Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Detektif Radit

Bab 8 Detektif Radit

Sudah dua puluh empat jam sejak Zizi dinyatakan hilang. Bocah berusia enam tahun itu hilang bak ditelan bumi. Tak ada yang tahu persis bagaimana hilangnya Zizi. Polisi masih tetap menyelidiki sampai detik ini.

Kedua orang tua Emir memutuskan tinggal di sini sejak malam tadi. Baik Emir maupun Nadya tidak bisa tertidur dengan tenang. Lula pun sama saja, ia duduk di taman tanpa berkata, dirinya terus menerus mengingat-ingat kejadian sebelum penculikan terjadi.

Pagi ini orang tua Zizi beserta mertua Emir berembug bersama. Mereka bisa berpikir tenang setelah banyak perkataan saling melemparkan tanggung jawab dan menyalahkan satu sama lain.

“Jadi bagusnya kita sewa saja detektif saja, Emir. Uang bukanlah masalah bagi kita. Ini sudah terlalu lama cucuku hilang.”

Keputusan Malik tidak ditentang. Semuanya setuju dengan keputusan itu. Mereka benar-benar menyewa seorang detektif swasta yang cukup mumpuni di bidangnya dan sudah terkenal dengan kasus berat yang ditanganinya. Emir berusaha melakukan yang terbaik untuk putri kesayangan satu-satunya itu.

“Kalau gitu Emir mau menghubunginya, Pa!” putus Emir. Pikirnya lebih cepat lebih baik.

Malik mengangguk. Nadya sedari tadi diam, dia memikirkan apa saja yang sekiranya terjadi dengan putri kecilnya itu. Banyak hal yang terlewat di matanya. Mengingat hal kemarin membuat dia meneteskan air mata. Sama sekali tak pernah menyangka putri kecilnya hilang saat ada pengawasan yang cukup baik bagi mereka.

Mata Nadya terlihat bengkak dan sedikit berkantung, bukan hanya karena kurang tidur, tetapi juga karena dirinya terus menangis sepanjang malam. Tanpa suara, sesekali terdengar sesenggukannya. Penyesalan tentunya selalu datang belakangan, Nadya berfikir bahwa sudah berbulan-bulan dia tidak mendatangi Zizi di kamarnya sekedar menemani putrinya itu ketika hendak tidur.

“Dia bisa datang sore ini, Pa.” Jawaban Emir sedikit membuat naik pitam mertuanya itu. Namun, mengingat siang ini sudah cukup panas, ia tak mau lagi membuat panas. Menunggu beberapa jam sebenarnya masalah bagi mereka.

Beberapa jam berlalu, seseorang membunyikan bel rumah Emir Sulaiman yang megah ini. Lula berdiri dari tempatnya dan menunduk meminta izin membuka pintu. “Biar saya saja yang membukakan.”

Setelah diiyakan, Lula pergi ke pintu, dia membuka perlahan pintu itu dan menemukan seorang lelaki tampan berdiri di sana. Lelaki itu memandang datar Lula, seakan pandangan memuji dan terpana dari perempuan sudah biasa dialaminya.

Mulut Lula sedikit terbuka, dia memandang dari atas sampai bawah tak melepas tangan dari daun pintu. Tubuh jangkung dan atletis pria di depanya membuat ia membayangkan salah satu bintang K Pop terkenal saat ini. Lula menggelengkan kepalanya perlahan. Dia berdiri dengan tegak dan melepas tangannya dari dua daun pintu itu.

“Saya Raditya,” katanya memperkenalkan diri tanpa mengajak salaman Lula.

“Detektif yang dipanggil Pak Emir?” tanya Lula sopan. Sudah cukup terkesimanya tadi membuatnya mempermalukan diri sendiri. Setidaknya Lula memiliki sisa harga diri yang harus tetap dijaga.

“Iya.”

“Silahkan masuk!” kata Lula sembari menggeser diri ke samping pintu. Setelah lelaki jangkung itu masuk, Lula menutup pintu dan menunjukan ruangan tempat keluarga besar rumah ini berkumpul.

“Pak Radit!” Emir datang dan mengajaknya salaman. Sesi perkenalan singkat itu tak dibumbui canda. Semuanya tampak serius dan cemas.

“Bagaimana kronologi kejadiannya?” tanya Radit langsung ingin menyelidiki kasus hilangnya Zizi. Lelaki itu sangat tanggap dan gerak cepat. Waktu memiliki nilai yang sangat tinggi baginya.

“Lula?!” panggil Emir. Dia menyuruh Lula menceritakan ulang kejadian yang dialami terakhir kali.

Lula pun menceritakan singkat kejadian kemarin yang masih terekam jelas di otaknya. Dia berdiri di depan Radit dan berusaha tidak gentar saat menceritakan kejadian itu.

“Setelah saya masuk, Zizi sudah tidak ada. Karena saya pikir dia kembali pada teman-temannya, maka saya putuskan menunggu di luar. Cukup lama menunggu, mungkin-“

“Mungkin?” tanya Radit mengulang dan menyela penjelasan Lula. Dia butuh kepastian, bukan kemungkinan yang hanya membawa peluang di bawah satu pasti.

Lula memejamkan matanya berusaha tenang dan menata kalimatnya dengan jelas. “Tiga puluh menit, tiga puluh menit kemudian saya putuskan masuk dan tidak menemukan Zizi di mana pun. Saya meminta bantuan Satpam sekolah untuk mencarinya. Namun, dua jam kemudian tidak ada tanda-tanda bawah Zizi masih di sekolah. Sejak saat itu saya putuskan memanggil ibu dan polisi untuk melapor.”

Lula menunduk berharap detektif yang menurutnya tampan itu mengetahui kondisinya. Lula juga merasa cemas dan bingung sekarang. Menceritakan ulang kejadian kemarin sedikit membuatnya gemetar.

Radit mengangguk mengerti. Lelaki itu menghadap Emir dan meminta izin memberikan akses untuk memeriksa langsung kamar Zizi. Mereka semua ke kamar Zizi. Pelan tapi pasti Radit bekerja mulai dari pintu hingga jendela. Dia meneliti dengan teliti dan cekatan setiap hal yang ada di kamar itu. Bahkan langit kamarnya tak lepas dari penyelidikannya.

Sampai di meja belajar Zizi. Radit menemukan buku gambar yang beberapa jam lalu membuat polisi terkesima. Buku itu penuh dengan emosi Zizi. Gambar-gambar kebahagiaan keluarga tecetak jelas di sana. Sayangnya, setiap gambar ibunya pasti juga ditemukan coretan. Beberapa hal yang serupa terjadi pula di gambar Emir.

Radit menghela napasnya. Dia membalikan badannya dan melihat jelas tanpa di duga kepada Lula. Lula tersentak dan kembali tenang. Lula tak takut, dia hanya merasa sedikit diintimidasi dengan mata tajam lelaki tampan di depannya. Kenapa detektif ini harus berkharisma?

“Kamu bilang kamu mengira Zizi akan bermain lagi dengan teman-temannya?” tanya Radit berusaha memperjelas semuanya.

“Iya, Pak.”

“Kenapa kamu bilang seperti itu?” tanya Radit ingin tahu. Dia ingin kejelasan setiap alasan dari tindakan Lula.

“Karena biasanya memang seperti itu. Zizi anak yang aktif, dia sering menunggu kakaknya pulang walaupun jarang sekali benar-benar menunggu Haikal sampai pulang. Dia suka bermain dengan temannya. Ketika dia sampai di gerbang, tak jarang setelah melihat saya dia kembali ke dalam untuk bermain lagi.” Penjelasan Lula dapat diterima oleh Radit, dia mengangguk mengakui dan mengerti.

“Bisa ceritakan kebiasaan Zizi dengan kakanya itu.”

Lula melirik ke atas, ke arah wajah Radit. Detektif itu memang jauh lebih tinggi darinya. Lula berusaha santai dan tenang. Dia sama sekali tak mau terlihat bodoh untuk saat ini.

“Zizi gadis yang aktif, kesukaanya warna merah muda, dia suka makan eskrim-“

“Kau!” seru tegas Radit disertai tatapan tajamnya. Lula menatap Radit heran. Dia mengerutkan keninganya dan bertanya, “Ada apa?”

“Ceritakan yang terkait dengan hilangnya Zizi kemarin. Kau tak perlu menceritakan dari awal kau mengenal Zizi sampai sekarang!”

Lula memandang sekitarnya. Tidak ada yang tertawa, mungkin hanya dirinya sendiri yang merasa malu. Orang lain sama sekali tidak peduli dengan hal itu.

Lula menceritakan tentang pertengkaran Haikal dengan Zizi pagi harinya, dia juga menceritakan tentang kesaksian guru yang mengajar Zizi bahwa pertengkaran yang mereka lakukan di rumah diulang di sekolah. “Apa kau yakin itu sudah biasa terjadi di antara meraka?”

“Iya. Haikal temperamen dan suka usil. Jika dia marah, dia tidak suka diganggu oleh adiknya sekali pun.”

“Lalu?” Radit ingin tahu hal lainnya.

“Zizi pulang terlebih dahulu seperti biasanya. Itu sudah jam satu lewat, jam normal anak ini pulang. Dia satu sekolah dengan kakaknya, hanya berbeda gedung saja. Zizi masih di kelas satu, sedangkan kakanya di kelas empat. Kakanya pulang lebih siang, sekitar jam tiga, kadang jam 4 apabila ada ekstrakurikuler. Aku tak menaruh curiga seperti yang kukatakan padamu tadi, Zizi sering menginginkan pulang terlambat untuk menunggu kakaknya. Walaupun lebih sering dia menyerah dan pulang beberapa waktu setelah bermain dengan temannya.”

“Kenapa dia ingin menunggu kakaknya?” tanya Haikal. Lama waktu Zizi pulang dan Haikal tidak sebentar.

“Jelas saja, dia anak kecil yang aktif. Tak pernah mau diam. Zizi tak akan betah jika disuruh duduk diam di rumah. Dia menunggu kakaknya mungkin merasa sepi di rumah sendiri. Walau sering menyerah di jam dua atau sekitarnya. Dia ingin bermain dengan temannya. Pulang pun hanya membuatnya bosan dan sedih.”

“Kamu menengoknya setengah jam kemudian?”

“Iya, dia biasanya melambaikan tangan padaku beberapa menit setelah bermain. Jika tidak ingin pulang, dia memintaku menyuapkan bekalnya. Aku selalu membawa potongan buah dengan yougurt atau kue kering ke sekolah saat menjemputnya.”

Sementara Radit terdiam. Dia hanya melihat-lihat catatannya dan sekeliling kamar Zizi.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel