Bab 10 Petani
"Munding," panggil Umar dengan tatapan aneh.
Munding mengerti maksud Umar. Pak Tua itu tangannya gatal ingin berduel dengannya. Seorang Serigala Petarung tahap inisiasi sepertinya selalu kesusahan menemukan lawan yang sebanding, dan hari ini Munding datang sesuai informasi dari Amel beberapa minggu yang lalu.
Amel, Asma, dan Nurul pergi belanja ke mall. Jarang-jarang mereka jalan ke kota besar seperti sekarang ini. Mereka tentu tak ingin melewatkan kesempatan ini.
Munding tidak ikut dan ditinggal di rumah. Bagi Munding, tidak ada yang lebih menyiksa daripada menemani wanita-wanita itu berbelanja.
Saat ini, ada 3 orang selain mereka berdua, Broto, Laras, dan seorang gadis yang bernama Afza Ramadhani di tempat ini. Munding merasakan aura yang sama dengan dirinya dan Umar dari si gadis yang bernama Afza itu. Dia seorang Serigala Petarung tahap inisiasi juga seperti dirinya.
Broto terlihat antusias, dia punya misi lain kali ini. Saat putrinya mengatakan kalau Munding ingin berkunjung ke Semarang, dia langsung menghubungi Afza untuk datang kesini.
Afza adalah seorang prajurit terbaik dari Angkatan Darat. Dia petarung termuda yang mencapai tahap Inisiasi dari sekian banyak prajurit elit didikan Angkatan Darat. Di usianya yang baru menginjak 24 tahun, dia sudah berhasil melakukannya.
Prajurit wanita genius yang berasal dari Makassar, Sulawesi dan salah satu kandidat yang akan direkomendasikan oleh Broto untuk masuk tim gabungan yang akan ditugaskan memburu Chaos.
Gadis cantik berambut panjang dan diikat itu juga terlihat sangat tertarik dengan Munding. Sedari awal, dia sangat penasaran dengan warga sipil yang selalu dipuji Broto itu. Karena itu, dia sangat bersemangat saat Broto memberitahunya kalau Munding datang berkunjung dan dia bisa berjumpa dengan pria itu.
"Pak Tua, kau kan tahu kalau aku sudah pensiun. Selama beberapa tahun ini aku cuma seorang petani yang sehari-hari menanam padi disawah ditemani istriku yang cantik," kata Munding, tapi kata-katanya sama sekali tidak sesuai dengan tatapan mata Munding yang juga sangat gatal sekali setelah sekian lama tidak merasakan adrenaline mengalir di tubuhnya.
Afza terkejut mendengar cara bicara Munding terhadap Umar. Umar adalah legenda di Angkatan Darat, setelah dia memasukki usia pensiun, Umar memilih tinggal disisi Broto tapi dia tetap sesekali mendidik para petarung dari militer.
Hampir semua petarung Angkatan Darat mengenal sang legenda, dan mereka semua sangat menghormati Umar. Afza sedikit merasa geram dengan sikap Munding yang seolah-olah tidak memiliki respect sama sekali terhadap Umar.
"Afza, jangan melihat Munding seperti itu. Beberapa tahun lalu, saat Munding masih SMA, dia imbang dengan Umar, karena itu aku sangat mengaguminya. Kamu sudah sejauh apa saat usia SMA?" kata Broto sambil tersenyum.
Afza terdiam.
Mereka berlima lalu berjalan ke lapangan di bagian samping rumah Broto yang bersebelahan dengan Kolam Renang. Umar dan Munding sesekali bercakap-cakap tetapi mereka berlima tahu kalau seiring langkah kaki keduanya, momentum mereka berdua semakin terasa.
Momentum yang terasa seperti ketika seorang pemanah perlahan-lahan menarik tali busurnya ke belakang, yang pada waktunya nanti akan dilepaskan dan membuat anak panah bersarang ke sasarannya.
Laras, sebagai murid pribadi didikan Umar, tentu sangat antusias dengan duel ini. Dia ingin melihat seperti apa pertarungan Serigala Petarung dalam tahap Inisiasi.
Tiba-tiba.
Wussssss.
Munding dan Umar sama-sama menghilang. Mereka berdua seperti sudah janjian untuk memasukki mode tarung di saat yang sama.
Dari ketiga orang yang tersisa, hanya Afza yang bisa menangkap dengan jelas gerakan kedua orang itu. Broto dan Laras cuma melihat dua bayangan yang saling berbenturan beberapa kali dengan kecepatan luar biasa.
Buakkkk.
Munding terlempar ke belakang. Sedikit darah keluar dari bibirnya. Dadanya terasa sesak karena terkena pukulan Umar.
Umar masih dalam posisi melakukan pukulan lurus. Keduanya sudah keluar dari mode tarung dan sama-sama mengambil nafas.
"Hmmmm. Memang benar katamu. Kau sekarang cuma seorang petani. Kau tidak sekuat dulu lagi," kata Umar dengan senyuman mengejek.
Tapi semua orang tahu kalau Umar hanya bercanda. Mereka bertukar pukulan dalam mode tarung selama setengah menit tadi. Dan Munding yang berhasil berduel imbang dengan Umar selama setengah menit, sama sekali bukan orang yang lemah.
=====
"Bapak, saat aku hidup damai dan menjadi seorang petani biasa, apakah kekuatan Serigala Petarungku akan hilang dengan sendirinya?" tanya Munding kepada Pak Yai, guru, mentor, ayah angkat, sekaligus Bapak Mertuanya yang sudah Munding anggap sebagai Bapak Kandung sendiri.
Pak Yai tertawa.
"Apakah menurutmu begitu? Kalau memang seperti itu, apakah kamu pernah melihatku berlatih fisik, melatih teknikku atau latihan apapun selama ini? Dan apakah menurutmu aku sekarang lebih lemah daripada saat masa mudaku? Saat aku masih menyandang gelar 'Izrail' di medan perang?" Pak Yai justru balik bertanya kepada Munding.
Munding terdiam dan mencerna perkataan Pak Yai. Dan dia tersadar kalau jalan pikirannya salah.
"Saat seseorang menjadi seorang Serigala Petarung, secara psikis dia seperti seperti seekor ulat yang telah menjadi kupu-kupu. Pernah melihat seekor kupu-kupu kembali menjadi ulat?" kata Pak Yai.
"Apalagi pada tahap inisiasi seperti kita. Untuk mencapai tahap selanjutnya, fisik sudah tak lagi berarti. Manifestasi lebih ke arah kondisi psikis dibanding fisik. Seseorang membutuhkan momen pencerahan atau akumulasi pemahaman jatidirinya untuk mencapai kesana. Tak ada kaitannya sama sekali dengan kondisi fisik yang dia miliki," lanjut Pak Yai.
=====
Munding tersenyum.
"Aku seorang petani, tapi aku juga Serigala Petarung," kata Munding pelan sambil melihat ke arah Umar.
"Saat kita menjadi Serigala Petarung selamanya kita akan tetap Serigala Petarung. Itu yang diajarkan oleh guruku," lanjut Munding.
Intent yang memancar dari tubuh Munding menguat seiring dengan bangkitnya semangat bertarung yang dia miliki.
Umar tersenyum, "Ini yang kusuka dari kalian, para petarung militan, tak pernah patah semangat dan pantang menyerah."
Munding mengambil kuda-kuda favoritnya dan Umar pun sama, mereka berdua tersenyum dan sesaat kemudian sosok mereka berdua kembali menghilang.
Ronde kedua dimulai.
=====
"Mas, kok bisa luka-luka seperti itu? Pasti berkelahi lagi ya?" sungut Nurul sepulang belanja bersama kakak-kakak angkatnya sambil memperhatikan dengan seksama beberapa luka lebam di muka Munding.
Umar terbatuk-batuk di tempatnya sambil melirik ke arah mereka berdua. Luka di wajah dan tubuhnya lebih parah dibandingkan Munding tapi tidak ada yang memperhatikan dia seperti Nurul memperhatikan Munding. Saat itu, dia sedikit merasa iri kepada pria yang selalu dianggapnya seorang bocah itu.
"Pakdhe kenapa? Ngiri ya sama Munding? Humph. Salah sendiri, tiap kali ketemu, cuma duel aja yang ada di kepala Pakdhe," sungut Amel.
Afza tersenyum kecut. Apa yang dilihatnya hari ini membuat gadis itu merubah image yang ada di kepalanya tentang Umar, legenda hidup bagi para petarung didikan Angkatan Darat sepertinya.
Afza juga sesekali melirik ke arah Munding, pria yang sekarang seolah-olah terlihat seperti seorang bocah yang diomeli oleh Ibunya setelah ketahuan berkelahi di sekolahnya.
Sebuah pemandangan yang sangat kontras dengan yang dia saksikan beberapa jam tadi, saat Munding berduel dengan Umar. Saat itu, Munding adalah seorang petarung sejati, bertarung dengan semangat pantang menyerah dan gagah berani.
Munding sangat berbeda dengan rekan-rekan petarungnya dari militer. Mereka adalah petarung elite yang senantiasa menjaga wibawanya dan bertingkah laku layaknya seorang prajurit elite.
Bukan seperti Munding yang sekarang menundukkan kepalanya sambil mendengarkan ocehan gadis berjilbab di sebelahnya sambil menganggukkan kepalanya berkali-kali seperti seorang bocah yang kena omelan dan menyesali perbuatan nakalnya.