Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Anak Baru

Beberapa jam kemudian mobil yang dikendarai oleh Munding dan Ambar sampai ke sebuah rumah yang letaknya ada di daerah pinggiran kota. Munding sama sekali tidak tahu dimana lokasi tempat ini. Tapi pemandangan di sekeliling lingkungan ini mengingatkannya pada kampung halaman Munding.

Ada gunung yang tinggi menjulang tak jauh di sebelah barat sana. Rumah ini sendiri bisa dikatakan terletak di kaki gunung tersebut. Di sepanjang jalan menuju kemari Munding juga banyak menjumpai sawah-sawah di sepanjang jalan, meskipun tidak seluas di kampung Munding.

Mobil mereka berhenti di depan sebuah rumah yang luas. Pagar depan terbuat dari kombinasi antara dinding bata merah setinggi setengah meter yang kemudian dilanjutkan dengan tiang-tiang besi yang ditancapkan ke atas dinding tersebut. Membentuk deretan tombak runcing setinggi 2 meter.

Di balik pagar bata dan besi tersebut, deretan pohon palm botol ditanam dengan rapi. Bentuk unik dari pohon palm yang besar di bagian pangkal dan mengecil ke atas itu memberikan kesan sedikit ramah jika disandingkan dengan tombak runcing dari besi yang ada di pagar depan.

Sebuah pos yang berukuran 2m x 2m terlihat di belakang pintu gerbang. Dua orang berseragam pakaian lapangan dan bersenjatakan laras panjang terlihat sedang bersiaga di sana. Ketika mobil Ambar berhenti di depan gerbang, dengan sigap salah seoran dari mereka membuka pintu gerbang dan meminta kaca mobil diturunkan.

Ketika melihat penumpang dalam mobil Panther hijau itu, kedua prajurit tadi langsung memberikan sikap hormat dan Ambar membalasnya. Kemudian, mobil tersebut melaju masuk ke dalam halaman rumah ini.

Munding mengedarkan pandangan mata ke sekelilingnya ketika dia turun dari mobil dengan tas ransel kecil di pundak kanannya. Sedikit rasa takjub terlihat di sinar matanya. Ambar yang sedari tadi memperhatikan semua gerak-gerik Munding menangkap hal tersebut dan menarik sedikit napas lega.

“Setidaknya, ada yang membuat dia sedikit takjub. Kalau tidak, aku mulai ragu kalau dia masih punya sifat manusiawi,” keluh Ambar dalam hati.

Ambar kemudian mengajak Munding berjalan masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian seorang perempuan muda dengan pakaian bebas dan rapi menyambut kedatangan Ambar. Dia membisikkan sesuatu ke telinga Ambar dan Ambar menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

“Munding, aku akan ketemu dulu dengan pemilik rumah ini. Dia yang akan memberikan penugasanmu dan juga menjadi penjaminmu dalam program ini. Tanpa dia, kamu akan tetap meringkuk dalam sel isolasi saat ini,” kata Ambar ke arah Munding.

Munding terdiam tanpa ekspresi. Ambar tidak terlalu mengambil hati akan sikap Munding. Dia sudah tahu secara garis besar karakter Munding dari Bambang.

“Ini Larasati, dia caretaker rumah ini. Nanti kalau kamu butuh apa-apa di rumah ini, hubungi saja dia,” kata Ambar sambil beranjak pergi dan masuk ke bagian dalam rumah.

Larasati menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas perkenalan Ambar. Kemudian gadis itu mendekat ke arah Munding dan mengulurkan tangannya. Keliatannya dia ingin berjabatan tangan dengan Munding.

“Hai, namaku Larasati, kamu bisa panggil Mbak, Mbak Laras atau Laras langsung. Aku bekerja sebagai ‘caretaker’ rumah ini,” kata Laras sambil menarik tangannya yang tak kunjung disambut oleh Munding.

“Munding,” jawab Munding pendek, “caretaker, apa itu?” tanya Munding karena memang rasa ingin tahunya terusik.

Laras tersenyum mendengar pertanyaan Munding, ini saatnya untuk membuat bocah di depannya ini tahu seberapa pentingnya posisi Laras di rumah ini, “caretaker itu semacam pemimpin atau admin dari semua pekerja yang ada di rumah ini. Mulai dari sopir, asisten rumah tangga, tukang kebun dan banyak lagi.”

“Kamu bisa menebak nggak ada berapa jumlah pekerja di rumah ini?” tanya Laras.

Munding menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

“Hampir 15 orang, jadi tidak mungkin kan kalau ke 15 orang ini dibiarkan keluyuran sendiri-sendiri tanpa ada yang mengatur, mendisiplinkan dan mengatur gaji mereka,” kata Laras dengan senyuman di bibirnya, senyuman penuh dengan rasa arogan karena di rumah ini dia merasa menjadi raja bagi para pekerjanya.

Meskipun Laras belum menduga untuk apa pemuda kampungan yang ada di depannya ini dibawa oleh Bu Ambar, salah satu ajudan kepercayaan Bapak, tapi dia percaya kalau pemuda di depannya pasti datang kesini untuk mencari pekerjaan. Karena itu, Laras ingin menunjukkan siapa bosnya disini kepada anak baru yang kemungkinan akan segera bergabung ini.

Munding heran dengan tingkah laku gadis di depannya, tapi dia sama sekali tidak ambil pusing karena hal itu sama sekali tidak begitu penting untuknya. Seperti seekor singa yang melihat tupai mengejek di depannya dan menantangnya berduel. Pastilah Sang Singa akan mengacuhkannya.

Tiba-tiba ada seorang gadis kecil yang seumuran dengan Munding keluar dari arah belakang. Munding tak tahu dari mana itu karena rumah ini sangat luas. Begitu dia melihat Munding yang berdiri dengan tas ransel di pundaknya dan Larasati yang berdiri di depannya dengan kedua tangan di terlipat di depan dada, dia tahu apa yang terjadi.

“Anak baru Mbak?” tanya gadis itu.

“Iya Mbak,” jawab Laras sambil menundukkan kepalanya, semua sikap arogan Laras sebelumnya tidak berbekas di hadapan gadis itu.

“Siapa tadi yang ngajak kesini?” tanya gadis itu lagi.

“Tadi datang sama Bu Ambar,” jawab Laras.

“Ya udah kalau gitu, suruh aja dia tidur di pavillion yang ada di belakang. Sampe sekarang belum ada yang nempati kan?” kata gadis itu, meskipun dengan kalimat tanya, tapi nada memerintahnya terdengar kentara.

Laras menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dan memberi isyarat mata ke Munding agar mengikutinya. Munding melihat sebentar ke arah Ambar menghilang kemudian mengangkat bahunya dan mengikuti Laras.

Gadis kecil itu melirik sekilas ke arah punggung Laras dan pemuda itu yang berjalan menuju ke pavillion belakang sesuai perintahnya.

Nama gadis kecil itu adalah Amelia Suseno, putri tunggal dari Broto Suseno, pemilik rumah ini. Di rumah ini, Amel adalah seorang putri. Selama dia yang memberikan perintah, tidak akan ada yang berani menolaknya. Kecuali jika perintah Amel di over rule oleh Papanya.

Ibunda Amel meninggal dunia saat melahirkan Amel. Karena itu, Broto sangat menyayangi putri satu-satunya ini. Tapi sebagai lelaki, Broto yang berumur masih cukup muda dan memiliki jabatan yang tinggi di Angkatan Darat tentu saja tidak bisa hidup menduda. Akhirnya Broto mencarikan seorang Ibu tiri untuk Amel. Ibu tiri yang bernama Anggraeni Suseno.

Novel ini bukan cerita novel tentang kejamnya Ibu tiri, Anggraeni Suseno yang sering dipanggil Reni oleh keluarganya adalah seorang Ibu tiri yang baik. Tapi karena mungkin selisih umur yang sedikit dengan Amel, Amel tidak pernah memanggil Reni dengan sebutan Mama. Dia lebih sering memanggil dengan sebutan Mbak jika ada Papanya dan akan langsung memanggil nama jika tidak ada Papanya di dekat mereka.

Reni adalah seorang mahasiswi yang masih kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Semarang. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana caranya Broto yang sudah berumur bisa mempersuntingnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel