Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 Menolak

"Munding, aku ingin berbicara sesuatu. Bisa?" kata Broto malam itu setelah makan malam bersama di rumah Broto.

Munding terlihat kebingungan, tapi akhirnya dia menganggukkan kepala setelah melirik ke arah istrinya dan tidak melihat ada keberatan di sana.

"Jangan malam-malam," kata Nurul sambil beranjak berdiri menuju kamar tamu rumah Pak Broto bersama dengan Asma dan Amel.

Kini tinggal 4 orang di meja makan itu, Broto, Umar, Afza, dan Munding.

"Kita menghadapi masalah skala nasional sekarang. Sekelompok serigala petarung yang menamakan diri mereka dengan sebutan Chaos sedang melancarkan operasinya di negara kita," kata Broto memulai ceritanya malam itu.

"Mereka terdiri dari Serigala Petarung tahap Inisiasi dan kemungkinan juga ada tahap Manifestasi di antara mereka."

"Mereka hanya beranggotakan kurang dari 10 orang, tapi dengan kemampuan inividu mereka, mereka bisa berbuat kejahatan dan terror tanpa halangan di negara kita."

Munding ingin mengatakan sesuatu tapi menahannya kembali, memberi kesempatan bagi Broto untuk menyelesaikan ceritanya.

"Mereka beranggotakan Serigala Petarung dari berbagai negara di Asia. Sampai saat ini, kami baru bisa mengidentifikasi 2 orang saja. Seorang petarung dari Thailand, dan satu lagi dari Filipina."

"Tapi, ada satu Petarung lokal yang bergabung dengan mereka, kamu pasti mengenalnya, kawan lama kita Yasin."

"Eh?" Munding sedikit kaget, bukankah tangan kiri Yasin patah saat terakhir kali mereka duel?

"Hahahahahaha. Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Justru gara-gara itu, kami dapat mengenali Yasin dengan mudah."

"Mereka bukan grup terroris atau militan seperti milik gurumu dengan tujuan non profit."

"Mereka menerima order apa saja asal harganya cocok. Pembunuhan, huru hara, penculikan, atau misi apa saja."

"Kami, militer dan polisi, membentuk tim gabungan untuk memburu mereka, minimal Petarung tahap Inisiasi. Setiap lembaga diminta untuk mengirimkan dua orang kandidatnya. Dari Angkatan Darat, aku sudah punya satu kandidat, Afza," kata Broto sambil menunjuk Afza.

"Tentunya kamu tahu siapa kandidat kedua yang aku rekomendasikan," lanjut Broto sambil tersenyum.

"Aku menolak," jawab Munding dengan cepat.

Afza terlihat kaget, mendengar jawaban Munding dan betapa cepat dia menjawabnya, seolah-olah itu adalah keputusan yang sama sekali tidak penting.

Di lain pihak, Broto dan Umar langsung tertawa ketika melihat jawaban Munding dan reaksi Afza.

"Kamu!! Dimana rasa pratiotisme kamu? Ini tugas mulia demi negara. Kalau negara memanggil, kita harus berlari memenuhi panggilannya meskipun darah dan tangis menanti," kata Afza dengan penuh emosi.

Mendengar kata-kata Afza yang penuh dengan patriotisme tinggi disertai dengan emosi yang meluap-luap, Broto dan Umar justru tertawa makin keras.

"Gadis ini sungguhan? Kalian beri dia makan apa hingga bisa mencuci otaknya seperti itu?" kata Munding dengan nada heran kearah Broto dan Umar.

Afza makin emosi dan menggertakkan giginya ketika mendengar kata-kata Munding. Tapi belum sempat dia membalas kata-kata Munding barusan, Pak Broto memberikan isyarat tangan padanya agar berhenti.

"Afza, jangan sebut patriotisme dan negara di depan Munding. Dia militan. Norma yang berlaku baginya berbeda," kata Broto dengan senyuman di bibirnya.

"Kalian tidak mengajari mereka tentang kami?" tanya Munding sedikit heran.

Broto dan Umar tersenyum, "kami mengajari petarung kami. Tapi kamu harusnya tahu kalau salah dan benar itu relatif. Jadi apa yang kami sampaikan terkadang sedikit berbeda dengan kondisi aktual di lapangan."

"Itu bahasa yang rumit untuk menggambarkan 'kebohongan' yang kalian ajarkan ke anak didik kalian," jawab Munding sambil tertawa.

Afza terdiam, "benarkah selama ini kami dibohongi?" katanya pelan dengan pandangan tak percaya ke arah Umar.

Umar melihat ke arah Afza, "jangan berpikir terlalu rumit. Ada saatnya nanti kamu akan bertemu dengan banyak Serigala Petarung dari berbagai latar belakang. Ada militan seperti Munding, pebeladiri, gangster, polisi, mafia, dan banyak lagi lainnya. Yang terpenting bagimu, percayai apa yang kamu anggap benar dan telah mengantarkanmu sampai ke tahap ini."

Afza terlihat berpikir sebentar dan menganggukkan kepalanya sesaat kemudian. Dia kini tahu, masing-masing petarung punya latar belakang masing-masing. Apa yang dia anggap penting, belum tentu penting bagi petarung lain. Siapa yang salah? Tak ada.

"Munding, kami tahu kamu akan menolak. Tapi setidaknya, pertimbangkan dulu permintaanku," kata Broto mengakhiri diskusi malam ini.

=====

"Kalian nggak langsung pulang hari ini kan?" tanya Amel ke arah Munding dan Nurul selepas sholat subuh di musala rumah Amel.

Munding melihat ke arah Nurul kemudian Nurul tersenyum, "nggak Mbak, mungkin besok aja. Kemarin kan kita dah jalan-jalan ke mall. Hari ini kita jalan-jalan wisata ya? Mas Munding nanti biar ikut juga," kata Nurul, "kalau kemarin kan acara kita-kita aja," lanjutnya.

"Sip," jawab Amel sambil mengacungkan jempolnya, "Amel nanti kasih tahu kawan-kawan mana tahu hari ini bisa ketemuan," lanjut Amel ke arah Munding.

Mereka berempat kemudian sarapan pagi di ruang makan. Broto dan istrinya belum kelihatan. Umar, Afza, dan Laras juga tak nampak batang hidungnya. Praktis hanya mereka berempat yang sarapan sepagi itu selepas sholat subuh.

Beberapa asisten rumah tangga di tempat Amel juga terlihat antusias dan berani mengajak Munding mengobrol satu atau dua kalimat. Munding tentu saja melakukan itu di bawah tatapan marah istrinya.

"Oooo. Mas Munding rupanya tebar pesona juga ya waktu tinggal disini?" sindir Nurul dengan sadis.

"Nggak Dek ... "

Belum sempat Munding selesai ngomong Amel sudah memotongnya, "dulu, tiap pagi, Mbak-mbak tadi pada ngeliatin Munding latihan di belakang sana. Jam seginian gitu, selepas sholat subuh," kata Amel menambahkan kipas supaya apinya makin membesar dan membuat Nurul melirik makin sadis ke arah Munding.

"Aduuuuuhhhhh," Munding mengaduh karena merasakan cubitan di pinggangnya oleh tangan kecil Nurul.

Asma dan Amel tertawa puas melihat Munding dianiaya Nurul pagi itu.

=====

"Ini mau kemana Mbak?" tanya Nurul ke arah Amel yang duduk di bangku depan.

Munding yang jadi supirnya sedangkan Asma dan Nurul di bangku belakang.

Kok aneh gitu? Karena Amel kan harus jadi navigator aka penunjuk jalan. Makanya dia ngotot duduk di depan. Nurul sih oke-oke aja, Munding dan Asma yang teriak-teriak memprotesnya. Tapi keputusan Ibu Negara sudah bulat dan tak dapat diganggu gugat lagi, akhirnya Asma dan Munding hanya bisa pasrah dan membiarkan Amel mendapatkan keinginannya.

"Kita ke Bandungan dulu ya? Biar sama kayak si Abi," jawab Amel.

Munding cuma melirik ke arah gadis manis di sebelah kirinya, "apaan coba ngajak-ngajak ke situ?" kata Munding dalam hati.

"Disana ada apaan?" tanya Nurul lagi kepo.

"Agrowisata, Candi, dan pastinya kuliner," jawab Amel dengan semangat.

"Boleh, kalau agrowisata, berarti ada kebun bunga juga kan? Nanti Nurul mau selfie berdua sama Mas disana. Ya kan Mas?" tanya Nurul.

Munding mengiyakan permintaan Nurul. Sedangkan Asma dan Amel hanya bisa meratapi nasib mereka berdua. Kalau buat mereka, photo berempat atau bertiga masih memungkinkan terjadi, tapi kalau selfie berdua saja dengan Munding? Ngimpi!!

Tak lama kemudian, mobil mereka sampai ke tujuan. Nurul keluar dari pintu dan langsung merentangkan kedua tangannya lebar-lebar sambil menghirup udara segar pegunungan di pagi hari.

"Jangan lebar-lebar, nanti ada yang nafsu ngeliatin buah dada Dek Nurul," bisik Munding di telinga Nurul.

Jelas aja muka Nurul langsung memerah mendengarnya.

Sebuah pemandangan romantis terlihat pagi itu, seorang gadis manis berjilbab mengejar-ngejar seorang laki-laki di parkiran taman bunga, diiringi kabut tipis yang pelan-pelan naik ke langit. Hembusan napas mereka yang tersengal-sengal menciptakan gumpalan kabut-kabut kecil yang melayang keluar dari mulut dan hidung mereka.

Amel dan Asma yang baru saja keluar dari mobil dan melihat tingkah Munding dan Nurul, tersenyum kecut saat melihatnya.

"Kayaknya kita berdua bakalan jadi obat nyamuk dan dibikin ngiri sama kemesraan mereka berdua seharian deh Mel," bisik Asma perlahan.

Amel menganggukkan kepalanya, "kayaknya iya, Ma," jawab Amel sambil tersenyum kecut.

Itu kali pertama mereka berdua sependapat dan tidak saling adu argumen satu sama lain sejak mereka saling mengenal.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel