Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Rumit

Aditya sedang duduk dan menikmati sebatang rokok ditemani kopi. Dia masih teringat kata-kata Puji malam kemarin.

Munding.

Sebuah nama yang keluar dari mulut Puji dan dianggap oleh gadis itu sebagai salah satu penyebab sepinya usaha warung remang-remang milik Aditya.

Meskipun Aditya terlihat seperti seorang yang kasar dan suka menyelesaikan masalah dengan kekerasan, tapi sesungguhnya dia punya otak yang cerdas. Kalaulah dia hanya preman biasa yang mengandalkan ototnya saja, tentu dia tak akan mempunyai ide untuk berwirausaha.

Menurut Puji, Munding adalah seorang pemuda yang seumuran dengan gadis itu, mereka satu kelas saat SD tapi berpisah karena Munding pindah sekolah saat kelas 6 SD. Mereka bertemu kembali saat insiden di lapangan desa dan Puji juga menceritakan perkelahian, lebih tepatnya, pembantaian Munding kepada gerombolan Joko Sentono.

Aditya menyadari satu hal, Munding bukan orang sembarangan.

Tapi, kini bocah itu kembali ke kampung ini, mendirikan mushola dan mengajari anak-anak mengaji. Kedua hal itu bisa ditolerir oleh Aditya, tapi sesuatu yang mengganggunya muncul saat Puji memberitahu Aditya kalau sekarang banyak warga yang nongkrong dan menghabiskan waktu mereka di mushola setiap malamnya. Dan sebagian besar dari orang-orang itu adalah pelanggan Aditya.

Meskipun cuma satu orang, Aditya merasa kehilangan karena mereka adalah pelanggannya, sumber penghasilannya. Tapi ini, beberapa orang yang sekarang gemar nongkrong di mushola adalah pelanggan Aditya. Dia tidak bisa membiarkan hal ini begitu saja.

=====

"Ndan, aku ada masalah," kata Aditya siang itu di kantor Polsek Sukolilo.

"Ngomong," jawab Suprapto sambil tetap asyik memainkan hpnya.

"Ada seorang bocah menganggu usahaku, aku mau memberi pelajaran," jawab Aditya.

"Hajar saja. Biasanya kan juga gitu," jawab Suprapto ringan, dia juga masih tak memberikan tanggapan serius dan masih asyik dengan hpnya.

"Aku takut bocah itu punya backing. Dia dulu pernah menghajar anak kepala desa yang lama," kata Aditya pelan.

"Ha?" Suprapto meletakkan hpnya dan melihat ke arah Aditya.

"Menghajar anak Karto?" tanya Suprapto.

Aditya menganggukkan kepalanya, "kata bocahku, dia yang bikin anaknya Karto kehilangan kelelakiannya," kata Aditya.

"Munding?" jawab Suprapto cepat.

"Komandan kenal sama bocah itu?" jawab Aditya dengan muka cerah.

"Goblok!!!!" maki Suprapto tiba-tiba.

"Aditya, dengar kata-kataku! Jangan, jangan, jangan pernah sekalipun berurusan sama bocah itu, istrinya, keluarganya, atau semua orang yang dekat dengannya. Kamu ngerti!!!" bentak Suprapto.

Aditya kaget. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Suprapto justru akan memberikan peringatan sekeras itu.

"Saat Munding masih belum bisa ngelap ingusnya, dia sudah menghajar Saud dan anak buahnya seorang diri," kata Suprapto.

"Setelah itu, dia balas dendam kepada pembunuh Bapaknya. Kau tahu berapa orang yang dihabisinya malam itu?" lanjut Suprapto.

"Dihabisi?" tanya Aditya setengah tak percaya.

"Ya. Dihabisi, dibunuh, dibantai, terserah kau mau menyebutnya apa. Dia menghabisi Karto, 4 orang anak buahnya, ibu, dan kakak kandungnya sendiri. 7 orang dia bunuh sendiri dengan kedua tangannya. Berapa nyawa yang pernah kau habisi ha?" bentak Suprapto.

Aditya terdiam.

Dia preman, tak terhitung berapa orang yang dia hajar, tapi yang terparah hanya masuk UGD. Membunuh? Aditya belum pernah melakukannya.

"Kalau begitu, kenapa dia masih bisa berkeliaran bebas?" tanya Aditya dengan suara bergetar.

"Aku tak tahu detailnya. Tapi beberapa tahun lalu, aku dapat sebuah panggilan telpon langsung dari Polda. Mereka bilang, dua tim SatGultor diturunkan untuk mengamankan bocah itu, mereka memintaku untuk tidak ikut campur dan pura-pura tak tahu, itu urusan militer."

"SatGultor, kau tahu apa itu SatGultor?" kata Suprapto.

Aditya ragu-ragu untuk menjawab.

"SatGultor, itu Satuan Penanggulangan Teror, bagian ter-elit dari Angkatan Darat. Satu orang anggota mereka bisa menghajar sepuluh orang preman sepertimu. Dan mereka menurunkan dua tim untuk bocah itu. Sekarang kau tahu seperti apa mengerikannya si Munding?" tanya Suprapto.

Tubuh Aditya bergetar hebat. Hampir saja dia membuat blunder terbesar dalam hidupnya, mengusik seorang monster bernama Munding.

"Kenapa dia bisa dilepas kembali oleh militer?" tanya Aditya dengan suara bergetar.

"Itu urusan militer. Aku tak tahu dan tak mau tahu. Sebaiknya kau juga begitu. Kau boleh bertindak sesuka hatimu, tapi kalau urusannya dengan Munding dan keluarganya, jangan libatkan aku."

"Aku masih sayang nyawaku yang cuma selembar ini," lanjut Suprapto pelan.

Aditya meninggalkan kantor Polsek Sukolilo dengan langkah gontai. Haruskah dia merelakan usahanya hancur gara-gara Munding yang sekarang datang ke Sukorejo itu?

=====

Sebuah mobil mewah berwarna hitam diparkir di halaman depan rumah Munding.

Seorang gadis cantik dan mengenakan jilbab lebar yang menutupi lekuk tubuhnya, terlihat turun dari mobil itu dengan menenteng oleh-oleh di tangannya.

"Assalamualaikum," kata gadis cantik itu mengucapkan salam.

"Waalaikumussalam," sebuah jawaban terdengar dari dalam rumah.

Seraut wajah manis terlihat keluar dari dalam rumah dan langsung tersenyum lebar ketika melihat gadis cantik berjilbab itu.

"Mbak Amel, sendirian Mbak?" tanya Nurul yang langsung memeluk gadis cantik di depannya itu.

"Dek Nurul makin cantik aja, bikin Mbak iri tahu nggak?" kata Amel sambil mencium pipi Nurul dan tersenyum manis.

"Ish. Ngejek ya Mbak?" jawab Nurul.

"Mana ada, Mas Munding mana?" tanya Amel.

"Masih di sawah. Ini Nurul mau nganterin makan siang ke sana. Ikut yuk?" ajak Nurul.

Amel menganggukkan kepala dan menyerahkan oleh-olehnya.

=====

"Mas, udahan dulu. Ada Mbak Amel ni," panggil Nurul dari pematang sawah.

Munding mengangkat kepalanya dan melambai ke arah dua gadis yang berdiri di pematang sawah.

Amel tersenyum manis.

Sosok laki-laki yang selalu ada dalam khayalannya itu sekarang ada di depannya. Betapa Amel ingin sekali ke tempat ini setiap hari dan melihat senyuman laki-laki yang selalu membuat dadanya bergetar dan berbunga-bunga itu.

Sosok laki-laki yang singgah sebentar dalam hidupnya tapi memberikan kesan yang tak pernah bisa hilang dari dadanya.

Sosok laki-laki yang membuat Amel berubah menjadi seperti sekarang ini. Jauh lebih baik dari dirinya yang sebelumnya. Dia membuat Amel, gadis gaul dan modis, menjadi seorang wanita yang santun dan taat agama.

Amel sudah tumbuh menjadi seorang gadis dewasa sekarang. Dia bukan tak pernah mencoba untuk menghapus jejak laki-laki itu dari hatinya. Tapi, semakin dia mencoba melakukannya, semakin kuat perasaan yang dia punya untuk cowok kampung brengsek yang mengusik hidupnya itu. Sampai akhirnya, Amel menyerah untuk mencoba dan membiarkan rasa itu tetap apa adanya. Berharap waktu yang akan mengikisnya dari hati Amel.

"Munding," bisik Amel lirih.

Nurul menghela napas. Sebagai sesama wanita, tentu dia tahu perasaan Amel dan Asma. Tapi Munding adalah suaminya, dan Munding sudah menutup pintu hatinya untuk wanita lain. Dia hanya bisa memberikan kesempatan kepada kedua wanita itu untuk sedikit mengobati kerinduan mereka dengan mengijinkan mereka berdua tetap berhubungan dengan keluarganya seperti sekarang ini.

Sampai suatu saat nanti ketika perasaan Amel dan Asma akan hilang dengan sendirinya, bila itu mungkin terjadi.

Munding berjalan mendekati kedua gadis itu dan tersenyum ke arah Amel, "Papamu sehat Mel?" kata Munding.

"Alhamdulillah sehat, Papa nitip salam buat Munding," jawab Amel sambil menundukkan kepala, tak sanggup dia menatap wajah pujaan hatinya itu berlama-lama.

"Kuliah Mbak Amel gimana? Lancar?" tanya Nurul sambil berjalan menuju gubuk bambu yang ada di tengah sawah mereka.

Mereka bertiga berjalan menuju gubuk itu sambil bercakap-cakap dan sesekali tertawa.

Life is hard, but love is more complicated than that.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel