Ringkasan
Amelia Suseno adalah seorang siswi kelas 1 yang bersekolah di SMA swasta paling favorit se-kota Semarang. Dia gadis yang supel, pandai bergaul dan memiliki banyak teman. Tak heran jika banyak cowok-cowok di sekolahnya yang mengidolakan dia dan mencoba mendekatinya. Amel juga terkenal anak yang baik hati dan tidak sombong di antara teman-temannya. Intinya, Amel adalah contoh remaja yang biasa kita temui di sekolah-sekolah manapun. Yang membedakan hanyalah ketika Amel keluar dari gerbang SMA-nya, 1 orang pria dan 1 orang wanita menggunakan seragam PDH akan selalu setia menunggunya. Mereka juga akan mengikuti kemanapun Amel pergi setelah itu. Toko buku, mall, nonton bioskop, makan dan semua kegiatan Amel yang lain. Cuma ke toilet saja mereka akan membiarkan Amel sendirian. Amel sudah berkali-kali meminta supaya Papanya tidak lagi menyuruh anak buahnya untuk mengikuti kemanapun Amel pergi seperti sekarang. Tapi Papanya Amel tetep kekeuh tidak akan membiarkan Amel keluar rumah tanpa pengawalan. Karena Papanya Amel tahu bahwa di luar sana, banyak serigala yang selalu bersiap-siap menerkam domba-domba yang lengah. Karena Papanya Amel juga tahu, dengan posisi yang dimilikinya, dia punya musuh yang tak terhitung jumlahnya. Dan musuh-musuhnya selalu siap menancapkan taring mereka ke titik lemahnya, anak satu-satunya, Amel.
Bab 1 Naluri
Seorang wanita cantik mengenakan seragam pakaian dinas harian, berjalan di lorong sebuah penjara militer yang lokasinya dirahasiakan. Lorong ini terlihat agak gelap dan di sisi kiri kanan lorong terdapat pintu-pintu yang terbuat dari besi dan hanya sedikit celah yang tertutup dengan sliding plate di bagian bawah untuk memberikan makanan kepada tahanan.
Di tangan wanita itu terdapat selembar kertas yang berisi biodata seseorang. Sebuah foto yang keliatannya hasil print out menunjukkan seraut wajah yang masih sangat kekanak-kanakan. Di sebelah foto tersebut terdapat beberapa kolom yang berisi identitas lengkap dari orang yang tercantum di biodata tersebut. Di dalam kolom nama terisi oleh sebuah nama yang terdiri dari satu kata saja dan kurang lazim didengar.
Munding.
“Dimana dia ditahan?” tanya wanita cantik itu ke arah prajurit yang mengantarkannya.
Prajurit dengan pangkat Sersan Dua yang berjalan di samping wanita itu dengan cepat menjawab pertanyaan tersebut, “di dalam Sel Isolasi No 8 Bu.”
Wanita tersebut mengrenyitkan dahinya dan berhenti berjalan. Suara ritmik yang terdengar dari sepatu berhak tinggi miliknya berhenti tiba-tiba. Membuat lorong ini kembali dicekam keheningan. Di dadanya tertempel nama pengenal yang bertuliskan ‘Ambarwati’.
“Sel Isolasi?” tanya Ambar setengah tak percaya.
Serda Bambang menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
Ambar mengibaskan selembar kertas yang ada di tangannya, “dia ini cuma bocah ingusan kelas 1 SMA. Kenapa harus ditempatkan di Sel Isolasi? Memangnya dia anggota Kopassus yang desersi?”
Serda Bambang hanya terdiam sebentar kemudian menjawab dengan suara pelan, “meskipun dia masih berumur 15 tahun, tapi pusat komando sudah mengkonfirmasi bahwa dia adalah serigala petarung yang sudah terinisiasi. Jadi kami memang memperlakukan dia layaknya elite dari komando pasukan khusus.”
Ambar menarik napas panjang dan kembali berjalan, “kalian, team lapangan, terlalu mengagung-agungkan kemampuan petarung elite kalian. Sekalipun dia petarung elite fase kedua, tapi tetap saja dia bocah ingusan umur 15 tahun. Saat dia masih pake popok bayi, aku sudah mulai belajar strategi berperang di Akademi Militer.”
Serda Bambang kembali terdiam. Wanita didepannya adalah seorang perwira berpangkat Letnan Satu, tentu saja Bambang harus bersikap hormat dan patuh kepadanya. Belum lagi Bambang juga tahu kalau Lettu Ambar di depannya ini punya posisi penting di Makodam.
Tak lama kemudian, Bambang dan Ambar sudah berdiri di sebuah ruangan sel yang masih tertutup. Ambar memberi isyarat kepada Bambang untuk membuka pintu sel tersebut. Bambang melirik sebentar ke arah jam tangannya dan sedikit ragu-ragu untuk membuka pintu di depannya.
“Kenapa?” tanya Ambar.
“Ini waktunya sholat Ashar Bu. Kita tunggu lima menit lagi ya?” kata Bambang.
Ambar cuma menggeleng-gelengkan kepalanya. Bocah di dalam ruangan itu adalah tahanan dan Ambar adalah perwira militer. Tapi sekarang, anak buahnya sendiri justru meminta dia untuk menunggui si tahanan yang ada di dalam ruangan hanya gara-gara waktunya sholat Ashar?
Setelah menunggu selama 3 menitan, Ambar mulai terlihat gelisah dan tanpa berkata apa-apa ke Bambang, Ambar maju dan memasukkan kode pintu elektronik untuk membuka pintu di depannya. Pintu itu kemudian terbuka dengan cepat dan Ambar bisa melihat kondisi ruangan di baliknya.
Seorang remaja sedang melipat kain sarung yang baru saja dipakai untuk sholat. Dia memakai kaos berwarna putih dan celana pendek dibawah lutut yang berwarna putih juga. Kondisi di dalam ruangan juga terlihat sangat bersih dan rapi.
Tumpukan baju tersusun rapi di sebuah lemari kecil. Beberapa buku juga terlihat tergeletak di meja yang ada di sudut ruangan. Sebuah Al-Quran juga terlihat diletakkan di atas meja kecil di samping sajadah yang barusan dipakai bocah itu sholat. Sama sekali tidak ada gambar ataupun poster di dinding sel ini. Bersih dan rapi, itulah kesan Ambar setelah melihat kondisi sel ini sekilas.
“Pak Bambang?” tanya Munding sambil membalikkan badan.
“Maaf Munding, Bapak tadi sudah berusaha untuk menunggu sampai kamu selesai sholat,” kata Serda Bambang sambil tersenyum kecut.
Ambar membuang napas melihat percakapan antara Bambang dan Munding.
“Namaku Ambarwati. Aku ditugaskan dari Makodam dan ingin mendiskusikan sesuatu dengan kamu. Kamu ada waktu kan?” kata Ambar sambil menjulurkan tangannya ke arah Munding.
Munding cuma melirik ke arah tangan Ambar yang terjulur tanpa berniat membalasnya. Kemudian Munding meletakkan sarung yang ada ditangannya ke atas sajadah dan duduk bersila di lantai keramik tanpa alas apapun itu.
“Silakan duduk. Mohon maaf kalau tidak bisa menyediakan apa-apa. Anggap saja di rumah sendiri,” kata Munding sambil tersenyum kearah Bambang dan Ambar.
Ambar terlihat marah karena uluran tangannya tidak disambut Munding, “tidak usah. Aku berdiri saja.”
Bambang mengikuti Munding dan duduk bersila di lantai. Mereka berdua melihat kearah Ambar dengan pandangan aneh.
Melihat kedua orang lainnya yang ada di ruangan duduk di lantai sedangkan dia sendiri masih berdiri. Mau tak mau, Ambar mencoba duduk dengan posisi yang agak canggung, karena rok yang dia kenakan adalah rok pendek diatas paha.
“Ada yang bisa saya bantu Bu Ambar?” tanya Munding.
“Melihat profil kamu, Makodam memutuskan untuk memberikan kamu penugasan di luar. Sebagai imbalannya, militer akan mengurangi masa tahananmu disini,” kata Ambar langsung ke pokok permasalahannya, dia benar-benar nggak nyaman dengan posisi duduknya.
Munding terlihat sedikit mengrenyitkan dahinya, “saya rasa, saya ini cuma anak sekolah biasa Bu. Tidak ada yang bisa saya lakukan untuk membantu pihak militer dalam penugasan apapun.”
“Tak usah sok merendah,” potong Ambar sengit, “disini jelas tertulis kalau kamu itu petarung elite fase kedua. Kamu juga ditahan karena proses inisiasi tanpa ijin dan melakukan kekerasan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain terhadap beberapa warga sipil biasa.”
Munding menunduk dan terdiam, tak lama kemudian dia mengangkat wajahnya dan berkata, “saya setuju.”
Ambar terlihat kaget. Dia sama sekali belum memberitahukan isi penugasan yang akan diberikan dan seperti apa detailnya, tapi si bocah di depannya ini sudah langsung setuju begitu saja. Apakah dia benar-benar sudah frustasi terkurung di sel isolasi ini?
“Saya belum memberitahumu apa isi penugasan dan detailnya. Kenapa kamu bisa begitu mudahnya setuju dengan permintaan kami?” tanya Ambar sedikit curiga.
“Saya hanya mengikuti naluri,” gumam Munding pelan.