Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 Wali Kelas

Munding masuk ke dalam sebuah ruangan yang terlihat elegan dan mewah. Sebuah meja dan kursi yang terlihat nyaman diletakkan di tengah ruangan dengan posisi menghadap ke pintu ruangan. Seolah-olah seperti seorang hakim yang sedang menunggu terdakwa memasukki ruangan eksekusinya.

Munding melihat seorang wanita yang cantik dan masih terlihat muda duduk dikursi di depannya. Dia memegang selembar kertas di tangannya dan kening wanita itu terlihat berkerut. Dia terlihat sedang berpikir keras tentang sesuatu yang tertulis di kertas itu.

Setelah beberapa saat Munding berdiri dalam ruangan itu, barulah wanita tadi mengangkat wajahnya dan melihat kearah Munding. Dia tersenyum dan meletakkan kertas yang dia pegang ke atas meja.

“Munding?” tanya wanita itu.

Munding menganggukkan kepalanya.

“Nama Ibu, Santi Lofiani. Kamu bisa memanggil Ibu, Bu Santi. Ibu yang akan menjadi wali kelasmu sampai kamu lulus nanti,” kata Santi sambil mengulurkan tangannya ke arah Munding.

Munding melihat tangan Santi sekilas dan tidak menyambutnya. Santi terlihat agak aneh tetapi beberapa saat kemudian dia tertawa sambil menarik tangannya kembali.

“Maafkan Bu Santi ya? Ibu lupa tadi kalau kamu punya kecenderungan untuk,” Santi terlihat agak ragu-ragu sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya, “apa istilahnya? Mempraktekkan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari ya?” kata Santi diselingi tawa kecil, tapi Munding bisa menangkap sedikit nada mengejek dalam suaranya.

Munding mencoba menahan rasa marah yang tiba-tiba muncul di dadanya. Dan dia membuang napas panjang ketika berhasil melakukannya setelah beberapa kali helaan nafas.

Santi terlihat kembali memegang kertas yang tadi diletakkan di mejanya.

“Munding. Seorang yatim piatu. Ayah meninggal saat kelas 4 SD karena accident. Ibu dan Kakak kandung meninggal saat kelas 1 SMA karena usaha perampokan dirumahnya. Saat kejadian Munding kebetulan tidak ada di rumah jadi dia menjadi satu-satunya yang selamat dari keluarganya.”

“Munding mewarisi harta dari keluarga ayahnya. Sawah dengan luas lebih dari 20 hektare senilai hampir 30 milliar rupiah. Ditambah dengan tabungan keluarga yang bernilai diatas 10 milliar rupiah tunai.”

“Akibat perampokan yang dialami keluarganya, Munding mengalami trauma dan harus dirawat secara kejiwaan. Perawatan dilakukan secara tradisional selama beberapa bulan sebelum akhirnya Munding bisa menghilangkan traumanya.”

Santi tersenyum setelah membacakan tulisan yang ada di kertas di depannya, “kamu anak petani yang beruntung. Di usiamu yang belum genap 17 tahun, kekayaanmu sudah lebih dari 40 milliar rupiah. Berapa banyak anak lain sepertimu?”

Munding sedikit kaget dalam hatinya. Sebagian dari cerita itu memang benar, tapi sejak kapan dia dirawat karena mengalami gangguan jiwa? Bukankah selama beberapa bulan terakhir ini dia mendekam di penjara militer? Dan lagi, bukankah dia sudah membagi sawahnya menjadi dua?

Tapi komentar wali kelasnya yang lain juga membuatnya sedikit terperanjat, dia menganggap jalan hidup Munding sebagai anak yang beruntung? Cuma karena dia sekarang mempunyai sawah dan harta warisan Bapaknya?

Munding menggelengkan kepalanya, pemikiran orang kota memang sungguh tidak masuk ke logikanya. Jika bisa, ia akan menukarkan semua yang sekarang dia miliki asalkan dia bisa melihat senyuman Bapaknya lagi.

“Orang tidak akan menyangka kalau seorang anak petani dari desa sepertimu memiliki kekayaan yang sebanding para pengusaha dan politikus kelas daerah itu,” kata Santi sambil tersenyum tipis, “ayo, aku akan membawamu ke kelasmu.”

“Hari ini kalian akan mendapatkan teman baru,” kata Santi di depan kelas, kemudian dia melambaikan tangannya ke arah Munding yang tadi berdiri di dekat pintu ruang kelas 2-J ini.

“Namanya Munding. Dia tidak punya keluarga lagi. Dia dari desa jadi mungkin terlihat sedikit culun,” kata Bu Santi yang disambut sorak dan gelak tawa siswa siswi yang ada di kelas.

“Tapi seperti yang kalian sadari, dia pasti bukan orang biasa kalau sekolah memasukkan dia ke kelas ini. Kelas 2-J. Kelas VIP,” lanjut Bu Santi sambil tersenyum.

“Dia adalah pewaris tunggal kekayaan keluarganya. Kekayaan personalnya mencapai angka 30 milliar rupiah,” kata Bu Santi.

Munding melirik ke arah wali kelasnya dengan pandangan aneh. Dia merasakan sedikit intent untuk mencelakainya dari wali kelasnya itu.

Sesaat kemudian barulah Munding menyadari tujuan wali kelasnya mengenalkan dirinya. Dari beberapa puluh siswa dan siswi yang sekelas dengannya dan duduk di bangkunya masing-masing, Munding merasakan intent dengan niat yang tidak baik mengarah kedirinya setelah Bu Santi memberitahu tentang kekayaannya.

Munding berjalan ke depan kelas dengan tas ransel di punggunya. Baju seragamnya rapi dia masukkan ke dalam celananya. Hal yang membuatnya terlihat culun dan kampungan di kelas ini. Karena Munding bisa melihat meskipun mereka masih memakai seragam SMA seperti layaknya siswa, tapi seragam itu dipakai sesuka hati mereka.

Dan Munding sama sekali tidak heran kalau tidak ada guru yang sama sekali menegur tingkah mereka. Karena kelas ini adalah kelas VIP. Kelas anak spesial yang mempunyai orang tua berpengaruh yang bahkan ditakuti oleh para guru sekolah ini sendiri.

Dan ketika Munding sudah berdiri di depan kelas, Bu Santi yang terlihat agak heran dengan tingkah Munding tanpa sadar menggeserkan tubuhnya untuk memberi tempat kepada Munding. Bu Santi juga tidak tahu kenapa dia melakukan itu tanpa sadar. Padahal dia tadi belum memberikan kesempatan kepada Munding untuk memperkenalkan dirinya.

Munding meletakkan ranselnya di depan kakinya. Dia memasukkan salah satu tangannya ke saku celananya dan mengangkat wajahnya ke arah calon kawan-kawannya.

Munding mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling ruangan dan seisi kelas terdiam.

Munding merasakan intent yang tertuju kearahnya makin menguat dan dia bisa mendeteksinya dengan jelas sekarang. Ada lebih dari 5 orang yang berniat mencelakainya.

Munding tersenyum. Senyuman yang lebih menyerupai seringai.

“Namaku Munding.”

Suara Munding terdengar pelan. Keheningan masih mengisi ruangan kelas.

“Aku yatim piatu dan aku sebatang kara.”

Suara Munding makin terdengar keras dan memenuhi seisi ruangan kelas.

“Tapi.”

Munding berhenti dan mengedarkan pandangan matanya sekali lagi ke seisi ruangan kelas. Kali ini dia menatap mata ke orang-orang yang memancarkan intent ke arahnya.

“Kalau kalian macam-macam denganku, kalian akan rasakan akibatnya.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel