Bab 8 100 juta
"Bagaimana bisa?" tanya Sucipto.
Mukhtar kemudian menceritakan semua kejadian yang dialaminya saat di rumah Munding tadi. Husein dan Sucipto mendengarkan dengan seksama, tapi saat Muhktar mengatakan pendapat pribadinya tentang Munding yang seperti seorang 'veteran' dalam hal premanisme dan kehidupan jalanan, Sucipto langsung berteriak menghardik Muhktar. Tetapi, sebelum Sucipto sempat menyembur Muhktar dengan kata-kata makiannya, Husein menghentikannya.
"Kita mungkin sudah diperalat oleh Aditya. Seharusnya dari awal kita tahu, kalau bocah itu memang masalah yang mudah diselesaikan, tak akan mungkin Aditya meminta bantuan kita. Pasti dia akan menghajarnya sendiri," gumam Husein yang langsung membuat emosi Sucipto makin meluap.
"Beraninya dia. Aku memberinya kesempatan untuk mencari makan di wilayahku, tapi justru dia memanfaatkan aku. Sekalian aja kita gasak si Aditya terus kita ambil alih usahanya," kata Sucipto dengan suara penuh kekesalan.
Harga dirinya merasa diinjak-injak saat Sucipto tahu kalau dia sudah dimanfaatkan oleh Aditya. Untung saja, Sucipto tidak terlalu cerdas, seharusnya dia juga sadar kalau ada satu oknum lagi yang beperan disini. Siapa lagi kalau bukan Husein.
Mata Husein bersinar terang untuk sesaat. Sebuah ide timbul di kepalanya. Kalau Sucipto memang berkeinginan untuk mengambil alih usaha Aditya, tentunya orang pertama yang berpeluang besar untuk dipercaya agar mengelola usaha itu adalah dirinya. Tak mungkin si bebal Muhktar atau Sucipto sendiri yang akan mengelolanya karena dia tahu Sucipto adalah type orang tak pernah mau ambil pusing.
"Ini jauh lebih baik dari tawaran Aditya. Dan gadisnya yang masih belia itu ... " isi kepala Husein sudah membayangkan si Puji yang sudah membuatnya tertarik sejak mereka bertemu malam itu.
"Aku hanya seseorang yang mengandalkan otakku. Kalian semua pasti selalu menganggap remeh diriku. Tapi, pada akhirnya nanti, aku akan memperoleh apapun yang kalian punyai," kata Husein dalam hati, mungkin para pecinta wayang akan melihat sosok Sengkuni pada dirinya.
"Boss, aku setuju dengan usul Boss. Memang Boss tak kekurangan uang. Tapi dengan mengambil alih usaha Aditya, Boss punya pengaruh kuat kepada para pelanggan tempat itu. Aku rasa mereka bukan hanya datang dari kampung ini," bujuk Husein.
Sucipto menganggukkan kepalanya ketika mendengar saran Husein.
"Ada benarnya juga," kata Sucipto.
Husein tidak tahu kalau saat itu, yang memotivasi Sucipto untuk merebut usaha Aditya bukanlah pengaruh atau uang seperti yang disebutkan oleh Husein. Tapi, seorang gadis bernama Puji yang sekarang juga berada dalam kepala Husein sendiri.
=====
Buakkkkkkkkkk.
Aaaahhhhhhhhh.
Buak buukkk buakkkkk.
"Aduhh. Ampun Bang. Ampun."
Suara teriakan mengaduh dan pukulan bertubi-tubi mengenai sasarannya terdengar di sebuah kamar dengan perabotan yang agak mewah malam itu.
Di luar kamar tersebut ada puluhan pria berbadan kekar yang terlihat bersitegang dan terbagi menjadi dua kubu. Di satu sisi adalah kubu Sucipto dan di sisi yang lain adalah kubu Aditya.
Kubu Sucipto terdiri dari pria-pria berbadan tegap dan kekar. Mereka memiliki potongan rambut cepak dan terlihat seperti pria ramah dan baik-baik tanpa tattoo, sedangkan kubu Aditya, terdiri dari gerombolan pria berwajah sangar, berambut gondrong, dan kebanyakan dari mereka memiliki tattoo. Mereka adalah karyawan cafe Aditya yang sudah lama ikut dengannya dan bisa dibilang loyal kepada Aditya.
Meskipun jumlah mereka lebih banyak, tapi gerombolan Aditya tidak berani bertindak gegabah. Bukan apa-apa, mereka tahu betul kalau kumpulan pria yang sedang mereka hadapi sekarang pastilah bukan warga sipil. Mereka tak ingin bentrok dengan aparat tak berseragam tanpa ada instruksi jelas dari Aditya.
=====
Di dalam kamar.
"Ampun Bang. Udah bang. Aku turutin Bang. Tapi setidaknya berilah aku nilai yang pantas untuk jerih payahku selama bertahun-tahun ini Bang," rengek Aditya dengan muka yang berdarah-darah dan pelipis mata yang membengkak.
"Kau kan sudah kukasih 50 juta, Bangsat!!! Sesuai dengan yang ada di perjanjian jual beli ini," teriak Sucipto.
"Bang, kira-kira lah Bang. Satu mobil operasionalku saja harganya empat kali itu Bang. Belum yang lain lagi," kata Aditya ke arah Sucipto.
Karena mungkin panik, semua orang dia panggil Bang, Muhktar yang tak berhenti menghajarnya, Husein yang menyodorkan akta 'jual-beli' kepadanya, Sucipto yang memaki-makinya dan bahkan seorang pria berambut cepak dan tegap yang hanya diam saja sedari tadi.
"Anggap itu dana pensiunmu, atau kau mau tali asih juga? Tangan atau kaki kupatahin?" bentak Sucipto.
Aditya mengkeret sambil melirik ke pria berbadan tegap yang duduk diam sambil menikmati minuman di depannya.
Aditya adalah orang yang hidup di jalanan. Kalau kondisi kepepet, dia berani bertaruh nyawa dengan tiga orang trio kwek kwek yang berkuasa di Sukorejo ini. Tapi, bukan mereka yang dia kuatirkan melainkan pria berambut cepak dan hanya duduk diam saja itu.
Aditya tahu siapa dia. Siapa lagi kalau bukan Danramil Sukolilo. Seorang tentara berpangkat Kapten dan ditugaskan untuk mengepalai Koramil Sukolilo.
Aditya tak menyangka kalau Sucipto bakalan menggaet pria itu. Dirinya sendiri dekat dengan Kapolsek Sukolilo, tapi di depan Komandan satu ini, Suprapto pasti hanya akan menganggukkan kepala saja.
Itulah yang membuat Aditya putus asa dan cuma bisa merengek minta dikasihani.
Aditya belum bisa merelakan usaha yang dia rintis selama bertahun-tahun dihargai sebanyak itu. Dia tahu kalau uang itu hanyalah sebatas formalitas saja, pada dasarnya Sucipto ingin merebut usahanya. Tapi, karena dia tak bisa melakukan apa-apa saat ini, dia memutuskan mundur teratur, sementara.
Setelah hening sesaat, suara Sucipto terdengar, "oke. Panggil gadismu ke sini. Aku mungkin berubah pikiran," kata dia.
Tak lama kemudian, Puji masuk ke kamar itu dengan raut wajah bingung. Dia tahu kalau tempat ini sekarang sedang mengalami krisis terbesarnya, tapi dia tidak menyangka kalau dirinya akan dilibatkan. Seorang gadis pramuria sepertinya yang hanya kebetulan menarik perhatian Aditya.
"Cantik, kita ketemu lagi," kata Sucipto saat melihat Puji.
Dengan cepat Sucipto menarik Puji ke dalam pelukannya, "kau lihat laki-lakimu. Dia sekarang sedang merangkak di bawah kakiku. Masih ingin bersamanya?" tanya Sucipto.
Puji melirik ke arah Aditya, dan memang benar laki-laki itu kini sedang merangkak di lantai dengan luka di sekujur wajah dan tubuhnya.
Puji menutup mulutnya dengan tangan karena ketakutan setelah melihat kondisi Aditya, Boss sekaligus laki-lakinya yang selalu disegani sekarang terlihat hina dan tak berdaya.
"Sudah kubilang, di Sukorejo, akulah penguasanya," kata Sucipto sambil menepuk dada.
"Ini tawaran terakhirku. Tadi aku memberimu 50 juta untuk tempat ini. Asal si Cantik ini mau menjadi wanitaku dan tetap tinggal disini, aku naikkan tawaranku menjadi 150 juta. Bagaimana?" tanya Sucipto ke arah Aditya.
Semua orang kaget mendengar kata-kata Sucipto, termasuk Husein dan Muhktar, Boss mereka kelihatannya benar-benar tertarik dengan gadis yang belum jelas asal-usulnya ini. Dia menghargai gadis itu 100 juta.