Bab 5 Pelan aja ya Bang?
"Munding beneran nggak mau nerusin kuliah? Nurul juga?" tanya Amel sambil menikmati tempe goreng bikinan Nurul bersama mereka berdua.
"Nggak Mbak, mau ngejar apa coba? Mending Nurul ngehabisin waktu sama Mas Munding," jawab Nurul sambil tersenyum.
Jleeebbbbb.
Sebuah pisau tak kasat mata nancep di dada Amel. Perih cuy, Amel cuma meringis kecut mendengar kata-kata Nurul.
"Kalau aku juga married sama Munding, ngapain juga kuliah," sungut Amel dalam hati.
Munding tertawa melihat ekspresi muka Amel.
"Kamu ngapain ketawa?" teriak Amel ke arah Munding, keluar lagi brutalnya si Amel tanpa sadar.
Tapi sesaat kemudian, Amel tertawa kecil, sambil menundukkan kepala. Susah bener jadi gadis imut kaya Nurul, apalagi di depan Munding, keluh Amel.
Padahal dandanan udah pas dan manis habis, tapi Amel merasa kalau dirinya harus lebih banyak belajar lagi biar benar-benar terlihat feminim dan anggun.
=====
"Mbak nggak nginep?" tanya Nurul waktu mengantar Amel ke mobilnya.
"Nggak, cukup deh Dek. Kalau kelamaan disini, ntar Mbak bakalan makan hati ngelihat kalian mesra-mesraan terus," sungut Amel.
Nurul tertawa. Amel memang nggak seperti Asma. Meskipun Nurul tahu kalau Asma menaruh hati kepada suaminya, tak sekalipun Asma menyinggung atau membahas perasaannya. Sedangkan Amel beda, dia dengan terbuka mengakui kalau dia punya rasa ke Munding. Bahkan dengan berani mengatakan itu kepada Nurul, istri Munding.
Untung saja, Nurul bisa memaklumi dan berbesar hati, kalau tidak? Bisa-bisa Nurul bakalan ngamuk ke Amel. Mana ada sih, cewek terang-terangan ngomong ke seorang istri kalau cewek itu menaruh hati kepada sang suami? Itulah Amel.
Gadis manis yang sekarang sudah berjilbab dan sedang kuliah di salah satu universitas di Semarang itu.
"Ati-ati di jalan ya Mbak?" kata Nurul.
"Iya. Salam buat Mas Munding," jawab Amel.
Amel kemudian mengucap salam yang dibalas oleh Nurul. Mobil Amel kemudian terlihat meninggalkan rumah Munding di Sukorejo. Amel tersenyum bahagia di dalam mobilnya, yang terpenting baginya, dia sudah bertemu Munding. Sedikit rasa rindu dalam dadanya sudah terobati.
=====
Empat orang laki-laki terlihat sedang menikmati alunan musik rakyat yang digandrungi oleh kalangan pinggiran, dangdut pantura, di sebuah ruangan dengan installasi peredam suara yang istimewa.
Jadi meskipun di dalam ruangan tersebut sedang memutar lagu yang keras dan memekakkan telinga, tak ada suara sedikitpun yang terdengar dari luar ruangan.
Mereka adalah Aditya yang sedang menjamu tamu-tamunya.
Setelah dia bertemu dengan Suprapto, Aditya tidak menyerah begitu saja. Dia tahu kalau dia tidak bisa menyentuh Munding. Tapi, itu bukan berarti kalau Aditya harus diam saja dan menerima nasibnya kan?
Dan disinilah mereka sekarang, empat orang 'penguasa' Sukorejo semenjak tumbangnya Karto Sentono.
Seorang laki-laki yang berusia sekitar 40an awal, masih muda memang, terlihat duduk di tengah dan sofa paling panjang. Di kanan kirinya terdapat dua orang gadis pemandu karaoke yang selalu menempel dan merayu laki-laki tersebut.
Wajah laki-laki itu putih bersih dan tidak terlihat kalau dia adalah penduduk desa yang bergulat dengan cangkul dan sawah setiap harinya. Dia lebih mirip dengan laki-laki terpelajar lulusan universitas dan menghabiskan waktunya bekerja di kantor bagian keuangan. Bukan seperti author yang sehari-hari harus berurusan dengan mesin las, gerinda dan panas mentari.
Nama laki-laki itu adalah Sucipto.
Sucipto adalah kepala desa baru di Sukorejo. Dia adalah anak seorang pengusaha di kota kabupaten. Saat Karto meninggal dan diadakan pemilihan kepala desa yang baru, Sucipto datang dan dengan dukungan penuh dana yang keluarganya miliki, Sucipto berhasil menjadi Kepala Desa disini.
Apakah menjadi seorang Kepala Desa sangat menarik bagi seseorang seperti Sucipto? Tentu saja. Seseorang mungkin memiliki uang tapi belum tentu memiliki status. Seseorang bisa saja tiba-tiba menjadi kaya raya, tapi tidak semua orang bisa menjadi Kepala Desa.
Dan di desa Sukorejo ini, Sucipto adalah raja.
Sama seperti saat ini, Aditya sang Preman sekaligus Pengusaha yang ditakuti warga kampungnya harus tetap menundukkan kepalanya di depan Sucipto.
Setiap kali Sucipto kesini, ke warung remang-remang Aditya, dia akan selalu mendapatkan dua wanita cantik untuk menemaninya. Semua yang dia lakukan disini dan habiskan ditempat ini, tentu saja gratis tanpa membayar sepeser pun. Dan selain itu, Aditya harus tetap tersenyum dan menunjukkan muka ramah kepada dirinya.
Karena dia, Sucipto, sang Kepala Desa.
Seandainya Sucipto datang ke sini dengan predikat sebagai 'orang kaya' bukan perlakuan seperti ini yang akan dia terima. Bisa-bisa, dia akan 'disembelih' oleh Aditya dan diperas uangnya sampai titik darah terakhir. Itulah kenapa orang mau membayar mahal demi sebuah status, termasuk Sucipto.
Di sebelah kanan Sucipto duduk seorang laki-laki yang seumuran dengannya. Perawakannya sedang tapi berotot dan dia berkulit agak gelap. Berbeda dengan Sucipto yang mengenakan kemeja rapi, laki-laki ini memakai kaos yang agak ketat dan memperlihatkan otot-ototnya.
Laki-laki itu juga terlihat sedang 'menikmati' gadis di sebelahnya dan sama sekali tidak peduli dengan yang lain. Laki-laki itu adalah bodyguard pribadi Sucipto yang dapat diibaratkan bayangan si Sucipto. Kemanapun Sucipto pergi, dia akan selalu ada. Nama laki-laki itu Mukhtar.
Aditya duduk di sebelah kiri Sucipto, tapi dia tidak sendirian di sofa panjang itu. Ada seseorang yang sedikit pendiam disebelahnya, tidak ada wanita penghibur menemani di sampingnya. Dia hanya diam dan menikmati minumannya tanpa kata-kata. Laki-laki pendiam ini adalah Husein, dia penasihat Sucipto, bertanggung jawab untuk berpikir, apa pilihan yang paling baik bagi Sucipto untuk dia ambil.
Jadi pada dasarnya, ketiga orang yang bersama dengan Aditya saat ini adalah elit politik desa Sukorejo. Siapapun yang bisa menembus blokade ketiganya, maka dia bisa berbuat apa saja di Sukorejo.
"Boss, tumben murung saja? Tadi katanya ngajak party. Kami dah datang kesini tapi kok kayaknya si Boss lagi banyak masalah gitu?" kata Sucipto sambil meremas-remas buah dada pramuria di sebelahnya.
Aditya menarik napas dan berpura-pura terlihat galau. Setelah berakting selama beberapa detik, Aditya menarik napas panjang lagi, memang si kampret satu ini layak dapat Piala Citra untuk keahlian aktingnya.
"Gimana nggak galau Boss, Boss kan bisa lihat sendiri kalau usahaku agak sepi sekarang," keluh Aditya.
"Sepi dari Hongkong, segitu ramenya kok yang datang, ngaku sepi pula, awas kalau sampe ngurangi jatah setoran bulanan, kuobrak-abrik tempat ini," maki Sucipto dalam hati.
"Kalau ngomong yang jelas Dit, nggak usah muter-muter kayak gitu," nada Sucipto berubah, bukan lagi seperti tadi yang Bass Boss Bass Boss sambil cengengesan.
"Gini, Cip ... "
"Bangsat!! Dah berapa kali kubilang, jangan panggil Cip!!" teriak Sucipto.
Aditya langsung terdiam, "keceplosan cuy, si Cip ni memang sensi bener sama namanya," keluh Aditya.
"Gini, Des ... "
"Tampol dia sekali!! Dia pikir aku Bedes atau Gondes?" perintah Sucipto ke Muhktar dengan cepat bahkan sebelum dia selesai bicara.
Tanpa banyak bicara, Mukhtar berdiri dan berjalan ke arah Aditya, "pelan aja ya Bang?" rengek si Preman dengan muka memelas.
Buakkkkkkkk.
Aditya memegangi pipinya yang terasa menebal setelah ditampol Muhktar tadi. Dia hanya bisa menggertakkan gigi dan menerimanya. Sama seperti yang dilakukan oleh anak buahnya sendiri saat Aditya menghajar mereka.