Bab 12 Bangku
“Kalau kalian macam-macam denganku, kalian akan rasakan akibatnya.”
Kata-kata Munding terdengar oleh seisi kelas. Bu Santi yang berdiri di belakang Munding kaget sekali ketika mendengarnya. Seluruh teman-teman sekelas Munding juga mempunyai reaksi yang sama.
Amel yang duduk di barisan agak tengah dengan seorang gadis manis yang duduk di sebelahnya juga menampilkan raut muka yang tidak bisa menutupi keterkejutannya. Dia mengira kalau hari ini adalah hari dimana dia akan dipermalukan.
Tadi pagi ketika dia turun dari mobil, kebetulan dia melihat Rey yang melambaikan tangan ke arah Amel. Rey yang bernama lengkap Reyhan Adi Perdana, cowok terganteng di angkatannya. Cowok yang sudah lama ditaksir Amel. Amel tiba-tiba tersadar kalau ada Munding yang turun bersamanya.
Amel tidak ingin Rey salah paham. Karena itu, tanpa memperdulikan Munding yang semobil dengannya dan harusnya menjadi pelindungnya, Amel langsung berlari menuju ke arah pujaan hatinya. Meninggalkan Munding yang seperti orang hilang sendirian di parkiran sekolah.
Tapi tanpa setahu Amel, Rey melihat Munding yang turun dari mobil yang sama dengan Amel. Saat itu, Rey sudah mengingat dengan jelas raut muka dan postur cowok itu. Dia ingin sekali mengetahui identitas si cowok yang tadi semobil dengan Amel.
Dan ternyata dewi fortuna berpihak kepada Rey. Si cowok tadi ternyata sekelas dengan mereka. Karena itu, dari awal Munding masuk ke dalam ruangan kelas ini, Rey sudah mempunyai niatan tidak baik untuk memberinya pelajaran.
Tapi baik Rey maupun Amel tidak pernah menyangka sekalipun bahwa si Anak Baru yang culun itu ternyata dengan berani memprovokasi calon kawan-kawan sekelasnya. Apakah dia tahu seberapa berbahayanya kelas ini?
Kelas yang bahkan para guru sekalipun tidak berani untuk mengambil tindakan disipliner untuk mendisplinkan siswa-siswanya. Karena sudah menjadi rahasia umum kalau siswa kelas 2-J ini selain mempunyai back up dari orang tuanya yang berpengaruh, mereka juga rata-rata mempunyai pasukan masing-masing.
Tak lebih dari dua detik setelah kata-kata Munding diucapkan, seorang siswa berbadan kekar dan mengenakan jaket yang dibuka dibagian depannya tiba-tiba berdiri, “bangsat!! Sok sekali gayamu,”
Dengan cepat, siswa tersebut merangsek maju tapi baru beberapa langkah ada beberapa siswa lain yang menahannya. Si siswa berjaket tadi seperti seekor anjing galak yang sedang dipegang talinya agar tidak mengejar dan menggigit orang lain. Matanya melotot, seakan-akan dia bisa membunuh orang lain hanya dengan menggunakan tatapan matanya.
Munding hanya tersenyum melihatnya.
Dia sama sekali tidak mengambil tindakan untuk menghadapi siswa tadi, karena dia sama sekali tidak memancarkan intent untuk mencelakainya. Jadi Munding yakin kalau siswa di depannya ini cumalah kambing hitam atau seseorang yang dipakai oleh orang lain untuk menggertak dan mencoba menakar dirinya.
“Cukup!” terdengar satu kata bernada perintah dari seseorang yang mengenakan seragam yang terlihat rapi dan bahkan dimasukkan ke dalam celananya seperti Munding. Tapi satu hal yang paling aneh adalah seragam putih yang dia pakai tidak berlengan pendek tapi berlengan panjang. Jadi siswa itu terlihat agak menonjol diantara siswa-siswa lain yang seragamnya berlengan pendek.
Dia memakai kacamata dan duduk di barisan paling belakang. Munding tersenyum menyeringai ke arah siswa berkacamata itu. Satu orang sudah memakan umpanku, batin Abi dalam hati.
Siswa berkacamata tersebut adalah salah satu yang memancarkan intent jahat ke arahnya tadi. Setelah memberikan perintahnya kepada siswa berjaket tadi, seisi kelas kembali terdiam. Tidak ada yang terlihat berani membantah siswa itu.
Bu Santi yang berdiri di depan kelas juga terlihat menundukkan kepalanya ketika siswa berkacamata tadi menatap ke arahnya.
Munding mengambil tas ranselnya di lantai kemudian mengangkat bahunya. Setelah itu dia melihat ke sekeliling kelas dan setelah menemukan apa yang dia cari. Munding berjalan ke sana.
Seisi kelas masih terdiam.
Mereka semua ingin sekali mengetahui kemana anak baru itu melangkah dan berjalan. Tanpa memperdulikan tatapan mata siswa lainnya, Munding berjalan menuju ke meja Amel dan berdiri di sampingnya.
“Aku mau duduk disini,” kata Munding kepada cewek cantik dengan rambut pirang dan mata berwarna biru yang duduk disebelah Amel.
Seisi kelas kaget mendengar kata-kata Munding. Termasuk gadis Indo yang barusan diajak bicara oleh Munding. Nama gadis itu Chloe Belvania Jackson. Dia seorang gadis blasteran.
Chloe sama sekali tidak menyangka kalau anak baru yang membuat kelas menjadi tegang baru saja memintanya untuk berganti tempat duduk? Apakah dia gila? Memangnya dia bisa seenaknya menyuruh orang lain untuk berpindah sesukanya?
“Munding,” terdengar suara Amel lirih di sebelah Chloe.
“Hmmmmm?” tanya Munding.
“Tolong hentikan!” kata Amel, “Chloe sudah menjadi sahabatku dan duduk di sebelahku selama dua tahun ini.”
“So what?” jawab Munding sambil tersenyum.
Wajah Amel terlihat seperti baru saja menelan kecoa mentah-mentah. Anak kampung ini bisa diajak diskusi nggak sih? Teriak Amel dalam hati.
Ketika kawan-kawan sekelas mendengar percakapan antara Munding dan Amel, mereka yakin akan satu hal. Selain warisan yang dia miliki, keliatannya Munding punya hubungan dekat dengan pihak militer. Semua rekan sekelas Amel tahu siapa ayah Amel. Karena itu sampai saat ini, tidak pernah ada yang berani berbuat macam-macam dengan Amel.
Chloe yang berada di sebelah Amel merasa kalau lebih baik dia yang mengalah dan menyerahkan kursinya kepada si Anak Baru yang terlihat agak aneh dan susah ditebak ini. Chloe berpindah ke salah satu bangku kosong yang ada di barisan depan dan menundukkan kepalanya.
Banyak siswa yang kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Rey. Cowok yang selama ini dekat dengan Amel. Rey yang menjadi pusat perhatian kawannya menggertakkan giginya dan niatnya untuk membalas Munding makin kuat.
Munding cuma tersenyum dan melirik ke arah Rey. Untuk dia, sejak dari awal tadi dia turun dari mobil Munding sudah menyadarinya. Jadi dia tidak begitu kaget ketika menerima reaski seperti itu dari Rey.
Setelah sekitar lima belas menitan semua drama berakhir, pelajaran pun dimulai seperti layaknya sekolah yang lain. Tapi yang membedakan adalah sebagian besar siswa-siswa di kelas ini sama sekali tidak ada yang memperhatikan, mereka asyik dengan gadget dan obrolan mereka masing-masing.
Sang Guru juga seolah-olah terlihat sudah terbiasa dengan kondisi kelas seperti ini. Jadi dia tidak memperdulikan ulah siswa-siswa di belakangnya dan terus menuliskan mata pelajaran yang disalinnya dari buku ke papan tulis.
Munding sama sekali tidak tahu tujuan dari perbuatan yang dilakukan oleh gurunya itu apa. Bukankah setiap siswa di sini memiliki bukunya masing-masing, jadi tidak mungkin mereka akan menyalin catatan dari papan tulis ke buku mereka.
Seolah-olah justru sang guru yang sedang dihukum untuk menulis di papan tulis selama dua jam mata pelajarannya berlangsung.
Munding menarik napas dalam-dalam melihat situasi ini.