Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Tangisan Nadya

Bab 7 Tangisan Nadya

Sebulan sebelum Zizi diculik. Sabtu ini sekolah libur, anak-anak memperpanjang tidur mereka. Lula tersenyum melihat masing-masing dari mereka, enggan keluar dari balik selimut sekadar menyapa matahari.

Rasanya tak mungkin sudah tiga bulan Lula bekerja. Dia sama sekali tak menemui kesulitan yang berarti selama di sini. Dirinya kini berjalan ingin mengambil sarapannya. Belum sampai di dapur, ia mendengar tangisan seseorang dari dalam ruangan itu—ruang kerja Emir Sulaiman. Keningnya mengkerut mencoba mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Apakah suara itu asli? Maksudnya Lula tidak berhalusinasi, kan?

“Ada apa ya?” gumam perempuan itu.

Lula berhenti sejenak, dia mempertajam telinganya. Rasa penasaran dalam diri perempuan muda itu menggelora, dia ingin tahu apa yang terjadi. Makin lama terdengar tangisan itu makin nyata, suaranya persis atau bahkan mungkin memang itu Mami anak asuhnya, Nadya. Dia menangis di dalam ruang kerja Emir dan Lula tidak bisa mendengar apa pun kecuali tangisan itu. Suara di dalam tidak jelas.

Suara yang begitu nyata terdengar hanyalah tangisan pilu yang terasa menyedihkan. Hendel pintu bergerak, mata Lula melebar. Dengan rasa takut bercampur cemas, dia berjalan cepat memasuki ruangan sebelah ruang kerja Emir. Matanya sedikit mengintip dan menemukan Nadya keluar dengan terburu-buru dari ruangan itu. Dugaannya benar, dia Nadya yang sedari tadi menangis di sana.

“Ibu kenapa?” tanyanya pada diri sendiri.

Lula menghela napasnya, dia berusaha bersikap biasa saja seolah tak melihat apa pun pagi ini. Dia menepuk pelipisnya dua kali dan merapikan pakaiannya. Perempuan muda itu segera berjalan menuju dapur dan mengambil sarapannya.

“Mau sarapan Lula?”

“Iya, Bi. Bibi sudah sarapan?” tanya Lula santai.

“Sudah tadi sama yang lain. Mau di sini aja atau gimana?”

Lula berpikir sejenak, dia mengintip halaman rumah yang sepi. “Mau ke kamar aja, sekalian nengokin anak-anak.”

“Ya udah, ini ambil juga minumannya.”

“Terima kasih Bibi!” Lula tersenyum dan segera memasuki kamarnya.

Baru saja masuk ke dalam kamar, dia mendengar deru mobil keluar dari garasi rumahnya. Lula mengintip, itu mobil Nadya. Dia pergi ke luar tak berselang lama setelah Lula melihatnya keluar dari ruang kerja suaminya tadi. Apa yang sebenarnya terjadi?

Selesai semuanya, Lula pergi membangunkan anak-anak. Ini sudah terlalu siang untuk mereka tetap tidur.

“Kaka?”

“Bangun yuk! Kak Haikal udah bangun loh. Kamu kalah!”

“Kak Lula harusnya bangunin Zizi dulu baru kakak Haikal. Gimana sih?”

“Kaka udah bangunin kamu dari tadi! Tapi kamunya engga mau bangun. Jadi kaka pergi ke kamar kak Haikal dan dia sudah duduk di kasurnya sendiri.” Lula duduk di kasur dan memandang lucu anak berusia enam tahun itu. “Jadi yang salah siapa?” tanya Lula sekarang.

“Kak Lula!” serunya girang. Meski begitu gadis itu tetap menurut untuk segera mandi dan mengganti pakaiannya. Lula yang melihat itu hanya terkekeh dan berdiri.

Selesai mandi, bocah itu menggandeng Lula menuju meja rias. Baju yang bocah kecil itu kenakan adalah kaos merah muda yang dimasukan dalam rok rimple putih tulang yang sudah diberikan sabuk oleh Lula. Sangat cantik.

“Kita mau ke mana Kak?” tanya Zizi melihat Lula sudah rapi.

“Mau ke mana hayo!” Lula tersenyum dan menunjuk Zizi. Perempuan itu ingin gadis kecil ini menebak kepergian mereka nantinya.

“Beli es krim?”

“No!” Lula menggeleng saat mengatakan itu.

“Terus?” tanya Zizi bingung.

“Kita pergi ke Perpustakaan Nasional. Sekarang rapiin rambut dan tunggu Kak Haikal selesai oke?”

“Oke!” Lula merapikan rambut Zizi. Ia memberikan jepit kupu-kupu berwarna merah muda di sisi kanan dan kiri kepalanya. Setelah itu, Lula mengajak Zizi turun untuk sarapan.

“Sarapan dulu ayo!”

“Kak Lula sudah sarapan?” tanya Zizi. Ini sudah cukup terang, pasti Kakak itu sudah sarapan.

“Sudah dong!”

Zizi hanya memberikan cengiran kudanya senang, tebakannya benar.

Sekarang sudah hampir tiga jam Zizi dan Haikal ditemani Lula bermain di Perpustakaan Nasional. Mereka membaca banyak buku, Haikal sering mengajari cara membaca yang benar kepada Zizi. Meskipun gadis itu sudah lancar membaca, beberapa kalimat cukup lama ia baca.

Menjelang makan siang, Emir menelepon Lula.

“Halo pak?”

“Kamu ajak main anak-anak di mana?”

“Perpustakaan Nasional, Pak.”

“Saya jemput sekarang, ya.”

“Baik, Pak.” Setelah mengakhiri telepon tersebut. Lula memanggil Haikal dan Zizi. “Kalian mau pinjam buku?” tanya Lula dengan senyum lebarnya.

Kedua anak itu kompak menggeleng. “Oke kalau begitu ayo kita keluar!”

Keduanya keluar, Emir sudah sampai ketika mereka bertiga berjalan melewati pintu utama perpustakaan. Zizi sangat senang Papinya menjemput dia. Haikal pun sama, tetapi bocah lelaki itu tidak terlihat begitu girang seperti adiknya.

Lula hanya menyembunyikan senyuman saja mengetahui sikap Haikal yang terlihat lucu.

“Kalian mainnya di tempat keren!”

“Iya dong! Kan mau jadi anak cerdas penerus bangsa.” Perkataan Haikal terdengar sombong tetapi lucu. Dia menggandeng adiknya untuk segera masuk ke dalam mobil. Lula mengikuti dari belakang.

Begitu sudah masuk semuanya, Emir masuk dan duduk di kursi depan. Satya yang mengemudikan mobil Emir kali ini. Dia akan ikut makan siang bersama.

“Kalian mau makan di mana?” tanya Emir menoleh ke belakang.

Haikal tidak peduli makan di mana. Ia hanya berkata, “Terserah adek aja.”

Zizi melebarkan senyumnya. “Kalau Zizi senang bisa makan sama Papi terus tiap hari, di mana pun itu ngga masalah.”

Emir menatap putrinya sedikit sendu meskipun senyuman yang ia berikan begitu lebar. “Ayo kita makan di restauran kesukaan Papi!”

“Yoo!”

Mereka semua kini sudah duduk tenang di kursinya masing-masing sambil menunggu makanan datang. Emir duduk di tengah-tengah antara Zizi dan Haikal. Sedangkan Lula bersebelahan dengan Satya.

Perangainya sedikit berbeda, jika Satya biasanya terlihat kaku saat sedang bekerja. Ini sangat berbeda jika dia sedang berbicara dengan kedua anak lucu itu. Dia terlihat pandai berbicara. Setidaknya sisi lain Satya muncul saat itu. Lula mengulas senyumnya melihat Satya yang terus berbicara.

“Jadi kalian sudah membaca banyak buku?” tanya Satya mengulang pertanyaan itu.

“Iya. Kenapa?” tanya Haikal berusaha menantang asisten pribadi papinya.

“Apa yang kalian temukan dalam buku itu?”

“Banyak cerita yang indah!”

“Kalian hanya membaca sebuah cerita?” tanya Satya seakan dirinya heran.

“Memangnya kenapa, kak?” tanya Zizi.

“Kalian seharusnya membaca banyak buku tentang politik agar kalian bisa mendebat Papi kalian itu!”

Emir ikut terkekeh mendengar Satya berbicara saat ini. Biasanya lelaki itu sangat patuh dengan perintahnya, dia sedikit fleksibel saat berbicara dengan kedua anaknya saat ini.

Makanan datang. Satu dua denting sendok dan garpu terdengar. Beberapa kali seruputan ikut menimpali. Mereka diam, tetapi mata mereka saling berbicara.

Zizi begitu senang Papinya sangat perhatian hari ini. Biasanya lelaki itu sibuk bekerja walau hari libur sekali pun. Apalagi satu bulan lalu ketika Zizi mendengar masalah besar menimpa Papinya. Dia sama sekali tidak melihat Emir selama beberapa hari.

Mata Haikal tenang, lelaki kecil yang biasanya temperamen dan suka usil itu kini duduk tenang saat makan. Dia sesekali melirik Papinya berharap Papinya ikut melirik pada bocah itu. Ketika sampai dilirikan ke sekian dan papinya pun menoleh, Haikal menampikan cengiran kudanya.

Sedangkan Lula, dia tak pernah menyangka bisa satu meja dengan Satya. Apalagi bersebelahan. Jarak duduknya tidak sampai sepuluh senti. Badannya beberapa kali tegang, jantungnya berpacu cepat. Rasanya Lula ingin tersenyum setiap saat. Tidak ada hal yang membahagiakan sejauh ini kecuali makan bersama di hari cerah seperti ini.

Satya berdehem. Dia menegak minumannya dan duduk dengan tenang menunggu yang lainnya. Lula pun mengikuti. Dia mengambil tisue dan mengelap mulutnya.

“Kau ingin sesuatu?” tanya Satya ketika itu.

“Ha?” Lula menoleh memandang Satya kaku.

“Kau ingin sesuatu? Bukankah dirimu belum makan ini? Mau kuambilkan?”

Dengan kekakuannya, Lula mengangguk. Satya dengan sigap mengambil makanan penutup pudding coklat untuk Lula. Dia memberikan pudding, dan dengan cepat diterima Lula. Lula sedikit gugup, dirinya canggung.

“Kau kenapa Lula?” tanya Emir melihat sikap aneh Lula.

Lula hanya menggeleng dan mulai memakan makanan penutup itu dengan pelan.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel