Bab 6 First Meeting
Retno setengah berlari menuju ke ruang tamu. Dia ingin melaksanakan perintah majikannya dengan secepat mungkin. Bukan karena rasa takut akan amarah majikannya, tapi semata-mata karena dia ingin melakukan instruksi sebaik-baiknya.
Mungkin berbeda dengan anggapan umum. Bekerja di rumah seorang pejabat militer tidaklah semengerikan bayangan Retno sebelumnya. Dia sudah bekerja disini lebih dari dua tahun dan sampai sekarang Retno masih mensyukurinya.
Broto adalah seorang majikan yang baik, meskipun terkadang perintahnya bergaya seperti militer, tapi selama Retno disini, belum pernah sekalipun dia melihat Bapak memarahi karyawannya. Sekalipun dia menemukan mereka sedang bersantai-santai ataupun tidak bekerja.
Selain perlakuan baik yang dia dapatkan dari majikannya, gaji yang diterima pekerja disini juga jauh diatas rata-rata. Cuma dua hal yang menurut Retno menjadi minus saat menjadi asisten rumah tangga di sini. Kejahilan Tuan Puteri dan tingkah laku Mbak Laras.
Saat dia mendengar Bapak menyebut nama Laras tadi, Retno merasa sedikit takut. Mbak Laras, si caretaker yang justru kelakuannya terhadap para pekerja lain di rumah ini jauh melebihi sang pemilik rumah sendiri.
Retno sampai di ruang tamu dalam hitungan menit. Tapi dia tidak menemukan pemuda yang dimaksud Bapak maupun Mbak Laras. Retno kemudian memutuskan untuk ke Ruang Umum. Sebutan untuk sebuah ruangan yang terletak di bagian belakang rumah dan digunakan untuk tempat berkumpul para ART saat mereka senggang.
Ketika Retno memasuki Ruang Umum dan menemukan kondisi yang sedikit tenang tanpa suara, dia tahu kalau Mbak Laras sedang ada di sini. Hal yang sebenarnya jarang terjadi, karena Mbak Laras lebih sering ada di kamarnya sendiri.
Retno melihat ke arah kursi sofa yang ada di pojokan ruangan dan lumayan dekat dengan televisi yang tertempel di tembok. Laras sedang asyik melihat ke televisi tersebut dan memegang remote di tangannya. Retno menguatkan hati dan mendekatinya.
“Mbak, Bapak nyari pemuda yang tadi katanya bareng Mbak Laras di ruang tamu,” kata Retno pelan.
Laras mengalihkan perhatiannya dari televisi yang sedang ditontonnya.
“Bapak?” tanya Laras sambil mengrenyitkan kening, “Bapak atau Bu Ambar?” tanya Laras tak percaya.
“Bapak Mbak,” jawab Retno pelan.
Laras meletakkan remotenya di meja dan berjalan keluar dari ruang umum. Retno mengikutinya dari belakang.
“Kamu ngapain ngikutin aku?” tanya Laras dengan nada yang agak tajam.
“Saya mau kembali ke kolam renang Mbak. Kan tadi masih nungguin Ibu berenang,” jawab Retno.
“Nggak usah, biar aku saja,” potong Laras pendek.
Retno terdiam dan kembali masuk ke ruang umum. Laras kemudian berjalan ke pavilion belakang tempat Munding berada. Tanpa mengetuk pintu, Laras masuk ke dalam bangunan itu. Munding yang sedari tadi masih membersihkan ruangannya sedikit kaget dengan kehadiran tiba-tiba gadis yang mengaku caretaker itu.
“Lain kali, ucapkan salam atau ketuk pintu sebelum masuk ke ruangan,” kata Munding pendek dan datar.
Laras kaget mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Munding, “berani sekali bocah ini berkata seperti itu kepadaku. Bukankah dia harusnya tahu posisiku di rumah ini?” batin Laras dalam hati.
Tapi, entah kenapa, Laras sama sekali tidak punya keberanian untuk menegur atau membentak bocah laki-laki di depannya itu setelah sesaat tadi menatap mata si bocah saat menegurnya. Ada sesuatu disana yang membuatnya merasa kalau sebaiknya Laras tidak mengganggu bocah di depannya.
“Bapak mencarimu,” kata Laras pendek setelah berhasil meredakan emosi campur aduk yang tadi tiba-tiba keluar di dadanya.
Munding meletakkan alat-alat yang dia pakai di lantai dan menepukkan kedua tangannya ke celananya dan berjalan keluar dari bangunan itu. Laras mengejar Munding dan berjalan mendahuluinya.
Tak lama kemudian Munding dan Laras sampai ke kolam renang yang ada di samping kanan rumah. Mata Umar dan Broto sama-sama bersinar saat melihat kedatangan Munding. Mereka berdua adalah serigala petarung dan ketika mereka melihat Munding keluar dari pintu di teras samping dan berjalan ke arah mereka. Mereka berdua tahu secara instinct.
“He’s the real deal.”
Munding pun merasakan hal yang sama ketika melihat dua orang laki-laki yang ada di tepi kolam renang. Dia tahu kalau laki-laki tua yang berdiri di belakang laki-laki paruh baya yang menghisap rokoknya adalah serigala terinisiasi, sama seperti dirinya. Dia merasakan ancaman bahaya dari laki-laki tua itu. Ancaman bahaya pada level yang cukup untuk mengancam nyawanya.
Tapi Munding sama sekali tidak takut, karena dia tahu kalau dia masih mampu memberikan perlawanan untuknya. Berbeda sama sekali dengan tekanan yang dia rasakan dari Pak Yai, yang sampai sekarang pun Munding masih merasa seperti anak kecil ketika berdiri di depan Bapak Mertuanya.
Dan seperti layaknya dua serigala asing yang bertemu untuk pertama kali, mata Munding tidak pernah terlepas dari lelaki tua itu. Senyuman keluar di bibir Munding dan tubuhnya tanpa sadar memasuki mode siaga. Siaga untuk bertarung setiap saat.
Saat Broto dan Umar melihat Munding masuk dalam kondisi siaga begitu mereka bertemu muka, Broto tidak sanggup untuk menahan tawanya dan Umar pun tersenyum menyeringai.
“F**k!! F**k!! F**k!!,” maki Broto dengan suara keras di sela-sela tawanya.
Reni dan Ambar terheran-heran melihat tingkah Broto. Bagaimana bisa seorang Jenderal yang sudah malang melintang dalam dunia militer bisa kehilangan kendali dirinya seperti itu? Reni ingin menegur suaminya yang barusan memaki-maki tapi terlihat ragu-ragu dan akhirnya memutuskan untuk diam dalam pangkuan Broto.
“Sudah kuduga, hasil didikan militan agamis. Liar dan intuitif,” desis Umar sambil menggenggamkan kedua kepalan tangannya.
Umar merasakan darah tua petarungnya mulai terbakar panas dan bergejolak. Hanya seorang petarung yang memahami desakan seperti ini. Desakan untuk mengetahui siapa yang terbaik dari mereka berdua. Desakan untuk membuktikan bahwa dirinyalah seekor Alpha. Serigala jantan nomor satu dan paling depan yang mendominasi kawanan dan semua lawan-lawannya.
Broto menarik napas dalam, “Bite first, ask later, huh?” jawab Broto menimpali komen Umar, “a real wild wolf,” lanjut Broto dengan suara lirih yang lebih mirip sebuah bisikan.
Setelah beberapa saat, Munding kini sudah berdiri di depan Broto dan Umar. Ketiga gadis yang ada di sekitar mereka bisa merasakan sesuatu yang sangat asing sedang terjadi antara ketiga laki-laki ini, bukan, dua laki-laki dan seorang bocah ini.
“Silahkan duduk,” kata Broto sambil tersenyum dengan nada sopan.
Reni dan Laras sangat kaget ketika mendengar kalimat pertama yang keluar dari mulut Broto. Broto Suseno adalah seorang Jenderal yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan yang luar biasa. Reni dan Laras tahu sekali seberapa tinggi kebanggaan dan harga diri yang dimiliki oleh sang Jenderal.
Tidak mudah bagi seseorang untuk mendapat pengakuan dari seorang Broto Suseno. Bahkan untuk sekedar membuatnya memberi kesempatan kepada seseorang untuk berkenalan dan mempunyai koneksi dengannya. Banyak pihak meminta tolong Reni melalui keluarganya untuk memberi mereka kesempatan agar bisa sekedar menjalin koneksi dengan suaminya, dan Reni tahu betapa susahnya melakukan itu.
Sangat jarang sekali seorang Broto mengeluarkan kalimat sopan seperti barusan terhadap lawan bicaranya. Apalagi dia melakukannya untuk seorang pemuda kampungan yang sekarang ada di depannya.
Ambar juga sedikit terkejut tapi tidak seperti kedua gadis itu. Dia tahu apa yang atasannya sedang lakukan, memberikan respect yang layak untuk seorang petarung yang berada pada satu level diatas Broto sendiri. Sama seperti respect yang Broto berikan untuk Umar yang berdiri di belakangnya.