Bab 9 Deal
Semua orang kaget mendengar kata-kata Sucipto, termasuk Husein dan Muhktar, Boss mereka kelihatannya benar-benar tertarik dengan gadis yang belum jelas asal-usulnya ini. Dia menghargai gadis itu 100 juta.
Kalau orang lain saja kaget, apalagi Puji sendiri. Dia dulu tega mengkhianati Asma demi sebuah motor bebek matic seharga belasan juta rupiah. Sekarang, Sucipto berani mengeluarkan uang yang berkali-kali lipat dari itu. Bahkan, Puji sendiri sempat terpikir untuk meminta uang itu dan memilih menjadi wanita Sucipto.
Sucipto jelas menangkap tatapan mata Puji yang bersinar tadi dan dia tertawa dalam hati. Dia tahu seberapa kuatnya pengaruh uang ke orang-orang disekelilingnya. Muhktar, Husein, dan sang Kapten Kusnandar, semua orang itu mengikutinya karena uang. Sucipto sadar sepenuhnya hal itu, dan dia tidak kekurangan uang.
"Kenapa? Kau tenang saja. Setelah aku memperoleh tempat ini, aku akan memberikannya untukmu. Kau mau?" tanya Sucipto sambil tersenyum ke arah Puji.
Mata Puji langsung bersinar, ini promosi jabatan yang luar biasa. Dari seorang pramuria menjadi kasir, dari kasir menjadi pemilik. Siapa yang tak tergiur. Puji tahu kalau omset dan asset kafe Aditya jumlahnya luar biasa meskipun sekilas terlihat sederhana.
Dengan cepat, Puji balas memeluk Sucipto dan memberikan senyum termanisnya. Dia tak peduli apa pandangan atau perkataan orang, seumur hidupnya dia mengejar uang karena masa kecilnya yang serba kekurangan. Dan kali ini adalah peluang terbesar bagi Puji untuk mengubah nasibnya.
Aditya melihat semua drama yang terjadi di depan matanya dengan tatapan kosong. Dia tahu apa yang dipikirkan oleh seorang gadis seperti Puji dan dia juga tahu pilihannya. Tapi, saat ini Aditya sedang menjadi si pecundang, dia hanya bisa menelan rasa pahit dikhianati saat sedang kehilangan hasil jerih payahnya bertahun-tahun.
Husein juga tersenyum pahit. Semua berjalan tak sesuai rencananya. Bayangan dia untuk menjadi pengelola cafe ini dan tubuh sintal si gadis belia yang sekarang memeluk Sucipto melayang ditiup angin.
"Aku sudah bosan melihat drama tarik ulur ini. Semua sudah clear kan?"
Sebuah suara pelan dan tegas terdengar mengagetkan semuanya. Suara si pria berambut cepak yang dari tadi diam saja. Pria bernama Kusnandar.
Kusnandar meletakkan gelas minumannya ke meja kemudian berdiri, "Kau, terima uang 150 juta dari Sucipto untuk usaha ini. Jual beli sah. Aku saksinya," kata Kusnandar sambil menunjuk ke arah Aditya.
"Kau, urus proses balik nama semua asset usaha ini ke nama Gadis itu," lanjut Kusnandar sambil menunjuk kearah Husein dan Puji.
"Sucipto, sesuai perjanjian kita. Separuh dari laba usaha ini mulai bulan depan dan seterusnya jadi milikku. Kirimkan ke nomor rekeningku. Gadis ini juga harus memberikan rincian pembukuan setiap bulan kepadaku," kata Kusnandar ke arah Sucipto.
"Siap Ndan," jawab Sucipto dengan cepat sambil tersenyum.
"Kalian semua, mulai saat ini, usaha ini separuhnya adalah milikku. Jadi siapapun yang mengganggunya berarti menggangguku. Kalian paham?" tanya Kusnandar ke semua orang yang ada dalam kamar tersebut.
Tak ada yang menjawab pertanyaan Kusnandar tapi semua orang mengerti dengan jelas konsekuensi dari proklamasi sang Kapten.
"Bubar. Sudah malam," kata Kusnandar sambil berjalan keluar dari kamar itu.
=====
"Ngapain Amel kesini?" tanya Asma.
"Ih. Emang ini rumah Asma?" protes Amel sengit.
Nurul dan Munding hanya saling bertatapan mata dan menggelengkan kepala mereka berdua. Memang seperti itulah yang selalu terjadi kalau Asma dan Amel bertemu.
Meskipun jarang terjadi karena Amel hanya sesekali main ke rumah Munding. Tapi setiap kali dia kesini dan kebetulan ada Asma, pasti bakalan rame.
"Humph," jawab Asma sambil membuang muka.
"Ih, mirip anak kecil," kata Amel sambil mencibirkan bibirnya.
"Sudah, Mbak Asma sama Mbak Amel ini, dari dulu pertama ketemu, nggak pernah ada akurnya," kata Nurul mencoba mendinginkan suasana.
Nurul yang paling muda dari mereka berempat. Kan Asma dan Amel seangkatan dengan Munding, sedangkan Nurul sendiri adek kelas mereka, tapi saat ini dan setiap kali, Nurul justru yang selalu harus bersikap dewasa dan memisahkan mereka.
Munding, dia tak pernah peduli dengan semua itu, padahal dia biang masalahnya.
Mereka berempat lalu makan siang bersama di rumah Nurul.
"Dek Nurul belum 'isi' juga?" tanya Amel saat mereka sedang makan siang.
Muka Nurul langsung memerah. Mbaknya yang satu ini memang suka ceplas ceplos kalau ngomong, lagi makan siang juga masa bahas gituan.
"Belum Mbak," jawab Nurul sambil menundukkan kepala dengan muka memerah, entah malu karena apa.
"Tapi 'bikin' jalan terus kan?" lanjut si Amel sambil tertawa kecil.
"Mbak!!" protes Nurul, norak banget sih, masa yang gituan ditanyain juga.
Asma mendelik ke arah Amel, tapi dicuekkin sama si Amel seolah-olah dia tidak menganggap kalau Asma itu ada.
Amel melihat ke arah Munding dengan tatapan menyalahkan.
"Kok kamu ngeliatin aku kaya gitu Mel?" kata Munding.
"Munding tu harus lebih 'sayang' ke Dek Nurul. Kamu nggak mau punya momongan ya?" tanya Amel dengan nada menggurui.
"Apaan sih Mel. Kaya kamu yang udah pernah nikah aja," jawab Munding dan membuat Amel geregetan, nusuk banget kata-kata Munding itu.
Munding, Asma, dan Amel berusia 21 tahun saat ini, sedangkan Nurul berusia 20 tahun. Munding juga mengharapkan momongan secepatnya dan sama sekali tidak menjalankan program menunda momongan sama sekali. Dia sama sekali tidak menggunakan kontrasepsi dan selalu berharap kalau dia dan Nurul dikaruniai buah hati secepatnya. Tapi, manusia hanya bisa berusaha dan Allah yang menentukan semuanya. Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda Nurul berisi seperti yang mereka berdua harapkan.
"Munding, dapat salam dari temen-temen," kata Amel tak lama kemudian setelah mereka terdiam.
"Hmm?" Munding melihat Amel dengan pandangan penuh tanya.
"Fariz, Rin, Wowo, dan A Long. Wowo masih jalan sama Citra sampai sekarang. Mereka semua kuliah saat ini. Beberapa waktu lalu, kami reunian. Yang dibahas mereka cuma kamu. Sesekali ajaklah Dek Nurul ke Semarang," kata Amel.
Nurul tertawa kecil, "boleh juga tu Mas. Kapan-kapan kita liburan, sekalian ajak Mbak Asma jalan-jalan juga," jawab Nurul.
"Berarti deal ya?" jawab Amel dengan cepat, "nginep di tempat Amel kan?" lanjutnya dengan muka ceria.
Munding pernah mengajak Nurul ke rumah Amel sekali saat mengantarkan undangan pernikahan mereka. Nurul tahu kehidupan keluarga Amel seperti apa, tapi sama seperti yang sudah-sudah, dia kagum tapi sama sekali tidak iri. Bagi Nurul yang dibesarkan secara sederhana, hidup dengan cara seperti sekarang bersama suaminya adalah yang terbaik untuknya.
Amel sama sekali tidak menunggu jawaban dari Munding. Semua orang di meja ini tahu kalau Munding akan selalu mengiyakan apa yang diminta Nurul. Asalkan Nurul sudah setuju, suaminya pasti ikut setuju.
"Pasti Papa sama Pakdhe Umar bakalan seneng sekali kalau Munding maen ke rumah. Mereka nanyain kamu terus," kata Amel.
Nurul tersenyum. Suaminya sudah bercerita tentang semua yang dia alami setelah dibawa pergi oleh militer malam itu. Tak ada rahasia antara mereka berdua lagi sejak mereka menikah. Termasuk identitas Munding tentang serigala petarung. Tentu saja, Munding sudah berkonsultasi dengan Bapak Mertuanya sebelum mengambil keputusan itu.