding yang mewarisi sifat sederhana dan simple Bapaknya, dia tidak begitu peduli dengan sekolah dan sistem pendidikannya itu.

Impian Munding adalah kembali ke sawahnya dan menanam padi. Munding yakin kalau hasilnya akan mencukupi untuk menghidupi Nurul dan calon anaknya kelak. Persetan dengan sekolah dan semua mata pelajarannya yang tidak bisa diaplikasikan dalam dunia nyata.

Gadis manis yang turun bersama pemuda berbadan sedikit tegap tapi terlihat kampungan itu berlari meninggalkan pemuda kampungan tersebut sendirian.

Munding, si pemuda dengan muka culun dan ada sedikit bekas luka di pelipis kirinya, cuma bisa menggelengkan kepalanya.

Munding kemudian berjalan ke arah gedung sekolah yang megah dan berlantai tiga. Banyak sekali terlihat siswa-siswi yang berlarian kesana kemari. Ada juga yang sedang bermain sepakbola, ada yang sedang membaca buku di taman depan kelasnya.

Dan Munding tersenyum melihatnya.

Kehidupan sekolah yang sudah sekian bulan tidak dia jalani. Pikiran Munding melayang ke Nurul, “gadisku pasti sekarang sudah memakai seragam abu-abu” batin Munding dalam hati.

Ada rasa rindu yang memenuhi dadanya ketika mengingat Nurul.

Sebagai langkah pertama, Munding tahu kalau dia harus datang ke ruang guru terlebih dahulu. Munding adalah seorang murid pindahan, tentu dia tidak bisa seenaknya mengikuti Amel ke kelasnya kan? Meskipun Munding tahu kalau Ambar akan mengatur Munding untuk sekelas dengan Amel.

Tak berapa lama kemudian, setelah Munding bertanya ke beberapa murid yang dia temui, Munding berhasil menemukan ruang guru.

Munding masih menggunakan kata-kata ‘ruang guru’ untuk menyebut tempat para Bapak dan Ibu guru beristirahat sebelum dan sesudah mengajar, tapi ruang guru yang dimiliki oleh SMA ini sangat lain dari bayangan Munding.

Seharusnya Munding tidak menyebutnya ‘ruang guru’ tapi ‘gedung guru’. Karena memang ruang guru yang dicari Munding ternyata adalah sebuah bangunan gedung terpisah yang terlihat mewah dengan dinding kaca yang mengelilinginya.

Munding masuk ke pintu depan dan dua orang petugas keamanan menyambutnya dengan muka datar dan terlihat sedikit mengintimidasi.

“Mau cari siapa?” tanya salah satu diantar mereka dengan nada yang dibuat terkesan berat dan berwibawa.

“Saya murid pindahan baru Pak, ini hari pertama saya masuk sekolah,” jawab Munding dengan nada tenang dan datar, tidak terlihat sedikitpun rasa gentar atau gemetar dari suaranya.

Kedua petugas security tadi terlihat agak kaget.

Mereka sudah bertahun-tahun bekerja disini. Mereka tahu kalau biasanya para murid akan dibagi menjadi dua jenis, Si Pintar dan Si Kaya. Dan dari observasi mata ahli mereka, seharusnya bocah laki-laki di depan mereka adalah Si Pintar.

Kedua orang security ini juga tahu kalau ada masalah dengan siswa disini, pastikan kalau mereka bukan Si Kaya apalagi siswa berlabel VIP, karena tidak akan ada yang mampu menyelamatkan pekerjaan mereka bahkan mungkin nyawa mereka.

Karena itu, saat melihat Munding, mereka langsung dapat menerka dari penampilan dan raut wajahnya, Munding seharusnya termasuk Si Pintar. Dan biasanya Si Pintar akan langsung gemetar ketakutan saat digertak oleh tampang sangar mereka berdua.

Ini kali pertama kedua orang itu menemui sosok siswa yang masuk kategori Si Pintar tapi mempunyai mental di atas rata-rata. Dengan sendirinya, rasa ragu-ragu mulai tumbuh dalam dada mereka. Jangan-jangan dia VIP?

Salah satu security tesebut terlihat sedikit gugup ketika membayangkan kalau pemuda dengan tampang polos di depannya adalah siswa VIP. Murid yang dianggap untouchable bahkan oleh guru-guru sekalipun.

“Kami pasti sudah memberitahukan kelasmu sebelum kamu masuk ke sini. Kamu kelas berapa?” tanya security yang tadi membentak Munding, kali ini dengan nada yang jauh lebih pelan.

“2-J??” jawab Munding dengan nada yang terlihat ragu-ragu dan justru seakan balik bertanya.

Kedua orang security itu memaki-maki dengan keras dalam hati. Keringat dingin mulai mengalir di punggung mereka. Ternyata benar dugaan mereka. Bocah dengan muka yang polos ini ternyata murid kelas 2-J. Untouchable class. VIPs.

Kelas khusus yang isinya adalah siswa-siswa dengan background orang tua yang sangat berpengaruh. Ada yang mempunyai background politik, kepolisian, militer, pengusaha bahkan tersebar rumor kalau ada salah satu siswa di kelas 2-J yang merupakan anak dari pimpinan salah satu gerombolan mafia Cina yang terkenal di kota ini.

“Maaf kalau kami tadi sedikit kasar. Saya akan mengantarmu ketemu dengan wali kelas 2-J,” kata security yang tadi menanyainya dengan suara sedikit bergetar.

Munding hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Dia sama sekali tidak memasukkan perlakuan kasar tadi dalam hatinya. Munding pernah merasakan sakitnya tusukan pisau dari kakak kandungnya sendiri ke perutnya. Apatah arti bentakan security tadi baginya?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel