Pustaka
Bahasa Indonesia

Missing

56.0K · Tamat
Romansa Universe
45
Bab
764
View
7.0
Rating

Ringkasan

Emir Sulaiman adalah politisi muda yang sedang naik daun. Dia mempunyai dua orang anak, Haikal adalah putra pertama mereka yang berusia 9 tahun dan Zizi putri keduanya yang berusia 6 tahun. Haikal dan Zizi bersekolah di SD/elementary school internasional di Jakarta. Pada suatu hari Zizi diculik saat dijemput pengasuhnya Lula. Banyak yang menduga anak itu diculik lawan politik Emir, tetapi siapakah penculik Zizi sebenarnya?Terlalu banyak masa lalu yang disembunyikan oleh orang-orang di sekitar penculikan seorang anak berusia 6 tahun, baik intrik politik, bisnis yang kotor, sampai ketidaksetiaan. Note: cerita fiksi, kesamaan nama dan tempat kebetulan belaka. Alur cerita maju-mundur.

MetropolitanAnak KecilKeluarga

Bab 1 Awal Mula

Bab 1 Awal Mula

“Sol Me Re, Sol Me Re.” Bocah itu menekan tuts piano di kamarnya sembari menelengkan lehernya ke kanan dan ke kiri. Kakinya terus mengayun dari kursi, dia masih terlalu pendek untuk bisa menyentuh dinginnya pualam lantai kamarnya sendiri.

“Kaka!” seru bocah perempuan itu, dia turun dari kursi dan berlari menuju meja rias berwarna merah muda miliknya. Semua hal di kamarnya didominasi warna merah muda, meja rias yang lebih banyak terisi boneka itu pun berwarna merah muda. “Apa aku sudah cantik?” tanyanya sembari tersenyum menatap cermin. Tangannya naik memainkan bandana merah di kepala.

“Sudah! Zizi sudah sangat cantik sekarang, di luar sana tidak ada yang lebih cantik dari Zizi.” Lula berkata terlalu bersemangat sembari merapikan penampilan Zizi.

Zizi mendongak melihat pengasuhnya itu. “Benarkah?” tanyanya.

Perempuan muda berumur seperempat abad itu mengangguk, dia menggandeng tangan Zizi sembari mensejajarkan diri. “Sekarang kita siap berangkat sekolah!”

“Cuss!” seru Zizi keras. Anak itu begitu girang, seperti biasanya Zizi selalu aktif dan ceria di depan Lula., sang pengasuh Zizi yang masih muda. Lula bukan pengasuh biasa, perempuan itu bahkan sudah mendapatkan gelar sarjana.

Saat sampai di atas undakan tangga, Zizi melepas tangan Lula. Sambil bernyanyi dia melangkah turun dengan merentangkan tangannya. Kakinya begitu cepat berpindah dari satu undakan ke undakan di bawahnya.

“Zizi jangan lari-lari!” Lula berseru khawatir, dia melihat sekelilingnya takut Mami dari bocah itu melihatnya.

“No problem, Kak! Zizi sudah besar! Sudah bisa makan sendiri.” Dengan penuh percaya diri, Zizi memberitahu perkembangan dirinya pada Lula.

“Zizi!”

Zizi tetap tak mendengarkan, bocah itu tengah berlari menuruni undakan tangga di rumahnya sembari tertawa nyaring. Suaranya keras memenuhi seluruh ruang di rumah itu. Zizi, bocah itu hampir menyelesaikan undakannya ketika sang kakak menyerobot turun membuat dia hampir terjatuh. Suara Lula mencicit, “Zizi!” ketika melihat anak asuhnya itu hampir terjatuh.

Lula tidak mungkin mengeluarkan kekesalannya, perempuan itu menghela napas dan turun tangga perlahan.

“Kaka!” seru Zizi mengejar kakaknya. Gadis kecil itu menarik tas ransel seorang bocah laki-laki dengan rambut potongan cepak yang rapi. Lula mendesis melihat tingkah keduanya. “Ayo minta maaf dulu!” kata Zizi tidak terima ditabrak.

“Lepasin Zi!” seru Haikal. Lula segera menuruni tangga ingin menyusul.

“Ngga mau, Kaka minta maaf dulu.” Zizi bersikeras ingin kakaknya meminta maaf.

“Ya kamu jangan teriak-teriak pagi-pagi dong! Kenapa sih?” bukannya meminta maaf, bocah lelaki itu justru menyeru kesal. Dia menyalahkan adiknya yang terlalu aktif. Wajahnya merautkan kekesalan yang kentara membuat Zizi mengerutkan keningnya.

Zizi menghela napasnya seraya berteriak, “Kaka juga teriak, wee!”

“Awas!” balas Haikal.

“Ngga mau, minta maaf dulu.” Lula mempercepat langkahnya. Kedua anak itu bisa membuat keributan nanti. Bukan masalah besar tentang pertengkaran mereka, tetapi lebih berbahaya jika kedua orang tua mereka ikut campur dalam pertengkaran mereka. Lula sangat memahami dan menghindari hal itu.

Haikal kesal, dia menyikut tubuh adiknya dan berlari menuju ruang makan. Zizi sendiri terjerembab di lantai.

“Zizi!” Lula mendesis dan berlari kencang.

Bocah perempuan yang sudah rapi dengan bandana imut di kepala itu memberengut kesal. “Kaka!” Si bocah menahan tangisnya, ia ingin membalas. Bocah itu berlari mengejar kakaknya.

Lula terlambat sekarang. Keduanya bertengkar lagi.

Zizi mendorong Haikal hingga mengenai kursi makan.

“Zizi!” bentaknya Haikal bertambah kesal. Dia memegang kedua bahu adiknya gemas dengan keras. Kemudian, mendudukan gadis itu di kursi makan. “Diam di situ!”

“Huaaa!” Zizi menangis keras. Pipinya menggembung dengan raut cemberut yang ditunjukannya. Air matanya mengalir deras. Zizi tak pernah sungkan menangis jika dirinya bertengkar dnegan kakaknya, berbeda jika Papi atau Maminya ikut campur. Bocah penyuka warna merah muda itu pasti sedikit enggan menunjukan kesedihannya.

Lula datang menenangkan. Haikal sudah minggir dari tempatnya. “Sttt! Nanti Kak Lula kasih permen loipop.” Lula tersenyum melihat Zizi sedikit diam. “Good girl!” pujinya sembari mengelus bahu Zizi.

“Haikal bisa duduk di kursi, sayang?” tanya Lula berusaha membuat lelaki kecil itu menerimanya.

Bukannya menerima, dia justru menatap tajam pengasuhnya itu. Haikal jarang melakukan ini, dia memang temperamen, tetapi jarang memarahi Lula. Ada apa dengan suasana hatinya? “Kak Lula diam!” seru Haikal kesal.

“Haikal ....” Lula masih menahan amarahnya. Pengasuh yang masih muda dengan titel sarjana itu pintar memainkan emosi di depan dua anak ini. Dia masih memanggil Haikal dengan lembut dan senyumpenuh permintaan.

Haikal enggan mendengarkan, bocah yang sudah rapi dengan seragam sekolah dasarnya itu mendorong adiknya lagi sampai Zizi mengaduh kesakitan. Raut wajahnya mengejek mendengar rintihan sakit Zizi.

“Haikal!” bentak Emir, akhirnya hal yang ditakutkan terjadi. Papi kedua anak itu keluar. Dia marah dengan kedua anaknya yang terus bertengkar. Baru saja turun untuk makan, yang disuguhkan di sini hanya pertengkaran yang membawa pusing di kepala. Pikirannya kacau mengingat bursa menteri yang akan diumumkan Presiden sebentar lagi. “Minta maaf sama Zizi!” bentak Emir sekali lagi.

“Maaf!” seru Haikal kesal, dia menarik paksa tangan kanan Zizi dan menjabatnya kencang dengan begitu cepat.

“Dah!” katanya sembari melirik tak suka pada Papinya. Bocah itu langsung duduk manis dan meminum susunya cepat. Dia pergi begitu saja tanpa menyentuh roti yang disiapkan untuknya.

“Haikal rotinya?” Lula hanya menelan salivanya, ujarannya tak digubris sama sekali. Lula hanya menggelengkan kepala melihat sikap bocah itu.

“Kamu ngga makan?” tanya Mami. Perempuan yang tetap seksi dan cantik dengan dua anak itu baru turun dari kamarnya dengan pakaian rapi yang tidak menarik bagi Haikal.

Haikal hanya menggeleng dan berlari ke luar, Zizi tidak berani menangis lagi. Matanya sembab sembari memakan roti dan memaksa diri meminum susunya. Ia takut melihat Papinya yang sedang marah, ia tidak berani melihat Maminya yang jarang bersikap hangat.

“Jangan sampai Haikal sakit!” ancam Nadya. Lula mengerti pandangan dingin itu ditunjukan padanya. Perempuan itu dengan tenang mengangguk memahami. Dia hanya mengkhawatirkan ketakutan yang diderita Zizi, semoga saja bocah kecil ini bisa dekat dengan Maminya suatu hari nanti. Lula terus mengelus bahu Zizi yang sedang memakan roti itu.

“Nanti mau rapat?” tanya Nadya, dia duduk di tempatnya dan menatap Emir.

“Hmm.” Emir hanya menjawab dengan gumaman tak jelas, dia menatap sekilas istrinya.

Nadya melirik Zizi yang menunduk dalam. Dia berseru, “Zizi habiskan makanannya!” Zizi mendongak dan memaksa senyuman sembari memperlihatkan pipinya yang menggembung berisi makanan.

Waktu sarapan berlalu, Zizi sudah siap untuk diantar ke sekolahnya. “Jangan sampai Haikal sakit, La.”

“Saya mengerti, Bu.”

“Jemput mereka tepat waktu, jangan sampai telat.” Lula mengangguk sekali lagi.

*

Matahari sudah berpindah tempat tepat di atas kepala, sudah waktunya Zizi untuk pulang, sedng Haikal pulang sekolah sekitar jam 15 nanti. Lula pergi menjemput Zizi di sekolahnya. Perempuan muda itu berjalan tegap dengan ramput rapinya yang terikat tinggi. Dia memasuki mobil dan meminta supir berjalan segera.

Ketika Lula sampai, Lula melihat-lihat sekitar dengan bingung. Baru saja dia melihat Zizi berdiri di dekat samping pagar, tiba-tiba anak itu menghilang. Ke mana lagi anak ini, dia melangkah ke dalam halaman Sekolah Internasional itu.

Namun dia tiba-tiba memutuskan untuk tetap berada di dekat pagar. Zizi adalah anak yang aktif, dia pasti kembali ke dalam sekolah untuk bermain dengan teman-temannya. Lula memutuskan untuk menunggu saja.

Waktu sudah berjalan selama 30 menit. Sekolah itu sudah sepi dan tidak ada tanda-tanda Zizi keluar. Lula mulai panik. Dia meminta satpam yang tadi sangat sibuk mengatur alur lalu lintas penjemputan anak, dan sekarang mulai sepi, untuk mencari Zizi ke dalam sekolah. Sekitar 10 menit Satpam itu datang. Zizi tidak ada di dalam.

Lula sudah mulai gemetar, tangannya dengan gugup menekan nomor telepon Mami Zizi. Panggilan ketiga barulah diangkat. “Ada apa?” terdengar suara dingin wanita itu menjawab.

“Maaf Bu, Zizi hilang…."