Bab 6 Kenangan
Aditya kembali duduk di sofanya dan mendelik ke arah pramuria yang menemaninya. Maksudnya jelas, dia tak ingin kejadian tadi tersebar ke anak buahnya yang lain. Sebagai Boss, tentu dia punya harga diri yang harus dijaga.
"Panggilkan Puji," kata Aditya.
Pramuria yang menemaninya seperti mendapatkan ampunan dan meninggalkan ruangan itu dengan segera. Tak lama kemudian, sesosok gadis berwajah cantik dan berdandan sedikit rapi masuk ke dalam ruangan mereka.
Mata Sucipto langsung bersinar terang saat melihat Puji.
"Jadi, barang yang bagus kamu simpan sendiri gitu Dit?" cibir Sucipto ke arah Aditya.
"Nggak gitu Boss. Dia ini cuma kasir disini, bukan pramuria. Jadi dia tidak melayani tamu," kata Aditya mencoba membohongi Sucipto.
Puji tersenyum manis, usahanya tak sia-sia. Aditya mulai memiliki rasa kepada dirinya dan masuk ke jeratan perangkapnya.
"Aku tak peduli, aku mau dia," kata Sucipto tegas.
Muka Aditya sedikit berubah, "Boss kan dah ada dua yang nemani sekarang. Dia ini cuma kasir Boss," tolak Aditya.
"Kalau dia 'cuma' kasir. Kamu tak akan bersikap begitu. Dia wanitamu ya?" tanya Sucipto langsung menebak hubungan antara Aditya dan gadis berbaju rapi itu.
Aditya terdiam sebentar lalu menjawab, "iya Boss."
"Nah gitu, kan enak kalau terbuka," kata Sucipto sambil terkekeh, "aku mau dia."
"Boss?" jawab Aditya kaget, bukannya dia sudah mengakui kalau Puji adalah gadisnya?
"Kamu lebih mentingin dia daripada 'persahabatan' kita?" bentak Sucipto setelah melihat reaksi Aditya.
"Persahabatan palamu peyang?" jawab Aditya dalam hati.
"Hei, kamu. Sini," kata Sucipto ke arah Puji.
"Bang?" panggil Puji ke arah Aditya, meminta pembelaan dan pertolongan tentunya.
Aditya cuma menundukkan kepala dan tak menjawab, "bangsat, kalau kau sudah tidak menjadi kepala desa, lihat pembalasanku nanti," rutuk Aditya dalam hati.
Puji sedikit kecewa dengan sikap Aditya. Dia sempat berharap kalau laki-laki itu akan menjadi perhentian terakhir dan penyelamatnya dari nasib Puji sebagai 'piala bergilir' yang sudah dia alami sejak SMA.
Tapi kenyataan yang berbicara di hadapannya berkata lain. Puji masih harus tetap kembali menjadi benda mati yang dipindahtangankan dari satu orang ke orang lain, sama seperti dulu.
Tatapan penuh harap Puji berubah tatapan kekecewaan setelah Aditya tak memberikan pembelaan yang dia inginkan.
Aditya menghindari tatapan penuh kekecewaan dari Puji, sesuatu yang meluluhlantakkan egonya sebagai lelaki.
Untuk saat ini, dia bisa apa? Dengan terpaksa dia harus menelan penghinaan ini dan berharap suatu hari, roda berputar dan akan tiba masanya dia yang akan melakukan ini ke Sucipto.
Puji berjalan pelan sambil menundukkan kepalanya ke arah Sucipto dan duduk di sebelahnya. Si Pramuria yang sebelumnya duduk disana bergeser dan duduk di sebelah Aditya.
Tapi si Preman sama sekali tak bernafsu untuk menyentuhnya. Di kepalanya, dia hanya sibuk memikirkan balasan apa yang akan dia lakukan untuk Sucipto kelak.
"Kamu cantik dan masih belia. Berapa umurmu?" tanya Sucipto sambil tangannya masuk ke dalam kemeja Puji yang sudah duduk di sebelahnya.
"Wuihhhh. Mengkal. Ciri khas anak remaja. Kamu pasti masih belasan tahun kan? Memang kualitas no 1," kata Sucipto sambil terkekeh pelan.
Puji hanya tertunduk diam.
Sucipto mulai sedikit naik pitam karena sikap acuh tak acuh Puji.
"Kau tahu siapa aku?" tanya Sucipto sambil memegang dagu Puji dan mengangkatnya.
Puji menggelengkan kepalanya.
"Aku kepala desa Sukorejo. Kampung ini," kata Sucipto bangga.
Mendengar kata-kata Sucipto, ingatan Puji melayang ke Joko Sentono, anak Kades lama yang merenggut keperawanannya, setelah itu membuatnya menjadi pemuas nafsu gerombolannya. Ingatan itu lalu melayang menuju saat Puji dijanjikan sepeda motor oleh Joko kalau dia bisa membujuk Asma untuk datang ke lapangan kosong di pinggir desa malam itu.
Dan kenangan itu berakhir ketika Puji mengalami kejadian yang mengerikan malam itu. Saat si Anak Lonte kembali muncul tanpa diduga dan menghabisi kawanan Joko. Bukan hanya itu, Puji juga mendapat kabar kalau di malam yang sama, Karto, centengnya, dan seluruh keluarga Munding juga dihabisi. Firasat Puji mengatakan kalau Munding yang melakukannya.
Bayangan pemuda yang memakai jumper hitam dengan gambar tengkorak di punggungnya itu sangat membekas dalam hati Puji.
Termasuk ancaman terakhir yang dia berikan kepada Puji, agar Puji memberitahu semua laki-laki di Sukolilo, kalau siapapun yang menyentuh wanita Munding, akan bernasib sama dengan Joko.
"Kenapa Asma yang mendapatkan seorang pelindung seperti Munding? Kenapa aku tidak? Dari dulu, sampai saat ini, aku selalu menjadi obyek pemuas nafsu laki-laki. Dimana letak keadilan?" jerit Puji dalam hati.
Tanpa sadar, bibir Puji menyebut sebuah nama, "Munding."
"Ha? Apa? Kamu bilang namamu Munding?" tanya Sucipto.
Puji tergagap, "Bukan. Makudku bukan itu," mukanya terlihat pucat pasi, untuk sesaat tadi, Puji terbawa kenangan masa lalunya dan tidak dapat menguasai diri.
Sucipto melihat perubahan raut wajah Puji yang berubah dari melamun, sedih, marah, kaget, dan yang terakhir pucat pasi ketakutan. Hanya satu orang yang seperti tadi, orang gila di pinggir jalan. Ketika pikiran itu merasukki pikirannya, Sucipto tak bernafsu lagi terhadap gadis ini.
"Sudah sana, kamu cantik, seksi. Tapi kayak orang gila gitu. Ngelantur sendiri. Bikin moodku nggak enak aja," kata Sucipto sambil mendorong Puji agar pergi.
Puji melangkah mendekati Aditya, tapi si Preman itu masih menundukkan kepala. Meskipun Puji tidak berkata apa-apa, tapi kelelakian Aditya serasa diinjak-injak saat dia tidak bisa melakukan apa-apa ketika wanitanya diminta laki-laki lain.
Puji duduk di sebelah Aditya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun atau bersuara.
Untuk sesaat, hanya suara kendang dari lagu dangdut pantura yang terdengar di dalam ruangan karaoke itu.
"Oke Dit. Nggak usah berbelit-belit. Aku pengen tahu kenapa kamu mengundang kami kesini," kata Sucipto setelah menarik napas panjang.
"Ya. Seperti yang kubilang tadi Boss. Tempatku ini mulai sepi, karena ... "
Aditya mulai menceritakan soal Munding, mushola dan TPA-nya. Dan juga tentang warga yang mulai suka nongkrong di mushola samping rumah Munding.
"Kurang ajar!! Mau apa dia bikin ulah seperti itu? Mau ngumpulin massa? Mau melawanku saat pemilihan kepala desa?" teriak Sucipto setelah menggebrak meja sekali.
Aditya tersenyum dalam hati. Tapi, sesaat kemudian dia melirik ke arah Husein. Aditya tahu kalau sebenarnya yang berpikir dalam tim Kepala Desa adalah si Husein ini, bukan Sucipto.
Membuat Sucipto berang dan tersulut emosinya itu gampang, meyakinkan Husein lain ceritanya. Tapi, Aditya tahu satu hal yang menjadi kelemahan Husein, uang.
Beberapa saat kemudian, suara yang ada di dalam ruangan hanya suara desahan nafsu Sucipto dan Muhktar. Aditya melirik ke arah Husein.
"Bang, bantu aku meyakinkan Pak Kades agar mengurus bocah yang bernama Munding itu," kata Aditya.
Husein melihat ke arah Aditya, "dan?"
"Kalau sukses Bang, aku kasih jatah bulanan ke Abang. Pribadi. Bukan melalui Pak Kades," bisik Aditya pelan.
Mata Husein bersinar, "berapa?"
Aditya tersenyum, memang enak diskusi dengan orang yang cerdas dan tidak bertele-tele, "pelangganku yang diajak tobat sama Munding ada 5 orang Bang. 3 untuk aku, 2 untuk Abang," kata Aditya.
"Aku nggak ngerti maksudmu," kata Husein.
"Maksudku gini Bang, nanti kalau Munding sudah kita babat, terus pelangganku pada balik, tiap mereka 'maen' disini, untung dari mereka aku kasih ke Abang," kata Aditya.
Husein manggut-manggut, berarti jumlahnya tidak fix dan tergantung orangnya. Bisa kecil tapi bisa juga gede banget, apalagi kalau ketemu orang kaya yang royal, meskipun kayaknya nggak mungkin. Tapi, paling tidak ada tambahan uang untuk beli rokok.
"Aku setuju, tapi, aku pilih sendiri orangnya," kata Husein.
"Oke Bang. Deal. Ini Puji, kasir di tempatku. Nanti kalau semua sudah kelar, Abang kasih tahu aja ke dia yang mana orangnya," kata Aditya.
Husein tersenyum dan melirik ke arah Puji. Gadis cantik yang sedari tadi diam saja.
"Dia gadismu ya?" tanya Husein.
Aditya tertawa kecil, "iya Bang."
"Hmmmm. Pandai kau," komen Husein dan kembali menikmati rokok dan minuman yang ada di depannya.