Bab 9 Pertemuan Pertama
Bab 9 Pertemuan Pertama
Pertemuan Emir dan Nadya pertama kali ketika sama-sama menghadiri Event Sosial Kemanusiaan yang diadakan oleh teman-teman Nadya. Saat itu begitu banyak penyandang disabilitas yang hadir pada ruangan terbuka yang terang karena sinar matahari. Nadya tengah berusaha berdiskusi pada orang-orang yang selalu tersenyum meski tubuh mereka tak sempurna.
Event sosial yang diadakan teman Nadya itu ternyata bermitra langsung dengan partai politik yang sedang merintis nama besar mereka. Nadya berdehem dan berbisik pada salah satu temannya. “Kamu minta pendanaan sponsor sama mereka?”
Teman Nadya itu menolah dan berbisik lirih, “Engga. Kita ditawari dana sama mereka. Sekalian eventnya barengan aja. Makanya bisa segede ini, Nad.”
Nadya hanya mengangguk paham. Dia memandang sekelilingnya, di ujung sana ada seseorang yang tengah berkomunikasi lancar dengan para tuna rungu. Gayanya sederhana, dia menggerakan tangannya seolah dirinya pun bagian dari mereka. Tanpa sadar Nadya tersenyum melihat lelaki itu. Mengagumkan, dengan kesederhanaan yang ditunjukan saja dia sudah tampan dan menawan. Apalagi jika dia sedang memakai jas dan memimpin orang-orang?
“Emir!” seru salah seorang membuat Nadya mengetahui nama lelaki itu. Senyum lebarnya tak mau luncur dari bibir dengan lipstick merah muda perempuan itu.
“Namanya Emir Sulaiman,” bisik teman Nadya. “Dia salah satu dari golongan partai politik yang ngadain event ini sama kita.”
Nadya salah tingkah. Dia tak sadar banyak teman yang melihatnya terpesona dengan lelaki itu.
“Ajak kenalan aja Nad.” Nadya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Gadis itu mendekati gerombolan tuna rungu dan tersenyum ke arah mereka. Sikap salahnya itu disembunyikan agar dirinya tak malu di luar pun di dalam.
“Boleh ajarin aku bahasa isyarat?” bisik Nadya pada Emir. Senyum manis Nadya hanya dibalas lirikan lelaki itu. Dia mengangguk dan mulai mengajari Nadya cara berkomunikasi dengan mereka.
“Kau gunakan tanganmu seperti ini.” Perkataan Emir didengar baik-baik oleh Nadya. Suaranya yang berat sungguh nyaman di telinga Nadya. Tidak ada yang lebih indah di ruangan ini selain dari wajah tenang lelaki di hadapannya.
Nadya dan Emir terus bergerak, belajar berbicara agar anak di depannya mengerti apa yang dikatakan oleh Nadya. Satu kata ia tanya bagaimana gerakannya, satu kalimat usai, langsung Nadya ucapkan ke mereka. Gelak tawa anak anak itu beberapa kali terdengar membuat perasaan senang dan nyaman menghantui hati Nadya.
“Ka ... li ... an. He-bat!” ucap Nadya setelah berupaya berlatih banyak cara agar mereka mengerti. Beberapa di antara mereka terkekeh dengan usaha keras Nadya. Emir pun tersenyum melihat kerja keras gadis di sebelahnya.
“Jadi nama kamu Nadya?” Nadya menoleh dan mengangguk.
“Kamu?”
“Emir Sulaiman.”
“Sudah tahu!” kata Nadya girang.
“Ha?”
“Aku sudah tahu namamu. Temanku banyak yang mengenalimu.”
“Berarti aku cukup terkenal?” tanya Emir penuh percaya diri. Nadya semakin gencar mendekati lelaki itu. “Apa karena aku tampan?” bisik Emir mendekati telinga Nadya.
Perasaan Emir yang biasa saja tidak membuatnya menjauh dari gadis yang ia temui di Event Sosial Kemanusiaan kemarin. Nadya bahkan mengajaknya makan malam hari ini dan Emir tidak bisa menolaknya. Memperbanyak relasi menjadi salah satu hal penting yang harus ia jaga.
Di tengah kafe keduanya duduk diam bak seorang kekasih baru yang masih canggung berkomunikasi. Nadya melirik Emir dan bertanya, “Kamu anggota partai kemarin?”
“Iya.” Emir menyeruput minuman yang ia pesan. Dia menatap Nadya singkat. Gadis itu merias wajahnya, tampak segar dan kekinian, tidak membuatnya malu berjalan berdua dengan perempuan itu. Gaya pakaian Nadya pun sama, terlihat cantik dan mahalnya.
“Kamu cantik,” puji Emir singkat. Nadya hanya bisa menahan senyumannya.
“Papa kamu ngebolehin kamu jalan malem begini?” Nadya mengulas senyumannya merasa sedikit malu.
“Papa pengusaha, cukup sibuk, jadi terserah aku deh mau kapan pulangnya. Tapi biasanya Mama ngasih jatah keluar sih.”
“Pengusaha?”
“Iya. Kamu pasti kenal. Namanya Malik, sering muncul kok di media masa.”
Otak kiri Emir langsung bekerja, dia menghitung berbagai peluang dan rintangan yang akan terjadi ke depannya. Mengingat Nadya seorang anak dari pengusaha, apalagi setelah dia mengetahui bahwa ayahnya adalah Malik, seorang pengusaha sukses yang sering muncul di media masa membuat Emir tak ingin keluar dari lingkaran hubungan ini. Ketertarikan lelaki itu pada Nadya berubah.
Dia berdehem dan berkata, “Kamu pake sopir?”
“Hmm. Iya.” Nadya menjawab singkat disertai senyuman.
“Sopirnya nunggu atau-?”
“Dia balik.” Ada sedikit harapan di hati Nadya, dia menatap Emir dalam. Tatapan mata Emir langsung menjawabnya. Emir tersenyum singkat. “Aku anterin aja, nunggu sopirnya lama. Taksi pun belum tentu ada.”
Nadya mengangguk. Ia berpikir ini kesempatan bagus bagi dirinya untuk lebih dekat dengan Emir. Lelaki yang berhasil membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama.
Emir benar-banar mengantar Nadya. Dia berjalan santai dengan mobilnya. Sampai di depan gerbang, Malik menunggu dengan wajah garang yang kentara. Emir sebagai lelaki tak kuasa untuk kabur dan lari begitu saja tanpa rasa tanggung jawab yang tinggi. Lagian ini merupakan kesempatan untuk lebih dilirik oleh Bapak Nadya itu.
Setelah percakapan singkat antara Nadya dan papanya. Emir tersenyum dengan segala daya tarik yang ia punya. Dirinya bersalaman dan menyebut namanya. “Emir Sulaiman.”
“Seperti yang diucapkan oleh Nadya, putri Bapak. Saya diajak makan malam olehnya. Tidak enak rasanya meninggalkan dia sendirian menunggu sang sopir. Jadi saya mengantarkan dia sampai di rumah ini”
Malik berbincang singkat dengan Emir. Merasa waktu ini kurang tepat, Emir berpamitan pulang. Sedangkan Malik mendekati putrinya, ia masuk ke dalam kamar mewah Nadya.
“Kamu kenal dia di mana, Sayang?” tanya sang Ayah. Malik melihat Emir yang sungguh berwibawa.
“Di event sosial kemanusiaan. Jarang banget kan, Pah?”
“Kamu suka sama dia?” Nadya mengangguk kecil dan Malik membiarkannya saja.
*
Hubungan antara Emir dan Nadya semakin dekat. Hari ini Emir datang ke rumah Nadya, meminta izin untuk lebih serius dengan gadis cantik yang kaya itu. Emir melihat rumah besar yang berdiri gagah di depannya, dia masuk perlahan setelah seorang Satpam mempersilahkan memasuki halaman rumah besar ini. Di depan sana sudah berdiri Malik dengan Istrinya. Pun dengan Nadya yang sudah berdandan habis-habisan, sungguh elok dipandang mata.
Beberapa perbincangan pembuka sudah usai. Malik mulai berbicara serius sekarang. Ia melihat pula keseriusan Emir dari manik matanya.
“Jadi Kamu pun serius dengan putriku, Emir?” tanya Malik, takut putri semata wayangnya hancur oleh lelaki bejat yang tidak bertanggung jawab.
“Say sangat yakin, Pak. Saya serius dengan Nadya.”
Malik tersenyum. Pembawaannya menjadi sedikit terbuka dengan kebahagiaan yang ia tunjukan.
“Kamu bisa janji buat jaga Nadya?”
“Bapak bisa pegang ucapan saja.” Malik mengangguk mengiyakan.
“Nadya!” Malik memanggil Nadya. Gadis yang sedari tadi mengintip itu kini menyiapkan dirinya. Ia merapikan pakaian dan mendekati papanya.
“Iya, Pa?”
“Duduk.” Nadya duduk dan memandang Emir senang. Dia menunduk berusaha menampilkan nuansa diri yang polos.
“Putriku putri tunggal. Aku tak akan membiarkan dia berada di tangan orang sembarangan.” Malik mengatakan itu penuh ketegasan. Emir pun mengangguk setuju dan memahami apa yang diinginkan lelaki ini. Dia berperan sebagai Ayah, dalam kedewasaan ini Emir pun akan tahu jika yang dilakukan Malik itu semata-mata untuk kebaikan putrinya. Emir akan melakukan hal yang sama jika dia punya putri suatu hari nanti.
“Bapak bisa percayakan itu pada saya.”
“Kudengar kau bekerja di LBH?” tanya Malik lagi.
Emir menatap waspada pada Malik. Jika dia lebih peduli dengan harta ketimbang putrinya, posisinya saat ini bisa jadi tidak berguna. Lelaki itu pasti akan mencari orang yang lebih kaya atau setidaknya sebanding dengan mereka. Namun, Emir harus jujur. Pun dia sudah katakan itu pada Nadya. Maka dengan tegas dan penuh percaya diri dia katakan, “Iya, Pak.”
“Aktif di partai politik juga?”
“Iya, Pak.”
“Jangan lupa tunjukan prestasimu Emir. Saya akan mendukung dari belakang. Mulai bulan depan kamu bisa pegang salah satu jabatan di perusahaan. Saya akan mengangkatmu menjadi direktur jika pernikahanmu dengan Nadya benar-benar terlaksana.” Emir menelan salivanya. Rezeki memang tidak disangka-sangka.
***