Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Putus Nyali

"Bubar!!!"

Teriak seorang laki-laki berbadan kekar dan bermuka sangar di depan musala yang sedang digunakan oleh anak-anak untuk mengaji sore ini.

Anak-anak yang sedang mengaji pun ketakutan dan berteriak, sebagian bahkan ada yang mulai menangis dan berlari ke arah Asma dan Nurul. Beberapa bocah laki-laki yang pemberani mencoba bertahan berdiri di barisan depan teman-teman perempuannya dan kedua Ustazah cantik idola mereka, meskipun kaki mereka gemetaran.

Munding, yang seperti biasanya, sedang menimba air di bak untuk wudlu yang ada di samping musala, juga kaget. Ember yang hampir sampai ke tangannya meluncur jatuh ke dalam sumur lagi. Munding hanya bisa berharap kalau si Ember malang tidak pecah saat menimpa air di kedalaman sumur.

"Ealah," keluh Munding sambil mengikat tali timba ke kaitan yang ada di dekat sumur dan melirik ke arah depan musala, tempat suara keras itu berasal.

Munding kemudian berjalan ke halaman depan musala dan melihat seorang mahluk sedang berkacak pinggang dan memasang muka kasar. Laki-laki itu sendirian dan badannya cukup kekar.

"Assalamualaikum," kata Munding sambil berjalan mendekat ke arah orang itu.

Laki-laki kekar tadi hanya melirik sekilas ke arah pemuda yang menurutnya berusia tak lebih dari 25 tahun dan berjalan menuju ke arah dirinya sendiri.

"Ini yang namanya Munding? Gampang kalau urusan ini mah," kata Muhktar dalam hati.

"Siapa yang memberimu ijin untuk membuat musala disini?" kata Muhktar dengan suara keras menggelegar tanpa membalas salam Munding.

"Siapa yang memberimu ijin untuk mengajar mengaji disini?" belum sempat Munding menjawab, suara keras Muhktar kembali membahana.

"Memangnya kamu bisa sesuka hati berbuat semaumu di kampung ini?" teriak Muhktar semakin berapi-api seperti orator yang sedang demo dan ditayangkan di televisi.

Munding melirik ke arah anak-anak yang ketakutan dan menangis di dalam musala, kemudian pandangannya bertemu dengan kekasihnya.

Nurul tersenyum dan dia sedang memeluk seorang anak perempuan yang menangis di depannya.

"Maaf, bisakah kita berbicara di tempat lain? Banyak anak-anak disini. Mereka mudah ketakutan," kata Munding dengan nada pelan dan masih sopan.

Belum sempat Muhktar menjawab, tangan Munding yang sekarang sudah berdiri di depan Muhktar terulur kedepan. Tangan itu berhasil memegang pergelangan tangan Mukhtar dan Munding merematnya keras.

"Ughhhhhh," Muhktar meringis kesakitan, dia sama sekali tidak menyangka kalau pemuda berbadan sedang di depannya memiliki tenaga sekuat itu.

Muhktar berusaha mengeraskan otot tangannya dan melawan remasan tangan Munding, tapi dia gagal dengan usahanya itu. Dengan cepat, Muhktar menyentakkan tangan kanannya ke samping, tapi jangankan bergerak ke samping, tangan kanannya yang dipegang Munding sama sekali tak bergeming dari tempatnya.

Setelah mencoba melepaskan diri beberapa kali dan gagal, Muhktar akhirnya menyerah dan hanya bisa meringis menahan sakit.

"Bisakah kita bicara di tempat lain?" bisik Munding pelan, setelah melihat laki-laki itu 'tenang'.

Dari gelagatnya, Munding tahu kalau orang ini datang ke rumahnya karena ingin mencari gara-gara dan dia tidak akan mentolerir itu.

Muhktar menganggukkan kepalanya sambil tetap meringis kesakitan.

Munding dan Muhktar berjalan ke belakang musala. Berbeda dengan rumah Pak Yai yang langsung berbatasan dengan sawah, belakang musala dan rumah Munding adalah kebun buah. Sawah justru terletak di bagian depan rumah mereka.

Kini, Muhktar dan Munding sudah berdiri di kebun buah itu.

"Oke. Sekarang ngomong," kata Munding sambil melepaskan tangan Muhktar.

Muhktar memegangi dan mengelus-elus tangan kanannya yang masih kesakitan. Dia melihat dengan seksama pemuda yang ada di depannya sekarang.

Pemuda itu memakai kaos oblong berwarna putih polos dan celana kolor 3/4 diatas mata kaki berwarna hitam. Sama sekali tidak ada yang istimewa darinya. Tapi, Muhktar baru saja merasakan kekalahan dalam adu fisik antara dirinya dan pemuda di depannya sekarang.

"Aku disuruh oleh Pak Kades untuk memberitahumu kalau Beliau tidak ingin ada musala yang dipakai untuk tempat mengaji di kampungnya," kata Muhktar pelan.

"Pak Kades? Siapa Kadesnya sekarang?" tanya Munding.

"Sucipto. Dia anak pengusaha kaya dari Kota Kabupaten. Dia bisa menggerakan satu kompi tentara atau polisi jika dia mau," kata Muhktar dengan nada sedikit bangga, setidaknya dia berusaha untuk mendapatkan rasa percaya dirinya yang sempat hilang tadi.

Munding menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Muhktar senang sekali melihatnya. Humph, baru tahu kau sekarang, batin Muhktar dalam hati.

"Bilang sama Kades, namaku Munding, aku lahir disini, bapakku, kakekku, dan leluhurku juga lahir disini. Ini kampungku, bukan kampungnya," kata Munding.

Muhktar memasang wajah kaget ketika mendengar kata-kata Munding.

"Aku tak bisa menerima ancaman dengan baik. Sebaiknya dia tahu itu. Ketika seseorang mengancamku dan dia serius soal itu, bersiap-siaplah untuk mendapat balasan dariku," lanjut Munding.

Muhktar terdiam dan bisa menjawab perkataan Munding. Sesuai skenario awal, dia datang kesini dan membuat sedikit keributan. Lalu Munding dan keluarganya akan ketakutan dan menghentikan aktivitas mereka. Langkah selanjutnya, mereka akan memberikan tekanan kedua dengan tujuan memaksa Munding dan keluarganya hengkang dari kampung ini. Tapi kelihatannya rencana Husein dan Kades tidak berjalan semestinya.

"Oke kalau begitu, aku akan memberitahu Kades kata-katamu," kata Muhktar sambil membalikkan badan menuju ke mobil Suzuki Katana yang menjadi mobil operasionalnya.

"Hei," panggil Munding.

Muhktar menolehkan kepalanya kebingungan.

Buaaakkkkkkkkk.

Oughhhhhhhhhhhh.

Uhuk uhuk uhuk.

Muhktar terjengkang ke tanah dan terbatuk-batuk mengeluarkan darah. Dia baru saja terkena pukulan Munding tepat di bagian mulutnya. Pukulan yang membuat bibirnya pecah dan dua giginya patah.

"Pukulan itu karena kau telah membuat anak-anak yang mengaji ketakutan tadi. Berdiri dan lawan aku kalau kau tak terima," kata Munding pelan.

Muhktar menatap ekspresi muka Munding yang dingin dan datar tanpa emosi dengan wajah kagetnya.

Muhktar kenal dengan ekspresi seperti itu. Ekspresi yang biasanya muncul pada seseorang yang telah merasa muak dengan kekerasan sepanjang hidupnya. Seseorang yang telah melalui perjuangan yang berat dan terbiasa menggunakan kedua kepalan tangannya.

Muhktar merasakan keringat dingin mengalir dari punggungnya. Tubuh, usia, tampang sangar tak ada artinya dalam duel. Hanya mental yang berbicara, dan Muhktar tahu kalau nyalinya sudah putus di depan Munding.

"Lain kali. Bersikaplah sopan jika bertamu," kata Munding dan dia meninggalkan Muhktar yang masih telentang di atas daun-daun kering yang menutupi tanah kebun belakang mushola.

"Napa Mas?" tanya Nurul saat melihat Munding sudah kembali dari belakang musala.

"Nanti ya?" jawab Munding, "ada anak-anak," lanjutnya pelan.

Nurul mengangguk sambil tersenyum. Dia dan Asma lalu melanjutkan lagi tugas mereka.

=====

"Jadi, siapa tadi Mas?" tanya Nurul saat mereka bertiga makan malam.

"Anak buahnya Kades Baru. Aku nggak tahu nama orang tadi, tapi kayaknya dia disuruh oleh Kades Sukorejo yang namanya Sucipto untuk bikin ulah," jawab Munding.

"Mas nggak kenapa-kenapa kan?" tanya Asma kuatir.

"Mas Munding kenapa-kenapa? Nurul aduin sama Bapak nanti kalau lawan orang kek tadi Mas Munding kalah," cibir Nurul sambil ketawa tanpa rasa kuatir sama sekali.

"Masa istriku sendiri malah nggak ada kuatir-kuatirnya sih?" keluh Munding dalam hati.

=====

"Kamu? Sampe segitunya? Dikeroyok berapa orang kamu?" tanya Sucipto ke arah Muhktar malam itu.

Sucipto dan Husein jelas kaget saat melihat luka Muhktar, bibir pecah dan dua gigi yang patah. Muhktar pandai berkelahi, karena itu, Sucipto merekrutnya menjadi bodyguard dia. Untuk preman sekelas Aditya, Muhktar lebih dari cukup. Karena itu, Sucipto jelas kaget saat dia melihat luka Muhktar, karena misinya kali ini harusnya misi sepele.

"Nggak ada Boss. Aku dipukul bocah itu. Dia bukan bocah sembarangan Bos," jawab Muhktar.

Muka Sucipto tertegun, ini kali pertama Muhktar gagal menjalankan misinya. Kalau pulang babak belur sih sudah sering.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel