Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 19 Cacing

Saat Munding tiba di lapangan sepak bola yang terletak di belakang sekolah, ratusan siswa sudah berkumpul disana. Mereka bergerombol dan terpisah-pisah. Mungkin berdasarkan kelas atau mungkin geng mereka masing-masing.

Di sebuah sudut lapangan, Munding melihat gerombolan siswa terbesar ada disana. Mereka terlihat eksklusif dan lebih tenang dibandingkan gerombolan lain. Munding juga melihat banyak siswi yang ikut bergabung di antara siswa-siswa itu. Sesekali teriakan kecil dan jeritan tertahan keluar dari mulut siswi-siswi itu ketika ada tangan jahil yang memegang area sensitif mereka.

Ardi terlihat berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan gerombolan itu dengan gagah, seolah-olah dia adalah jagoan yang sedang menanti musuhnya dan akan berduel siang ini.

Munding tahu siapa mereka.

MinMaks dan dengan cewek bergilirnya. Cewek satu lobang rame-rame aka Salome yang entah dengan alasan apa membiarkan tubuhnya menjadi pemuas nafsu gerombolan penuh kemaksiatan seperti MinMaks.

Munding melirik ke arah gerombolan terbesar kedua yang berdiri agak jauh dari MinMaks. Semua anggota kumpulan ini terlihat berkulit putih dan bermata sipit. Jumlah cowok dan cewek juga hampir berimbang. Beberapa diantara mereka terlihat mesra tapi tidak ada terlihat sama sekali unsur paksa memaksa atau tangan-tangan jahil bekerja.

“Kulit Putih Mata Sipit ha?” batin Munding dalam hati.

Pandangan mata Munding tiba-tiba tertuju kepada sebuah meja dan dua siswi berwajah manis yang sibuk melayani sekumpulan orang yang terlihat menyerahkan sejumlah uang ke mereka. Beberapa siswa chinese berwajah sangar berdiri di belakang kedua siswi yang asyik menerima dan mencatat sesuatu di dalam buku tulis di depan mereka setiap kali mereka menerima uang dari siswa-siswa yang berkumpul di depannya.

“Taruhan? Si A Long ini memang....” Munding kehabisan kata-kata untuk menggambarkan kelakuan A Long dan gengnya.

Tak lama kemudian Amel sudah berdiri di samping Munding. Sebenci apapun dia ke cowok kampungan ini, Amel yakin kalau mereka semua sudah tahu status Munding sebagai pekerja di rumah Amel. Jadi Amel memutuskan untuk berdiri di samping Munding.

Munding hanya melirik sekilas ke arah Amel yang baru saja datang dan berdiri di sebelahnya. Tak lama setelah Amel datang, Fariz datang ke lapangan sepak bola itu. Dengan santai dan percaya diri, Fariz berjalan melintasi lapangan menuju ke arah sekumpulan siswa yang berdiri dengan tegap dan teratur di salah satu sisi lapangan.

Ada beberapa siswi juga diantara mereka, tapi semua orang bisa melihat bahwa tidak ada satu cowok pun dalam kumpulan itu yang menyentuh para gadis itu. Mereka berdiri dengan sikap siap dan ketika Fariz berdiri di depan mereka. Dengan serentak mereka menyilangkan tangan mereka di depan tubuh dan berteriak.

“Osu!!!”

Terdengar teriakan kencang anak-anak perguruan karate itu menggetarkan seluruh lapangan bola. Fariz menjawabnya dengan pendek dan tegas, “Osu!” kemudian Fariz berdiri di depan kumpulan perguruannya itu.

Anggota geng MinMaks dan Kupu Mas cuma melirik ke arah Fariz dan gerombolannya. Dari segi jumlah anggota, kelompok karate Fariz memang jauh lebih sedikit dari mereka, tapi baik anggota MinMaks ataupun Kupu Mas akan berpikir dua kali kalau mereka ingin menantang duel anak-anak itu.

Munding tersenyum, ingin sekali dia bertukar pengalaman dengan Fariz ataupun anak-anak karate itu. Tapi dia ke sekolah ini bukan untuk bersenang-senang. Dia ingin menyelesaikan urusannya disini dan segera kembali ke rumahnya. Kalau bisa bahkan sebelum masa sekolahnya disini habis. Munding sama sekali tidak perduli dengan ijazah SMA atau apalah itu.

Tiba-tiba, semua anak yang terdiam karena teriakan kelompok karate barusan, dikejutkan oleh suara teriakan seseorang yang menggunakan megaphone dengan merk TOA dari seorang siswa yang berjalan ke tengah lapangan bola.

A Long.

“Oke, selamat siang kawan-kawan semua. Hari ini kita orang akan saksikan duel termaut sepanjang tahun ini, antara sang juara bertahan Bram MinMaks melawaaaaaaannnnnn....” dengan gaya seperti seorang komentator pertarungan tinju, A Long menggunakan tangannya untuk menunjuk ke arah Munding.

“Penantang kita, si Bocah Gila, Mundiiiiiiiinnnnnnnnnnggggggg,” teriak A Long.

Teriakan A Long yang penuh semangat dan menggelegar dengan megaphone itu sama sekali tidak disambut oleh anak-anak yang ada di pinggir lapangan. Tapi tak lama kemudian, suara teriakan dan sorakan terdengar dari geng Kupu Mas. Nggak mungkin kan mereka membiarkan ketua mereka dikacangin di tengah lapangan bola?

“Jangan lupa, meja taruhan masih dibuka sampai 5 menit lagi di meja Kupu Mas sana, kalian akan dilayani oleh gadis-gadis oriental yang manis dan menarik hati. Ayo, ayo, tunjukkan kalau kalian punya kemampuan prediksi yang bagus. Siapakah yang akan menang dalam duel kali ini?” cerocos A Long sambil berjalan ke kiri dan kanan di sepanjang tepian lapangan bola.

Banyak siswa tergerak untuk melakukan taruhan ke meja Kupu Mas yang sedari tadi belum juga sepi pengunjung. Bram yang sebenarnya datang lebih dulu dari Munding ke lapangan ini tidak menampakkan batang hidungnya dari tadi. Hanya Ardi yang masih berdiri sok gagah di depan barisan MinMaks.

“Hey, cunguk!! Mana si Bram?” tanya A Long ke Ardi, A Long sama sekali tidak menganggap cowok kekar itu, meskipun Ardi adalah wakil ketua Geng MinMaks.

“Jaga bicaramu, Babi!” balas Ardi tak kalah galak.

“Hohohohoho, rupanya cunguk si Bram sudah mulai berani unjuk gigi ya? Gimana kalau habis duel yang pertama ini, kita buat partai tambahan, lu duel sama gue? Mano i mano?” tantang A Long ke Ardi.

“Cacing, bagaimana kalau kau maen sama aku sebelum aku menghabisi si anak baru itu?”

Terdengar sebuah suara dari barisan belakang MinMaks, Bram terlihat berjalan dari sana dan semua anggota MinMaks memberinya jalan dan membiarkannya lewat. Di tangan Bram terdapat sebuah knuckle atau keling berbentuk agak aneh. Setiap ujungngnya mempunyai benjolan yang ternyata adalah ukiran kepala tengkorak.

Material knuckle tersebut terbuat dari logam yang berkilau, mungkin dari stainless steel. Bram menggunakan skull knuckle tersebut di kedua kepalan tangannya. Dia mengibas-ngibaskan tangannya dan menirukan beberapa gerakan tinju. Sepertinya, Bram seorang petinju.

A Long sendiri yang dipanggil ‘cacing’ oleh Bram cuma terdiam. Winata menggunakan nama ‘A Long’ karena arti kata ‘Long’ dalam bahasa mandarin adalah ‘Naga’. Jadi sebenarnya saat Bram memanggilnya ‘cacing’ itu sebenarnya dia sedang mengejek A Long, seolah-olah Bram ingin berkata, “kamu boleh mengaku Naga, tapi di depanku, kamu cuma seekor cacing.”

Kupu Mas dianggap Geng terkuat kedua bukan tanpa alasan. Untuk menentukan yang terkuat, duel tak terhindarkan antar ketua Geng, A Long sudah beberapa kali berduel dengan Bram dan hasilnya selalu sama. A Long terkapar di tanah.

Secara fisik, A Long jauh lebih besar dan berotot daripada Bram, A Long juga rajin fitness dan body building. Selain itu, A Long juga berlatih wushu sejak kecil. Suatu hal yang menjadi kewajiban dalam keluarganya.

Tapi semua itu tetap tidak membantu A Long saat berduel dengan Bram. Bram seperti sebuah benteng tak dapat dihancurkan, yang kemudian menghajar penyerangnya sampai lari tunggang langgang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel