Bab 13 Kantin
Sepanjang pelajaran Amel cuma menggerutu kepada Munding. Selama ini biasanya dia akan selalu mengobrol dengan Chloe tapi kini Munding duduk disebelahnya. Nggak mungkin kan dia ngajak ngobrol anak kampungan ini?
“Liat aja nanti kalau dah sampai ke rumah. Amel bakalan ngasih tahu Papa soal ini,” ancam Amel.
“Terus?” tanya Munding.
“Ya mungkin nanti Papa akan ngambil tindakan sama kamu,” Amel berhenti sebentar, “mungkin gajimu akan dipotong atau mungkin kamu bakalan kena skorsing atau hukuman yang lain.”
“Aku nggak digaji. Aku bukan tentara,” jawab Munding datar.
Ima tahu maksud perkataan Munding. Itu artinya ancaman potong gaji nggak mempan untuknya, ancaman skorsing dan hukuman lain juga tidak berlaku untuk Munding karena dia bukan tentara.
“Kamu ngapain sih? Kan bisa duduk dekat di meja lain,” kata Amel.
“Tolong bersabarlah,” kata Munding, “kamu pikir aku mau melakukan ini. Aku cuma ingin memastikan kamu selamat sampai kita tiba di rumah. Setelah itu, aku tidak akan mencampuri apapun urusanmu.”
Amel akhirnya menarik napas dan pasrah.
Saat jam istirahat pertama, Amel berdiri dan Munding mengikutinya. Amel terlihat mulai marah lagi.
“Kamu ngapain sih? Kamu mau ngikuin aku ke kantin juga?” tanya Amel setengah berteriak, yang membuat semua kawan-kawannya menoleh ke arah mereka.
Rey sudah tidak bisa menahan lagi kesabarannya dan dengan cepat dia merangsek maju ke arah meja Amel. Ketika dia sampai di depan Munding, Rey melayangkan pukulannya keaarah muka Munding. Munding terlihat masih rileks dan seolah-olah tidak menyadari pukulan yang diayunkan oleh Rey.
Tapi ketika pukulan itu hanya berjarak 20 cm dari wajah Munding, tiba-tiba pukulan Rey terhenti. Rey merasakan kalau pergelangan tangannya seperti dicengkeram oleh sebuah tang raksasa yang membuatnya tidak bisa menggerakkan tangannya seberapapun kuatnya dia berusaha.
Rey melihat ke arah tangannya dan dia menemukan tangan Munding yang mencengkeram pergelangan tangannya. Dia terus berusaha untuk menggerakkan dan bahkan menarik kembali tangannya tapi tangan Munding sama sekali tidak bergerak sama sekali.
“Lemah!! Jangan pernah mengayunkan pukulan selemah ini di depanku,” kata Munding datar sambil melepaskan cengkeraman tangannya.
Keringat dingin membasahi punggung Rey, tangan kirinya memegangi pergelangan tangan kanannya yang kesakitan karena diremas oleh Munding tadi. Dia membungkukkan badannya dengan muka yang dipenuhi keringat.
“Rey,” panggil Amel setelah melihat kejadin barusan, suaranya dipenuhi oleh nada kuatir.
Rey sama sekali tidak membalas panggilan Amel atau bahkan sekedar untuk mengangkat kepalanya. Dia sangat malu sekali oleh kejadian barusan. Dia bahkan kalah tanpa Munding melakukan serangan.
‘Lemah!!’ kata-kata Munding itu terngiang-ngiang terus di kepala Rey dan membuatnya semakin merasa terpuruk.
Amel yang masih kuatir dengan keadaan Rey tapi sesaat kemudian dia berteriak ke arah Munding, “kenapa kamu melukainya?”
Munding mengangkat bahunya, “aku tak tahu kalau dia selemah itu.”
“Aku benci kamu,” teriak Amel kemudian berlari meninggalkan ruang kelas.
Seorang siswa duduk sendirian di kantin dan sedang menikmati makan siangnya. Dia terlihat tidak begitu memperhatikan sekitarnya.
Tiba-tiba tiga orang cowok menggeser kursi di depan siswa tadi dan langsung duduk di depannya. Siswa yang sedang asyik menikmati makan siangnya itu, Munding, mengangkat wajahnya dan menemukan tiga wajah asing sedang memperhatikannya juga.
Cowok yang duduk di tengah dari tiga orang yang barusan datang tadi mengulurkan tangannya kedepan dan mengajak berkenalan Munding, “namaku Nur. Lengkapnya Nur Qosim.”
Munding tersenyum dan menjabat tangan cowok tadi, “Munding.”
“Kami sudah mendengar kejadian tadi pagi di kelasmu. Kelas 2-J,” kata Nur.
Munding terdiam dan mendengarkan. Satu-satunya alasan dia membiarkan Nur dan kedua kawannya duduk disini hanyalah karena dia merasa kalau mereka bertiga sama sekali tidak menampakkan tanda permusuhan dengan dirinya.
“Ini hari pertamamu sekolah jadi kamu mungkin belum begitu familiar dengan kondisi sekolah ini,” kata Nur membuka ceritanya.
“Aku mencoba memberitahumu karena aku merasa kalau kamu seharusnya tidak masuk ke kelas J. Kamu lebih cocok ke kelas A atau B, sama seperti kami,”
“Di sekolah ini, tiap angkatan dibagi menjadi 10 kelas, tak pernah lebih dan tak pernah kurang. Dengan satu kelas berisi 40 orang anak, kecuali kelas J, kelasmu yang jumlahnya tak pernah pasti.”
“Kelas A dan B digunakan untuk siswa berprestasi, katakanlah Si Pintar sedangkan sebaliknya kelas H dan I digunakan untuk siswa yang mampu secara finansial Si Kaya. Kelas C sampai ke G digunakan untuk campuran antara si Pintar yang tidak terlalu pintar dan si Kaya yang tidak terlalu kaya.”
“Sedangkan kelasmu, kelas J adalah kelas monster. Guru dan siswa menyebutnya kelas VIP. Siswa yang ada di kelas J tidak pernah berganti dari kelas 1 sampai ke kelas 3. Isinya tidak melulu harus orang kaya, tapi satu hal yang pasti, harus mempunyai pengaruh.”
“Harusnya kamu juga tidak masuk ke kelas J, kamu mendapatkan warisan dari orang tuamu yang sudah meninggal dunia dan sekarang yatim piatu. Munding, kamu memang kaya, tapi kamu tidak mempunyai pengaruh. Seharusnya kamu masuk ke kelas H atau I.”
“Sampai ketika kamu memaksa duduk di sebelah Amel baru semua siswa di sekolah ini sadar kalau kamu pasti punya hubungan khusus dengan keluarga Amel. Disitulah semua orang paham kenapa kamu dimasukkan ke kelas J.”
“Tapi kata-katamu saat perkenalan tadi pagi sungguh membuat seisi sekolahan gempar. Kamu tidak memperhatikan kalau semua orang di kantin ini memperhatikanmu dari tadi? Seorang siswi kelas 2-J bahkan merekamnya dan menyebarkannya ke siswa-siswa lain.”
“Hampir semua siswa di sekolah ini mengenalmu sekarang. Munding si ‘bocah gila’. Kalau untuk panggilan ‘bocah gila’, itu semua gara-gara wali kelasmu, Bu Santi. Dia yang bercerita ke semua orang bahwa sebelum masuk ke sekolah ini kamu sempat trauma dan mengalami gangguan jiwa dan menjalani perawatan.”
Munding tersenyum dan terlihat sama sekali tidak begitu perduli dengan semua yang diberitahukan oleh Nur, siswa di depannya itu. Tapi tiba-tiba ada satu pertanyaan yang menggelitik Munding dari tadi pagi.
“Ada satu siswa yang memakai seragam berlengan panjang dan orangnya berkacamata. Siapa dia?” tanya Munding.
Muka Nur dan kedua kawan yang duduk di sebelahnya menjadi pucat pasi dan sedikit ketakutan. Nur yang sebelumnya penuh percaya diri juga terlihat sedikit ragu.
“Mmmm, sebaiknya kamu hindari dia dengan segala cara. Tidak ada akhir yang baik kalau kamu berhubungan dengan dia. Dia tokoh antagonis nomor satu di sekolah ini. Bahkan guru-guru sekalipun tidak ada yang berani melawannya,” jawab Nur.
“Aku butuh identitasnya,” kata Munding pendek.