Bab 20 Mulai
“Kenapa kau diam saja?” tanya Bram yang kini berdiri di sebelah Ardi.
“Hei, ini acara lu orang melawan si Bocah Gila, kenapa jadi gue sama lu yang seperti ini?” protes A Long dengan tangan yang masih memegangi megaphone.
“Kau tahu kalau ini duelku melawan anak baru itu, kenapa masih menantang Ardi?” potong Bram sebagai jawaban atas pertanyaan A Long.
“Oke, oke. Cukup,” kata A Long sambil mengangkat kedua tangannya tanda menyerah kalah.
Bram tersenyum melihat reaksi A Long, supremasi tertinggi di SMA ini masih dipegangnya. Melihat reaksi A Long barusan, Bram tahu kalau si A Long masih belum punya cukup keberanian untuk mencoba kembali menggeser posisi Bram di SMA ini.
A Long kemudian memutar tubuhnya dan menggunakan pengeras suara itu lagi, “oke kawan-kawan, Bram MinMaks sudah disini!! Penantangnya juga sudah disini!! Sebentar lagi kita akan mulai duel mereka, siapa yang mau liat darah mengalir siang ini?”
“Hoooooooooooooh,” terdengar teriakan riuh dari seluruh siswa yang ada di lapangan bola ini menjawab pertanyaan A Long.
“Moi, tutup meja taruhan sekarang, kita mau mulai duelnya,” perintah A Long kepada kedua gadis yang melayani meja taruhan di depan gerombolan Kupu Mas, kedua gadis itu mengangguk sambil tersenyum manis kepada ketua gengnya.
Dengan kerumunan siswa sebanyak itu di lapangan bola, suatu hal yang tidak mungkin bagi pihak sekolah untuk tidak mengetahuinya. Tak lama kemudian, beberapa orang security sekolah didampingi guru BK datang ke tepian lapangan bola, tetapi segerombolan siswa berwajah garang menghadang mereka. Dari attribut mereka, Bapak Guru BK dan tim security sekolah tahu kalau siswa-siswa di depannya adalah anggota MinMaks.
“Kami, MinMaks, sedang mengadakan kegiatan ekskul di lapangan bola. Mohon diijinkan untuk menggunakan fasilitas ini,” kata salah seorang siswa tersebut kepada rombongan Bapak Guru BK dan security yang datang kesana.
Tak lama kemudian, segerombolan siswa bermata sipit juga terlihat bergerak menuju ke tempat mereka berdiri, “kami, Kupu Mas, sedang membantu MinMaks untuk mensukseskan acara mereka.”
Guru BK dan security tersebut mulai gemetar ketakutan. MinMaks dan Kupu Mas selama ini selalu bermusuhan, atau paling tidak mereka tidak pernah bekerja sama dalam suatu hal apapun. Tapi kali ini, kedua geng motor ini bekerja sama mengamankan lapangan sepak bola sekolah.
“Apa yang sedang terjadi disana?” batin si Guru BK dan beberapa security yang sedang mendampinginya.
Si Guru BK kemudian memutar badannya dan meninggalkan tempat itu, tapi baru beberapa langkah kemudian dia berhenti dan menoleh ke arah anggota MinMaks dan Kupu Mas, “kami akan melaporkan ini ke polisi. Kalian jangan senang dulu,” ancamnya.
Pentolan MinMaks yang tadi berkata ke guru tersebut tersenyum sinis, “pikir dulu baik-baik, Bapak tidak ingin kan Bram mengunjungi rumah Bapak nanti malam. Siapa tahu dia tertarik saat melihat kemolekan tubuh istri Bapak atau anak gadis Bapak?”
Seluruh tubuh Guru BK tersebut bergetar, kali ini karena rasa takut saat membayangkan siswa bernama Bram dengan tattoo di seluruh tubuhnya itu mendatangi rumahnya di malam hari dan melakukan perbuatan yang disebutkan anak buahnya tadi. Guru BK tersebut sudah berumur dan dia tahu seperti apa cara dunia ini berputar.
Tidak ada keadilan di sana.
Dia cuma seorang Guru BK dan tidak mempunyai saudara yang mempunyai koneksi ke pihak berwenang. Itu artinya, sekalipun Bram benar-benar melakukan perbuatan bejatnya kepada keluarganya sendiri, dan sekalipun dia membuat laporan tindakan kriminal, dia yakin kalau siswa tersebut akan terbebas dari tahanan dalam waktu kurang dari 3 hari dan tanpa mengalami tindakan apapun.
Kenyataan hidup memang seperti itu. Apakah layak baginya mengorbankan keluarganya demi gaji tak seberapa seorang Guru BK dan sebuah idealisme semu?
Guru BK tersebut memutar tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan kepala menunduk. Apa yang bisa dia lakukan? Bimbingan dan konseling cuma sekadar sebutan saja. Sebatas sebutan tanpa arti dan tanpa makna.
Bram dengan percaya diri berdiri di tengah-tengah lapangan bola, dengan knuckle di tangan dan baju seragam lengan panjangnya yang sudah dia lepas dan cuma memakai singlet, tattoo artistic dengan berbagai bentuk terlihat menghiasi tubuhnya.
Tengkorak, botol minuman, gadis telanjang, Leak Bali, wajah setan dan masih banyak lagi tattoo di sekujur tubuh dan lengannya. Dia melihat kearah Munding yang berdiri di sebelah Amel dan memberikan gesture tantangan dengan telapak tangannya yang terbuka keatas dan jari memanggil Munding.
Munding tersenyum dan berjalan menuju ke tengah lapangan bola. Dia berdiri di hadapan Bram dan menatapnya sambil tersenyum. Bram kemudian menolehkan kepalanya ke arah A Long yang memegang megaphone di tangannya.
“Long, sebelum mulai, aku ingin janji dari Amel kalau keluarganya tidak akan mengejarku kalau aku menghajar Munding,” kata Bram tegas ke arah A Long.
Munding cuma tersenyum mendengarnya, “aku janji tidak akan ada yang mengejarmu untuk bertanggung jawab.”
“Aku tidak butuh janjimu!! Aku butuh janji dari Amel,” bantah Bram.
Amel terdiam sebentar dan melihat ke arah Munding, kemudian dia teringat kata-kata Munding tadi, saat dia mengatakan kalau dirinya tidak membutuhkan rasa iba dari Amel.
Amel menghentakkan kakinya ke tanah karena jengkel ketika teringat kata-kata Munding tadi, “aku, mewakili keluarga Suseno, tidak akan mencampuri urusan antara Bram dengan Munding.”
Bram melirik sekilas ke arah Ardi dan seorang siswi yang memegang hp di sebelahnya dari tadi. Siswi tersebut merekam semua kata-kata Amel barusan dan ketika dia melihat Ardi memberikan tanda kalau rekaman itu sudah tersimpan, Bram tertawa terbahak-bahak.
“Kasihan sekali dirimu Munding, kau dibuang oleh majikanmu. Padahal dengan harta yang kamu miliki, kamu tak kalah kaya dengan Papanya Amel sendiri. Tapi sekarang aku akan menghajarmu sampai kamu mau memindahkan semua hartamu menjadi atas namaku,” kata Bram pelan ke arah Munding tapi terdengar jelas di telinga Amel dan A Long.
“Si Amel juga sudah memberikan testimoninya atas nama keluarga Suseno, itu artinya kalian tidak akan bisa mencampuri urusanku dengan Munding lagi. Saat ini semua selesai, dia akan benar-benar menjadi pria miskin lagi,” lanjut Bram sambil tersenyum menyeringai ke arah Amel.
Amel menjadi sedikit panik, dia melihat ke arah Munding dengan perasaan bersalah, “kalau sampai Munding benar-benar dibully dan diperas oleh gerombolan MinMaks, aku harus ngomong apa sama Papa,” keluh si putri Jenderal yang mungkin terlalu polos itu.
Munding berjalan dengan tenang ke arah Bram tanpa memperdulikan perubahan raut muka Amel, “hoi, kau bicara seolah-olah telah berhasil mengalahkanku? Bukankah kita belum mulai? Aku juga ingin tahu sekuat apa si Bram ketua geng MinMaks yang terkenal sangat disegani itu.”
“Kuturuti keinginanmu Bocah Gila!!” teriak Bram sambil bergerak ke arah Munding dengan boxer step-nya, langkah yang unik dimana kaki yang terdekat dengan arah tujuan akan bergerak lebih dulu.