Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 18 Taruhan

Seisi kelas seakan seperti terkena sengatan petir. Si anak baru itu berani ngatain Bram MinMaks seorang cewek? Dan seperti sudah dikomando, hanya satu sebutan keluar dalam kepala mereka secara serentak.

Bocah Gila.

Bram juga terlihat sama kagetnya dengan kawan-kawan sekelas mereka. Ini kali pertama ada kawan seusia yang berani menghinanya terang-terangan di depan matanya sendiri. Bram merasakan rasa amarah memenuhi dadanya dan tiba-tiba terasa naik sampai ke ubun-ubun.

Kedua tangannya mengepal dan otot-otot lengannya menegang. Dia ingin sekali mengayunkan pukulannya ke kepala si Bocah Gila itu. Tapi dia masih mencoba menahan diri karena masih ada si Amel di sebelah Munding.

Apapun alasannya, Munding adalah seorang pekerja yang tinggal dan mungkin bekerja di rumah Amel. Jadi bisa dipastikan kalau Amel bakalan turun tangan kalau Munding diserang orang. Bram sama sekali tidak tahu kalau sebenarnya Amel justru senang sekali dan menunggu dirinya segera menghajar Munding.

Bram masih tetap mencoba menahan amarahnya dengan mengatupkan gerahamnya dan menatap Munding dengan pandangan yang penuh kebencian karena merasa telah dipermalukan.

“Kenapa? Banci sekali? Terima saja dihina seperti itu tanpa berani sama sekali untuk melawan,” kata Munding pelan, sambil melirik ke arah Bram dan kembali duduk di kursinya.

Bram tidak dapat mengendalikan emosinya lagi, dia berteriak sambil menunjuk ke arah Munding, “kau yang banci! Kau itu cuma pekerja di rumah Amel. Kau cuma berlindung di bawah ketiak perempuan! Kalau nggak ada Amel, aku sudah menghajarmu dari tadi.”

Munding tersenyum mendengar kata-kata Bram yang penuh dengan cacian dan kemarahan kepada dirinya. Dari awal, semua tindakan Munding memang sengaja ditujukan untuk memprovokasi Bram. Sebisa mungkin untuk memancing Bram agar menggigit umpannya.

‘Pukul satu orang untuk memperingatkan seratus orang sisanya.’

Munding ingin menggunakan Bram sebagai peringatan bagi semua orang kalau dia memiliki cukup kemampuan untuk menghadapi siapapun yang berniat jelek terhadap dirinya. Dan karena itu, Munding sengaja memancing kemarahan Bram agar dia lebih berani untuk mengambil tindakan aktif menyerangnya.

Munding sudah memikirkan semua rentetan informasi yang dia peroleh dari Ambar dan juga Nur kemarin. Dia mengambil kesimpulan bahwa tidak mungkin seorang siswa kelas dua SMA mempunyai keberanian dan kenekatan untuk melakukan semua yang Bram lakukan. Pasti ada seseorang atau bahkan sebuah organisasi yang memberikan instruksi kepada Bram dalam melakukan aksinya.

Rencana Munding sangat sederhana, dia akan menghajar Bram dan membuat semua geng yang mengincarnya terdiam dan berpikir dua kali untuk mengambil tindakan apapun kepada dirinya. Di saat yang sama, dia juga akan menggunakan kesempatan ini untuk memancing reaksi dari pihak yang memback up Bram dan MinMaks dari belakang layar.

“Kau pikir aku butuh perlindungan keluarga Amel dari seorang banci sepertimu?” jawab Munding dengan nada datar.

Bram melirik ke arah Amel yang duduk di sebelah Munding dan ketika dia melihat Amel sama sekali tidak bereaksi dengan kata-kata Munding, Bram mengambil kesimpulan bahwa Munding tidak sepenting itu di mata keluarga Amel.

“Hahahahahahaha, kuakui nyalimu besar, aku ingin tahu apakah kepalanmu berbicara sekeras mulutmu. Ayo kita duel di lapangan belakang sekolah!!” tantang Bram.

Seisi kelas tiba-tiba riuh mendengar tantangan Bram. Dengan cepat mereka menggunakan smartphone masing-masing dan menyebarkan berita itu ke semua orang. Video kejadian barusan juga tersebar ke grup-grup whatsapp dan berputar di kalangan siswa SMA ini.

Bram kemudian berdiri dan memberi isyarat agar Munding mengikutinya. Munding dengan santai memasukkan buku pelajaran ke tas ranselnya kemudian menyandang tas tersebut ke punggungnya dan berjalan mengikuti Bram.

Dua langkah kemudian Munding berhenti dan menoleh ke arah Amel, “kamu mau ikut?”

Amel terdiam sambil menatap mata Munding, entah kenapa Amel sedikit merasa bersalah ketika Bram benar-benar menantang Munding berduel barusan. Apapun ceritanya, Munding seharusnya jadi bodyguard-nya, itu artinya Amel seharusnya menganggap Munding adalah bagian dari keluarganya atau setidaknya pekerja untuk keluarganya.

Bukankah seharusnya Amel melindunginya?

Amel terlihat sedikit bimbang tapi sebelum sempat menjawab, dia mendengar kata-kata Munding yang terdengar dan memecah lamunannya, “kenapa wajahmu seperti itu? Aku tidak butuh rasa iba-mu. Seharusnya kamu merasa kasihan untuk si Bram. Atau mungkin si Rey? Cowokmu yang lemah itu,” lanjut Munding sambil tertawa kecil dan berbalik meninggalkan Amel.

Amel terbengong mendengar kata-kata Munding barusan, “cowok kampungan ini!! Berani-beraninya dia ngomong seperti itu ke aku,” geram Amel dalam hati.

Amel kemudian membuang semua rasa bersalah dan iba yang tadi sempat muncul untuk Munding, “mampus sana!! Nanti kalau kamu bengkak-bengkak dihajar si Bram, bakalan Amel ketawain sampai puas,” kutuk Amel dalam hati.

Amel kemudian dengan cepat berdiri dan berjalan mengikuti Munding dan Bram. Ardi sudah berlari terlebih dahulu ke luar kelas, tentu saja mengumpulkan anggota geng mereka dan bersiap-siap untuk mensterilkan lapangan bola di belakang sekolah yang akan menjadi tempat duel Boss-nya.

Ketika mereka berempat keluar dari dalam ruang kelas 2-J, siswa-siswi lain yang sedari tadi cuma terdiam menyaksikan semuanya, tanpa dapat dikendalikan lagi langsung berteriak dan bersorak. Mereka baru saja melihat sebuah adegan drama yang menegangkan. Sudah lama sekali ada seseorang siswa yang berani untuk melawan Bram MinMaks.

“Diam!!”

Tiba-tiba terdengar suara bentakan dari seseorang menyuruh mereka semua diam. Murid lain menoleh ke arah suara itu berasal dan mereka menundukkan kepalanya ketika melihat siswa tersebut.

A Long.

Ketua geng Kupu Mas yang sedari tadi diam saja dan hanya ikut memperhatikan adegan saat Munding dan Bram beradu argumen. A Long mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling ruangan kelas.

“Kupu Mas akan mengambil kesempatan ini untuk membuka kesempatan bagi kalian yang ingin bertaruh. Munding vs Bram. Tidak ada handicap, satu untuk satu,” lanjut A Long sambil tersenyum lebar, “beritahu semua kawan kalian di sekolah ini. Sekarang anggotaku sudah menyiapkan sebuah meja di samping lapangan bola untuk menerima uang taruhan kalian.”

Ternyata si otak dagang ini sudah berpikir jauh sedemikian cepatnya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bahkan hanya dalam hitungan menit, dia sudah menyuruh anak buahnya untuk mengorganisasikan meja taruhan untuk duel antara Munding dan Bram.

Suasana ruang kelas masih terdiam ketika tiba-tiba Fariz berdiri dan berjalan ke arah A Long. Fariz menyerahkan uang itu ke A Long, “aku bertaruh untuk si anak baru, 5 juta,” katanya pendek.

Kemudian Fariz berjalan ke arah mejanya dan mengambil tasnya sendiri, kemudian dia keluar dari ruangan kelas. Dia terlihat menuju ke arah lapangan bola yang akan dijadikan tempat duel antara Munding dan Bram.

Sesaat kemudian, A Long sudah dikerubungi oleh siswa-siswi 2J yang ingin bertaruh juga untuk duel Munding vs Bram ini. Di atas meja di depannya, sebuah buku tulis dengan daftar nama dan besar taruhan tertulis di sana. Lembar demi lembar uang dia kumpulkan di atas meja, uang taruhan dari siswa-siswi kelas 2J.

A Long melayani mereka dengan senyuman dan tawa bahagia. Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang A Long dibandingkan saat dia sedang mengumpulkan uang seperti sekarang ini.

“Jangan lupa kasih tahu kawan-kawan kalian juga ya?” kata A Long sambil menggenggam segepok uang di tangannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel