Bab 7 Pak Tua
“Terima kasih, saya lebih suka berdiri,” jawab Munding sambil tetap berdiri di depan Broto.
Tapi meskipun Munding menjawab pertanyaan Broto, sedari awal pandangan mata Munding tidak pernah terlepas dari Umar. Cuma Umar yang memberikan ancaman bahaya bagi Munding. Dan itu artinya, Munding tidak akan pernah lengah darinya.
Munding tidak akan pernah membiarkan seekor predator yang mengintai dirinya lepas dari pengawasannya.
“Kenapa?” tanya Umar, sambil tetap tersenyum menyeringai, memotong diskusi yang sedang dilakukan atasannya.
“Kau tahu alasannya,” jawab Munding.
Tatapan mata Munding masih terus tertuju ke arah Umar, kedua tangan Munding masih mengepal di samping kiri kanan tubuhnya. Broto bahkan bisa melihat postur tubuh Munding sedikit membungkuk dan seperti seekor Harimau yang siap-siap menerkam buruannya setiap saat.
Ambar sedikit kaget ketika mendengar Munding menggunakan kata-kata ‘kau’. Selama berinteraksi dengan Munding, Ambar selalu mendengar kata ‘saya’ dari Munding, dia berpikir kalau Munding adalah seorang anak yang sopan dalam berbahasa. Tapi kini Ambar baru sadar kalau dia salah. Munding mungkin hanya memakai kata-kata lugas tanpa pretensi hanya kepada seseorang yang dianggapnya sebanding dengannya.
“Oke, oke. Munding, ini Umar. Dia pengawal pribadiku. Aku tidak perlu menjelaskan tentang dia kan?” kata Broto mencoba menengahi Munding dan Umar.
Umar yang sejak awal tadi mengepalkan tangannya mulai terlihat rileks dan berangsur-angsur keluar dari mode siaga. Tetapi Munding sama sekali tidak melepaskan mode siaganya. Dia tetap berdiri dan dalam kondisi otot tubuh yang siap berkontraksi dan digunakan setiap saat.
“Munding,” panggil Broto lagi, “tenang, kami tidak berniat untuk melakukan sesuatu yang membahayakan dirimu.”
Munding cuma terdiam dan sama sekali tidak mendengarkan kata-kata Broto. Broto cuma tersenyum pahit kemudian dia memanggil Laras yang tadi datang bersama Munding.
“Laras, panggilkan Amel ke sini, aku ingin dia bertemu Munding,” kata Broto.
Laras terlihat bingung sebentar, bukankah tadi Mbak Amel sudah ketemu dengan Munding ya di ruang tamu? Tapi Laras sama sekali tidak berniat untuk membantah atau bertanya kepada Broto. Dengan cepat Laras memutar tubuhnya dan mencari Mbak Laras.
“Munding, aku yakin kamu kesini bersama Ambar kan? Jadi aku tidak akan memperkenalkan dia,” kata Broto, “ini istriku, Reni,” lanjutnya sambil menepuk-nepuk paha gadis cantik yang ada di pangkuannya.
Munding cuma melirik sekilas ke arah Reni tanpa rasa tertarik sama sekali ketika melihat tubuh gadis yang hanya tertutup oleh bikini minimal itu. Reni juga sedikit terkejut melihat reaksi Munding, Reni tahu seperti apa pesona kecantikannya kepada lawan jenisnya, kalau tidak, bagaimana mungkin dia bisa membuat seorang Broto Suseno menyuntingnya.
Tapi reaksi yang didapat dari pemuda yang terlihat lusuh di depannya itu sungguh membuatnya tercengang. Untuk sesaat tadi, Reni merasa kalau lirikan bocah itu, sama seperi lirikan mata seseorang ketika melihat sebongkah batu di tepi jalan. Worthless.
Baru kali ini Reni menemui seorang pemuda ingusan yang masih dalam masa pubernya tapi sama sekali tidak mempunyai ketertarikan pada kecantikan wajahnya dan keindahan tubuhnya.
Reni kemudian mengulurkan tangannya ke arah Munding yang berdiri agak jauh darinya. Broto agak heran dengan sikap istrinya, tapi dia membiarkannya saja.
Munding melirik sekilas ke arah tangan Reni yang terulur tapi Munding sama sekali tidak mengulurkan tangannya ke arah Reni, “Saya mencoba untuk tidak bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram Saya. Tolong pahami keyakinan Saya.”
Muka Reni memerah karena malu. Broto dan Umar tersenyum. Ambar tertawa dan menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mulutnya.
“Ambar, kamu menertawaiku ya?” tegur Reni yang merasa malu luar biasa di hadapan suaminya dan anak buah suaminya, dia berniat melampiaskannya ke Ambar.
“Nggak kok Buk, saya juga pernah digituin sama bocah ini,” jawab Ambar.
Reni pun tersenyum kecut. Tak lama kemudian seorang gadis kecil yang tadi bertemu dengan Munding di ruang tamu sudah datang ke tempat ini bersama Laras yang mengikuti di belakangnya.
Amel duduk di kursi sebelah ayahnya dan tanpa berdosa mengambil buah-buahan yang ada di meja sebelah antara kursi Broto dan Amel. Reni masih asyik duduk di pangkuan Broto dengan bikininya. Amel cuma meliriknya sekilas, ketika dia melihat dada dan pantat Reni, Amel cuma mendengus kesal. Kapan punyaku bisa sebesar punya Reni? batin Amel dalam hati.
Amel mengedarkan pandangannya dan menemukan pemuda lusuh yang tadi ditemuinya di ruang tamu. Tapi pemuda itu berdiri dengan dua tangan terkepal dan pandangan mata yang tak lepas dari Pakdhe Umar, panggilan Amel ke lelaki tua yang menjadi bodyguard pribadi ayahnya.
“Kamu!!” hardik Amel ke arah Munding.
“Bukannya tadi aku menyuruhmu ke pavilion belakang? Kenapa malah ada disini? Lagian, apa-apaan dengan ekspresi mukamu yang seperti itu? Kenapa kau ngelihatin Pakdhe Umar dengan tatapan seperti itu?” lanjut Amel.
Broto terkejut dan dengan cepat dia memberi isyarat agar Umar melindungi Amel, dia tidak tahu reaksi apa dari Munding mendengar hardian Umar.
Munding cuma melirik sekilas ke arah Amel tapi mata dan konsentrasinya masih terfokus ke arah Umar. Ketika Umar menerima sinyal dari Broto untuk melindungi Amel, Munding tidak tahu maksud dari sinyal itu. Jadi ketika dia menemukan Umar dengan tiba-tiba bergerak, Munding menganggapnya sebagai tanda mulai.
Dengan cepat, Munding merangsek maju ke arah yang dituju oleh Umar karena dia ingin mencegatnya. Seluruh konsentrasi Munding hanya terpusat pada Umar dan satu meter area di sekitarnya. Dia tidak ingin ceroboh saat menghadapi lawan yang sebanding dengannya.
“Stop!!!” teriak Broto tiba-tiba.
Teriakan yang membuat Munding menghentikan serangannya. Dan ketika semua tersadar dengan barusan apa yang terjadi dalam sepersekian detik itu. Umar sudah berdiri di depan kursi tempat Amel duduk dengan posisi tangan kiri terangkat dan menangkis ke sebelah atas pundaknya sendiri. Kaki kanan Munding sudah berada dua centimeter dari lengan kiri Umar yang menangkis tadi.
Umar mengambil kuda-kuda wushu yang rendah sekali dan posisi tubuh miring dengan kaki kiri di depan dan kaki kanan di belakang. Tangan kiri melakukan tangkisan atas dan tangan kanannya tergenggam di samping pinggang yang paling jauh dari posisi Munding.
Munding menurunkan kaki kanannya perlahan-lahan, “pak tua, jangan pernah melakukan gerakan spontan di depanku. Salah-salah umurmu yang tinggal beberapa hari itu akan dipercepat lagi,” kata Munding sambil tersenyum.
“Bocah ingusan, bahkan saat kau masih belum jadi tetesan sperma, aku sudah melanglang buana dan menjajal kemampuanku. Dimanapun, kapanpun, silahkan tentukan! Kita buktikan kalau tulang tuaku ini masih bisa melayanimu kalau cuma sekali atau dua kali serangan,” balas Umar.