Bab 04. Kekuatan Kidung Cinta
Angin kencang menyerang ruangan, membuat dinding-dinding rumah Bram bergetar seolah terancam runtuh. Suara dentuman keras terdengar, dan debu-debu berterbangan di udara. Bram merasakan ketakutan menyergap, tetapi dia tahu bahwa dia tidak bisa mundur. Dia melihat ke arah Juan, yang berdiri tegar di sampingnya, mata penuh keberanian.
“Kita tidak bisa menyerah, Bram!” Juan berteriak, suaranya hampir tenggelam oleh suara angin yang mengamuk. “Kau harus menggunakan semua kekuatanmu!”
Bram mengangguk, mengingat semua ajaran kakeknya tentang kekuatan supranatural dan mantra yang bisa melawan kegelapan.
“Kakek selalu bilang, ketika menghadapi kegelapan, kita harus memanggil kekuatan cinta sejati,” gumamnya, berusaha mengingat syair yang sering dinyanyikan kakeknya.
Dia berdiri dengan tegap, menatap sosok gelap yang mengancam. “Aku tidak takut padamu! Aku akan melindungi Juan!” Bram berseru, suaranya lebih kuat dari angin yang menerpa.
Sosok penjaga dunia mimpi itu tertawa, suara dingin dan mengerikan. “Kau pikir bisa melawanku dengan kata-kata? Aku adalah kekuatan kegelapan yang tak tertandingi!”
Tanpa ragu, Bram mulai mengucapkan syair yang dia ingat, suara hatinya bergetar seiring dengan kata-kata yang keluar. “Kidung Cinta...”
“Rasa kasih terpendam dalam dada,
Menjelma rindu, membara membara.
Kala mata bertemu, hati bergetar,
Kidung cinta tercipta, suci dan nyata.”
Saat dia melanjutkan, cahaya hijau mulai mengelilingi tubuhnya, membangkitkan kekuatan dari dalam dirinya.
“Akulah Lanange jagat, setan, jin, demit, bakal lari tunggang langgang, sopo sejati ingsun…”
Setiap kata yang diucapkannya membawa getaran magis yang semakin kuat. Angin kencang di sekelilingnya seolah berhenti sejenak, dan cahaya hijau dari Bram semakin terang, menyinari seluruh ruangan.
“Kau tidak bisa menang melawan cinta yang tulus!” Bram melanjutkan, suaranya penuh kekuatan.
Sosok penjaga dunia mimpi itu mulai tampak gelisah, bayangannya bergetar di tengah cahaya yang semakin terang.
“Apa ini? Apa yang kau lakukan?” teriaknya, ketakutan mulai terlihat di wajahnya yang menakutkan.
“Ini adalah kekuatan cinta yang tidak bisa kau hancurkan!” Juan berseru, ikut mendukung Bram. “Kau tidak memiliki tempat di sini!”
Bram merasakan energi dari Juan, dan dia semakin bersemangat. Dia berdiri lebih tegak, mengarahkan telapak tangannya ke arah sosok kegelapan itu. “Kau akan pergi dari sini! Kami tidak akan membiarkanmu menghalangi cinta kami!”
Mendengar kata-kata itu, sosok penjaga dunia mimpi itu semakin panik. “Tidak! Ini tidak mungkin! Aku adalah kekuatan kegelapan!” Suaranya menggelegar, tetapi Bram tidak gentar.
Dengan satu dorongan kekuatan dari dalam hatinya, Bram mengangkat tangannya lebih tinggi dan mengucapkan mantra terakhir.
“Kau tidak akan pernah menang! Kekuatan cinta akan selalu mengalahkan kegelapan!”
Cahaya hijau itu meledak, menembus angin kencang dan menerjang penjaga dunia mimpi. Dalam sekejap, cahaya itu menghantam sosok gelap itu, membuatnya terjatuh ke tanah. Serpihan cahaya hijau menyebar, menciptakan gelombang energi yang menakjubkan.
“Aaahhh!” teriak penjaga dunia mimpi, wajahnya berubah menjadi ketakutan yang mendalam. “Tidak! Aku tidak bisa...!”
Cahaya itu semakin membesar, mengelilingi sosok gelap yang berusaha melarikan diri.
“Kau tidak bisa pergi! Kidung Cinta akan selalu menang!” Bram berteriak, dan cahaya itu semakin kuat, menerangi seluruh ruangan.
Akhirnya, sosok penjaga dunia mimpi itu menghilang dalam cahaya hijau yang menyilaukan. Angin kencang mereda, dan semua yang tersisa hanyalah keheningan. Bram dan Juan saling menatap, perasaan lega dan bahagia menghampiri mereka.
“Kita berhasil!” Juan berseru, matanya bersinar penuh kebahagiaan. “Kau luar biasa, Bram!”
Bram tersenyum lebar, merasakan beban yang terangkat dari pundaknya. “Aku tidak bisa melakukannya tanpa kamu. Kita melakukannya bersama,” ucapnya, meraih tangan Juan.
“Dan kini aku bebas dari cengkeraman kegelapan,” Juan menambahkan, senyumnya cerah. “Kau telah menunjukkan keberanian dan cinta yang luar biasa. Tinggal selangkah lagi, kamu bisa bebaskan aku."
Bram merasa bangga. Dia tidak hanya melindungi Juan, tetapi juga menemukan kekuatan dalam dirinya yang selama ini terpendam.
“Kita harus terus melukis, Juan. Kita harus menciptakan dunia baru yang penuh dengan cinta dan keindahan,” dia berkata, matanya penuh semangat.
“Ya, kita akan melakukannya bersama,” jawab Juan, suaranya penuh keyakinan. “Kita akan menciptakan dunia di mana kita bisa hidup bahagia, jauh dari kegelapan.”
Bram kembali ke kanvasnya, siap untuk melanjutkan karya yang telah mereka mulai. Dengan Juan di sampingnya, dia merasa lebih kuat dari sebelumnya. Bersama-sama, mereka akan menciptakan keajaiban, sebuah dunia yang penuh dengan harapan dan cinta.
Dengan penuh semangat, Bram mulai melukis lagi, dan setiap goresan kuasnya menciptakan keindahan baru di dunia mereka. Mereka tahu bahwa meskipun tantangan mungkin masih ada, mereka akan selalu bersama, dan cinta mereka akan mengatasi segalanya.
***
Pagi itu, Bram terbangun dengan sinar matahari yang menyelinap melalui jendela kamarnya. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, masih terbalut dalam suasana magis dari malam sebelumnya.
Semua yang terjadi terasa seperti mimpi, tetapi saat matanya tertuju pada lukisan di dinding, semua kenangan itu kembali mengalir. Lukisan Juan masih tampak hidup, senyum bahagianya seolah menatapnya, memberi semangat.
“Gila, apa yang baru saja terjadi?” Bram bergumam pada dirinya sendiri, mengusap wajahnya dengan tangan. “Apa ini nyata atau hanya ilusi?”
Dia bangkit dari tempat tidurnya, masih merasakan getaran energi dari pengalaman kemarin. “Juan... kamu di sana,” ucapnya sambil mengamati lukisan itu dengan hati-hati. “Aku tidak bisa percaya aku bisa melakukannya.”
Setelah berbenah, Bram bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Hari ini dia punya kelas seni pagi yang selalu dinanti-nantinya. Namun, di dalam benaknya, pikirannya masih terjebak pada peristiwa semalam. “Aku harus cerita sama Dika dan Rina tentang ini,” pikirnya, semangatnya mulai meningkat.
Saat tiba di kampus, Bram melihat Dika dan Rina duduk di bangku taman. Mereka sedang mengobrol serius, tapi ketika melihat Bram, mereka langsung menyambutnya.
“Eh, Bram! Apa kabar, bro?” Dika menyapa dengan semangat, mata penuh rasa ingin tahu. “Lu udah selesai lukisan lu yang mistis itu?”
“Gue baru aja mau nanya itu! Gimana?” Rina menambahkan, terlihat antusias.
Bram tersenyum lebar, berusaha menyembunyikan betapa bergetarnya hatinya. “Gue... gue berhasil! Lu nggak akan percaya apa yang terjadi semalam!”
Dika dan Rina saling pandang, tampak penasaran. “Cerita, bro! Cerita!” mereka serentak meminta.
“Jadi gini... setelah gue selesai melukis, tiba-tiba lukisannya mulai bergerak!” Bram mulai bercerita, menggunakan nada dramatis. “Dan Juan muncul dari lukisan itu, tapi belum nyata. Masih dalam bentuk samar."
“Whoa, serius?” Dika terkejut, matanya membulat. “Lu bercanda, kan?”
“Gue nggak bercanda! Dia beneran muncul, dan dia bilang dia terjebak di dunia mimpi,” jelas Bram, gesturnya semakin bersemangat. “Gue harus bantu dia buat bebas.”
“Terus lu ngapain?” Rina menggigit bibirnya, tampak sangat tertarik.
“Gue mulai baca syair kidung yang kakek ajarin. Dan saat gue melakukannya, cahaya hijau keluar dan melawan makhluk kegelapan yang mau menghalangi kita!” Bram menjelaskan, merasakan darahnya berdesir penuh adrenalin saat mengingat momen itu.
“Gila, bro! Itu epic banget!” Dika berseru. “Lu bener-bener jadi pahlawan gitu?”
“Yoi! Dan akhirnya, kita bisa mengalahkan makhluk itu! Juan bebas dari cengkeraman dunia mimpi,” Bram melanjutkan, senyum tak bisa dia sembunyikan.
“Jadi sekarang dia udah bener-bener bebas?” Rina bertanya, ingin memastikan.
“Belum sepenuhnya. Dia masih terjebak di lukisan, tapi kita udah punya rencana untuk bikin dunia baru di mana kita bisa bersama,” jawab Bram, hatinya berdebar penuh harapan.
“Wah, ini kayak film! Cinta terlarang gitu, ya?” Dika berkata, wajahnya penuh rasa kagum.
“Bisa dibilang gitu. Tapi ini lebih dari sekadar cinta. Ini tentang keberanian dan kekuatan untuk melawan kegelapan,” Bram menjelaskan, merasa bangga dengan perjuangannya.
“Lu harus bener-bener bikin lukisan itu sempurna, bro! Ini kesempatan langka!” Rina menambahkan, bersemangat.
“Pasti! Gue mau bawa semua perasaan ini ke dalam lukisan. Setiap detail harus hidup,” ucap Bram, bertekad. “Tapi, hari ini gue harus fokus ke kelas dulu.”
“Mantap! Kita dukung lo, bro!” Dika berteriak, memberi semangat.
Bram melangkah ke kelas seni dengan perasaan campur aduk. Dia masih merasakan kekuatan dari malam sebelumnya, dan saat duduk di bangku, pikirannya melayang pada lukisan Juan yang menantinya di rumah.
“Selamat pagi, kelas!” kata dosen seni, Pak Arief, sambil memasuki ruangan. “Hari ini kita akan belajar tentang ekspresi dalam lukisan. Siapa di antara kalian yang punya pengalaman unik dalam melukis?”
Bram mengangkat tangan, merasakan dorongan untuk berbagi. “Pak, saya punya cerita menarik tentang lukisan saya.”
“Silakan, Bram. Ceritakan,” Pak Arief mempersilakan dengan senyuman.
Bram berdiri dan mulai bercerita tentang pengalamannya dengan Juan, bagaimana lukisannya bisa hidup dan perjuangannya melawan makhluk kegelapan. Dosen dan teman-temannya mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Wow, itu luar biasa!” kata Pak Arief setelah Bram menyelesaikan ceritanya. “Kamu telah menemukan kekuatan dalam lukisanmu. Ini bukan hanya tentang warna dan bentuk, tetapi juga tentang emosi dan cerita yang bisa kamu sampaikan.”
Bram merasa tersanjung oleh pujian tersebut. “Terima kasih, Pak. Saya merasa terhubung dengan lukisan saya lebih dari sebelumnya,” ucapnya, merasa lebih percaya diri.
“Bagus! Teruslah melukis dengan hati. Seni adalah cara kita mengekspresikan diri dan berhubungan dengan dunia,” nasihat Pak Arief.
Pelajaran berlalu dengan cepat, dan saat bel berbunyi, Bram merasa semangatnya meningkat. Dia tidak sabar untuk kembali ke rumah dan melanjutkan lukisannya. “Gue harus bikin ini sempurna untuk Juan,” pikirnya.
“Bram, tunggu!” Rina memanggilnya saat dia beranjak pergi. “Kita mau ikut ngeliat lukisan lu, boleh?”
“Yoi! Kita mau lihat hasil karya pahlawan kita!” Dika menambahkan, penuh semangat.
Bram tersenyum lebar. “Ayo! Gue janji lu semua bakal terkesima,” ucapnya, semangatnya meluap.
Bram, Dika, dan Rina berjalan bersama menuju rumah, dan dalam hati Bram, dia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Dia siap untuk melukis dunia baru, tempat di mana cinta dan keajaiban akan bersatu.
*****