Bab 8 Bodyguard?
“Munding, kamu tahu musuh seperti apa yang paling berbahaya dan menakutkan?” tanya Pak Yai sore itu.
Munding menggelengkan kepalanya. Sejak Munding berhasil melakukan inisiasi, Pak Yai tidak pernah lagi menyabetkan batang rotan ke tubuh Munding. Dia lebih banyak bertukar pikiran dan berbagi pengalamannya di masa lalu kepada Munding.
Karena itu, Munding merasa kalau masa-masa setelah dia menikah dengan Nurul adalah masa terindah dalam hidupnya. Munding tidak lagi merasakan ‘siksaan’ dari gurunya dan mempunyai seorang istri yang melayaninya.
“Musuh yang berbahaya dan menakutkan itu, bukan seseorang yang memegang senjata di tangan dan menodongkannya ke mukamu, bukan juga seseorang yang memegang pisau dan mengayun-ayunkannya di depanmu.”
“Mereka adalah seseorang yang diam dengan tenang dan bahkan tersenyum kepadamu. Sampai disaat terakhir dia melakukan serangan terfatalnya, kamu bahkan belum menyadari kalau dia berniat untuk membunuhmu. Mereka menusukkan pisau ke tubuhmu dengan sebuah senyuman di bibirnya, bukan kiasan tapi literal. Dia menusukmu sambil tetap tersenyum.”
“Tapi bukankah seharusnya naluri kita memberi tahu akan adanya ancaman bahaya Pak?” tanya Munding.
“Naluri kita bukan sesuatu yang omnipotent, bukan Gusti Allah yang Maha Tahu. Seorang petarung handal yang sudah berpengalaman bisa menutupi intent yang dia miliki sehingga bisa menipu petarung lainnya. Sampai detik terakhir ketika dia mengeksekusi serangannya.”
“Tapi sehebat apapun dia, saat dia melakukan serangan atau gerakan, intent aslinya akan terbaca. Apakah dia ingin membunuhmu, sekedar menggertakmu, melindungi seseorang di belakangnya atau dia hanya ingin menjajalmu. Jadi yang kamu patut waspadai adalah menunggu serangan tiba-tiba darinya.”
“Kalau begitu, Munding bakalan capek dong Pak kalau terus menerus harus mewaspadai semua orang yang berada di dekat Munding,” protes Munding kepada Bapak Mertuanya.
Pak Yai tertawa mendengarnya. Tak lama kemudian, Nurul datang dari dalam rumah membawa gorengan dan minuman di atas nampan. Nurul duduk di sebelah Munding setelah meletakkan segelas air putih hangat di depan suaminya.
“Tidak perlu semuanya. Kamu cukup waspada terhadap orang yang punya kemampuan untuk mengancam nyawamu, karena dia bisa melumpuhkanmu hanya dalam satu kali serangan dan dalam hitungan kurang dari satu detik. Untuk orang lain, sekalipun kamu membiarkan mereka menyerangmu terlebih dahulu, kamu punya cukup banyak waktu untuk menghindar atau membalasnya,” kata Pak Yai mengakhiri pelajarannya malam ini.
“Bapak sama Mas Munding ngomongin apaan sih?” tanya Nurul yang duduk menyenderkan tubuhnya ke Munding sedikit kebingungan.
“Bukan apa-apa kok Dek,” jawab Munding sambil mencium kening Nurul yang mukanya bersemu merah setelah menerima ciuman Munding.
Munding dan Umar saling melihat sekilas dan kemudian keduanya tertawa hampir bersamaan. Munding kemudian kembali ke tempatnya semula, masih tetap berdiri. Sedangkan Umar tidak berpindah dari depan Amel tapi kali ini dia sudah tidak setegang yang tadi.
Kelima orang lainnya yang ada di tempat itu terlihat kebingungan, kecuali Broto yang sedikit banyak tahu apa yang baru saja terjadi. Reni, Ambar, Amel dan Laras sama sekali kebingungan dengan kejadian aneh tadi.
Apalagi Amel, dia tahu kalau Pakdhe Umar tadi berdiri di belakang Papanya, kenapa tiba-tiba dia sudah berdiri di depan dirinya dan bocah lusuh itu juga. Untuk sesaat tadi, Amel melihatnya berkelebat sangat cepat dan sesaat kemudian dia sudah melayangkan tendangannya dan berdiri di depan kursi Amel.
Untung saja ada Pakdhe Umar yang melindunginya. Seandainya tidak, Amel yakin kalau bocah itu berniat mencelakainya, Amel tidak akan mampu melindungi atau bereaksi sama sekali tadi.
Broto membuang napas lega setelah melihat Umar dan Munding tertawa barusan, tapi yang paling membuatnya lega adalah Munding sudah tidak terlihat setegang yang tadi. Dia juga sudah tidak berada dalam kondisi siaga untuk bertarung lagi.
“Reni, Laras. Tolong tinggalkan kami sebentar. Ada yang mau kubicarakan dengan Munding dan Amel,” kata Broto ke arah istrinya dan karyawannya.
Reni terlihat agak kesal. Dia tahu kalau dia tadi baru saja menyaksikan sebuah keajaiban. Keajaiban yang kelihatannya tidak asing bagi suaminya dan orang-orang militer seperti Ambar. Dia sangat penasaran dengan dunia suaminya yang tidak dia ketahui ini.
Apalagi ketika tadi Reni membayangkan bagaimana cepatnya gerakan pemuda di depannya itu dan juga bodyguard suaminya. Reni merasa seperti menyaksikan sebuah adegan film laga penuh dengan special effects, tapi kali ini secara live. Dadanya berdebar-debar karena adrenaline yang terpacu dalam tubuhnya.
“Mas?” pinta Reni dengan pandangan memelas ke arah suaminya, yang dijawab dengan gelengan kepala dan sebuah senyuman dari Broto.
Reni akhirnya berdiri dan menggunakan handuk yang dipegang Laras untuk membelit tubuhnya dan masuk ke dalam rumah diikuti oleh Laras. Kini hanya tinggal 5 orang di pinggir kolam renang.
“Munding, kamu sudah lebih rileks kan? Silahkan duduk,” kata Broto.
Munding menuruti perintah Broto dan duduk di sebelah Ambar. Ketika Munding duduk, Umar tersenyum dan berjalan ke belakang Broto lagi. Kali ini posisinya tidak tepat di belakang Broto tapi di tengah-tengah antara Broto dan Amel.
Hanya Amel yang dari tadi masih merasakan detak jantungnya berdebar kencang karena kejadian singkat yang terjadi barusan. Kini, pandangan mata Amel ke Munding sedikit berubah. Bukan lagi pandangan merendahkan seperti saat awal tadi bertemu Munding di ruang tamu.
“Munding, Ambar pasti sudah memberitahumu tentang penugasan yang akan aku berikan kepadamu. Tugasmu sederhana, kamu harus jadi bodyguard Amel. Tugasmu dimulai ketika kalian meninggalkan gerbang rumah ini dan berhenti ketika kalian masuk kembali ke rumah ini.”
“Kamu tetap menggunakan identitas aslimu. Kami akan membantu proses pindah sekolahmu ke sekolah Amel. Dan ketika kamu lulus dari SMA, penugasanmu berakhir. Kamu mendapatkan ijazah resmi dan kamu juga bebas. Bisa kembali ke rumahmu.”
“Selain itu, kami juga akan membantu menghapus catatan dari database di kepolisian tentang kejadian di Sukorejo. Jadi ketika kamu nanti selesai dengan penugasan ini, kamu bisa benar-benar seperti bersih tanpa noda hitam.”
“Semua pengeluaranmu selama tugas ini akan menjadi tanggungan pihak militer. Ambar nanti yang akan menjadi pengawas langsungmu. Kalau kamu butuh apa-apa bisa langsung kontak ke dia.”
Munding terdiam mendengar penjelasan Broto.
“Gimana?” tanya Broto setelah menunggu Munding yang masih lama terdiam.