Bab 5 Broto Suseno
Munding mengikuti Laras berjalan ke arah pavilion belakang yang disebutkan oleh gadis kecil tadi. Sesekali dia menoleh ke arah kiri dan kanannya. Memang luar biasa rumah ini, gumam Munding dalam hati.
Rumah ini luas dan ornamennya di berbagai tempat kaya akan nilai seni. Munding beberapa kali melihat ukiran dan patung yang terbuat dari kayu jati diletakkan di sudut-sudut ruangan. Kursi dan meja pun terlihat terbuat dari bahan yang sama.
Tapi setiap ruangan rata-rata mengusung konsep yang berbeda, seolah-olah saat kita memasuki tiap ruangan, kita akan memasuki sebuah dunia yang baru. Munding takjub dengan hal itu. Sebagai contohnya, ruang tamu dipenuhi dengan ornamen kerajinan ukir dari jati, ketika beranjak ke ruang sebelahnya yang mungkin ruang keluarga, suasananya berubah menjadi cozy dan comfort, tidak ada ukiran sama sekali.
Warna dinding juga didominasi dengan warna putih dengan sofa yang ditutupi dengan karpet atau kain beludru berwarna putih yang terlihat lembut. Lantai juga ditutupi dengan material yang sama. Berbagai ruangan lain juga memiliki konsepnya masing-masing dan itu yang membuat Munding sedikit takjub.
Rasa takjub itu ada, tapi tetap sama sekali tidak mempengaruhi cara berpikir dan berlogika Munding. Bagi Munding yang pernah tidur selama 4 tahun di atas kerasnya lantai mushola yang hanya terlapisi sajadah. Semua tempat di muka bumi ini sama saja baginya untuk sekedar memejamkan mata.
Tak lama kemudian, Laras dan Munding sampai ke pavilion yang dimaksud oleh gadis tadi.
Laras terlihat sedikit menahan kesal karena dia harus membawa Munding ke tempat ini. Seharusnya pekerjaan ini bukan Laras yang harusnya mengerjakan, dia bisa menyuruh salah satu cewek yang tadi sedang stand by di ruang umum. Tapi karena Tuan Puteri yang memberikan perintah, mau tak mau Laras pun harus melakukannya.
“Ini pavilion tempatmu tinggal nanti. Saat ini, aku tidak tahu apa yang akan menjadi tugasmu. Tapi karena Bu Ambar yang membawamu, aku rasa kamu pasti keterima kerja disini,” kata Laras sambil membuka pintu pavilion yang terkunci.
Munding masuk ke dalam bangunan tersebut dan menemukan sebuah ruangan yang luasnya sekitar 4m x 6m. Di dalamnya terdapat sebuah kamar tidur, sebuah kamar mandi dan ruang tamu yang dilengkapi sofa. Munding tidak tahu tempat ini disediakan untuk siapa saat dibangun, tapi dia melihat ada 2 bangunan sejenis di samping pavilion yang sekarang dia masuki.
“Ini kunci pavilionmu. Ingat, Bapak sangat pencemburu, tidak ada pekerja laki-laki yang menginap di rumah ini sebelum kamu, tentu saja selain petugas keamanan. Pekerja wanita yang lain semuanya tinggal di dalam rumah utama. Jadi ketiga pavilion ini kosong dari dulu. Sekarang satu sudah terisi oleh kamu. Tunggu instruksi kerja dariku, Bu Ambar pasti mencariku setelah bertemu dengan Bapak tadi,” kata Laras sambil meninggalkan pavilion Munding.
Munding memperhatikan kunci pavilion yang diberikan Laras di tangannya. Dia menghela napas dan kemudian masuk ke dalam kamar yang ada di dalam tempat ini. Munding memeriksa lemari, kasur dan semua perabotan yang ada di dalamnya.
Tak lama kemudian, Munding sudah terlihat sibuk membersihkan kamar dan seluruh bagian dalam dari pavilion ini. Mungkin sudah menjadi kebiasaan Munding untuk selalu rapi dan berbenah dimanapun tempatnya tinggal.
Seorang laki-laki paruh baya sedang duduk sambil menghisap rokok di tangan kanannya. Di sebelah kanannya seorang laki-laki berdiri dengan pakaian biasa. Dia terlihat berumur dan jauh lebih tua daripada laki-laki yang sedang duduk di sebelahnya.
Laki-laki yang menghisap rokok itu berdecak kagum ketika Ambar selesai memberikan semua laporannya secara verbal kepadanya. Laki-laki ini adalah Broto Suseno, seorang petinggi militer dengan pangkat bintang di pundaknya dan bertugas di Kodam IV Diponegoro yang terletak di Pudak Payung, Kota Semarang.
Mereka bertiga ada di tepian kolam renang yang terletak di samping kanan rumah mewah dan luas ini. Seorang gadis yang berbadan seksi dan sedang asyik berenang di tengah kolam renang sama sekali tidak memperhatikan apa yang sedang diperbincangkan oleh ketiga orang itu.
“Siapa nama prajurit yang memberi laporan sedetail itu tentang si Munding?” tanya Broto ke Ambar.
“Namanya Bambang Pak, pangkatnya Sersan Dua ,” jawab Ambar dengan hormat.
“Bibit yang bagus, tarik dia masuk ke departemenku,” kata Broto singkat yang disambut oleh kata-kata ‘siap’ dari Ambar.
“Sekarang dimana si Munding?” tanya Broto dengan mata yang menunjukkan rasa ketertarikan luar biasa kepada Munding.
“Tadi saya meninggalkannya dengan Laras di ruang tamu Pak,” jawab Ambar.
Broto melambaikan tangannya ke arah seorang gadis yang berdiri agak jauh dari mereka bertiga dan memegangi handuk di tangannya.
“Retno, panggilin bocah laki-laki yang sekarang sedang bersama Laras di ruang tamu,” kata Broto pendek.
“Iya Pak,” jawab gadis yang dipanggil Retno, kemudian dia meletakkan handuk di tangannya dan masuk ke dalam rumah melalui pintu teras samping.
Gadis seksi yang tadi berenang sendirian di kolam renang sendirian, berenang mendekati ke arah Broto duduk, “Mas ambilin handuknya.”
Broto tersenyum dan mengambil handuk yang tadi diletakkan Retno kemudian dia memberikannya ke gadis itu, Reni.
Reni naik keluar dari kolam dan menggunakan handuk lebar itu untuk menutupi tubuhnya kemudian dia mencium pipi Broto dengan mesra. Kemudian mereka berdua berjalan menuju kursi tempat Broto tadi duduk dan menikmati rokoknya.
“Kok ada Ambar? jarang lho lihat kamu kesini,” sapa Reni saat melihat Ambar yang langsung berdiri saat mereka berdua sampai ke tempatnya.
Ambar tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan sopan, setelah itu dia duduk kembali. Broto memeluk Reni yang terbalut handuk dan dia kembali duduk bersandar di kursi nyamannya yang tadi Broto gunakan.
“Ambar, benarkah bocah laki-laki bernama Munding ini hasil didikan Izrail?” tanya laki-laki tua yang sedari tadi diam dan selalu berdiri di belakang Broto.
Ambar melirik ke arah lelaki tua itu dan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Senyum sumringah yang terlihat sedikit aneh tersungging di bibir lelaki tua itu. Broto melirik ke arah lelaki tua yang ada di belakangnya.
Lelaki tua itu tersenyum kearah Broto, “sudah lama sekali aku tidak melemaskan ototku. Apalagi bocah ini adalah didikan Izrail, si Pencabut Nyawa. Aku yakin dia pasti bisa memberikan sedikit hiburan untuk seorang pensiunan sepertiku.”
“Umar!” tegur Broto, “ada Reni disini. Tolong pahami.”
Meskipun Broto memiliki pangkat setinggi langit, tapi dia tetap harus memperlakukan Umar dengan rasa hormat. Karena Broto tahu, Umar, bodyguard pribadinya, adalah seorang petarung veteran terinisiasi. Sekalipun Broto sendiri sebagai seorang Jenderal juga merupakan petarung tahap awakening, dia bukan apa-apa di hadapan Umar.