Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Persiapan Kampanye

Bab 6 Persiapan Kampanye

Sudah dua bulan Lula bekerja di sini. Semakin hari, yang bisa perempuan muda itu lihat hanyalah kesibukan Nadya dengan bisnisnya yang tiada henti. Keacuhan dia pada kedua anaknya sendiri menghasilkan jarak samar antara dirinya dengan Zizi dan Haikal.

Tidak berbeda dengan sang Mami, Papinya dua anak itu—Emir Sulaiman—juga memiliki kesibukannya sendiri. Apalagi akhir-akhir ini, banyak masalah yang mendera berkaitan dengan partai politik yang ditekuninya.

Seperti hari ini, Emir mendapatkan laporan bawah banyak baliho yang dipasang untuk memperkuat dirinya sebagai kandidat, rusak di jalanan. Entah siapa yang merusakannya, kejadian ini tentu membuat Emir marah. Dia ingin bergegas menyelesaikan dan membersihkan hama itu.

“Satya!” panggilnya tegas.

“Iya, Pak?” Asisten setia Emir itu langsung tanggap, dia memberikan Ipad yang dipegangnya kepada Emir. Emir melihat langsung bukti dari laporan yang ia terima. Baliho itu memang sengaja dirusak. Ada banyak tempat yang menjadi korbannya, tidak mungkin sesuatu yang kebetulan itu terus terjadi. Siapa pula yang melakukan ini?

“Pak, Ketua Partai minta kehadiran bapak untuk rapat dadakan hari ini. Mereka akan membahas masalah ini dan mencari penyelesaian yang efektif ke depannya.”

Satya menyiapkan segala hal yang dibutuhkan Emir. Emir bisa langung pergi ke kantor perwakilan partai. Orang-orang di sana langsung membahas mengenai masalah baliho yang dirusak.

Diskusi awal dilakukan, ada banyak orang yang menjadi objek tersangka. Namun, satu orang yang paling menonjol ya jelas saingan mereka.

“Mungkin ini ulang dari pesaing kita, Pak!” seru salah seorang menyampaikan pendapat.

“Tony? Orang-orang dia sungguh berani membuat onar sebelum perang dimulai.” Lainnya ikut mengangguk. Jika benar ini ulah Tony, bukankah itu tindakan yang sangat berani?

“Sebaiknya kita bungkam saja tindakan mereka, Pak.”

“Belum tentu ini ulahnya. Jika benar, betapa cerobohnya? Dia ingin memperburuk citra dirinya sendiri?”

“Siapa pun itu, lawan atau kawan, satu kejadian ini merugikan kita. Kejelasannya sudah pasti, balasan yang ditunjukan oleh kita nantinya bisa merugikan lawan. Bukankah itu bagus?”

“Cukup bagus untuk membuat sedikit keributan. Mari kita lakukan!”

“Menembak lawan dengan tembakan yang sama tidak akan menguntungkan kita. Tunjukan sisi manis dari kita, lihat saja siapa yang akan dipilih Presiden nantinya.”

“Benar apa yang dikatakan olehnya, bermain manis tidak akan melelahkan. Mereka terserang. Kita tersenyum pada rakyat semua. Pada akhirnya semua orang akan menyanjung kita dan tidak ada keuntungan satu pun yang menyambut mereka.”

Diskusi itu saling bersahutan. Satu orang berpendapat, yang lainnya ikut bersuara. Tidak ada yang marah ketika bertentangan, ini sudah menjadi hal lumrah dan tujuan mereka pun sama. Kemenangan mutlak partai mereka dan mengangkat menteri yang diberikan pada Emir.

Rapat itu pun berlanjut sampai hari cukup larut. Keadaan di luar sudah gelap, cahaya rembulan bahkan sudah menyelusup melalui kaca jendela yang terbuka lebar di ruangan itu.

“Baiklah saya akhiri rapat hari ini, buat tim kreatif bisa tetap lanjut ya!” Penutupan Rapat segera dilakukan. Beberapa orang yang sudah berdiri terlihat mengantuk. Padahal tadi cukup semangat membahas permasalahan yang ada saat ini.

“Tim kreatif siap begadang!” seru Ketua Divisi. Dia begitu aktif saat rapat. Bahkan sampai malam pun dia siap untuk bekerja pada partai ini. Kemenangan menjadi ambisi setiap orang yang duduk di meja rapat.

“Siap boss! Mau di mana nih?” tanya salah seorang di tim itu. Dia bertanya sembari mencari-cari inspirasi di internet.

“Di rumah saya saja.”

“Oh si calonnya mau modal. Istrinya gimana pak?” canda salah seorang membuat yang lain ikut tertawa kecuali Satya. Lelaki itu hanya diam mendengarkan, sama sekali enggan ikut bercanda. Dia bersiap menyiapkan data dan menghubungi pengurus rumah untuk menyiapkan ruang kerja Emir.

“Tidak masalah. Satya, siapkan semuanya.” Tindakan Satya lebih cepat dari perintahnya. Emir mengangguk mengiyakan perintah Emir.

“Baiklah kami akan langsung berangkat ke rumah Bapak, sudah banyak sekali ide di pikiranku sebagai solusi masalah ini.”

“Ayo!”

“Ayo!”

Emir ikut berjalan. Dia masuk ke dalam mobil dan langsung dilajukan ke rumahnya. Rumah besar itu nampak tak berpenghuni. Sepi. Satpam rumahnya membuka gerbang.

“Ada yang mau dateng, Pak. Dua mobil, biarin masuk ya!” ucap Satya mewakili Emir.

“Siap, Pak.”

Sampai di depan rumahnya, tak berselang lama dua mobil pun ikut masuk ke sana. Semuanya keluar dari mobil masing-masing.

“Silahkan masuk!” ujar Satya. Dia membukakan pintu

Ruang kerja Emir sudah disiapkan sebagai ruang rapat mereka selanjutnya. Emir dan yang lainnya bisa menempati ruang kerja itu untuk membahas lebih lanjut solusi masalah tadi.

Satya keluar sebentar, lelaki itu meminta pembantu di rumah ini untuk menyiapkan unjukan. Di dapur ia bertemu dengan Lula. Lula hanya mengangguk sembari tersenyum.

Air panas sudah siap. “Inget ya, Bu. Kopi saya engga manis.” Satya memperingatkan kembali dengan senyumannya.

“Siap, Pak.” Satya memberikan jempolnya dan kembali ke ruangan kerja Emir.

Ruangan kerja Emir sudah berantakan lagi. Beberapa orang mencari posisi nyaman untuk mengeksekusi langsung hasil rapat. Beberapa lainnya masih berpikir dan mendiskusikannya dengan Emir.

Terlihat tim sedang menyiapkan beberapa jargon-jargon yang sudah mereka buat dalam beberapa hari ini.

“Nah bener, instagramnya buat akun baru aja. Promonya khusus untuk kaum milenial yang beduli bangsa dan negara gitu.”

“Jargonnya dibanyakin.”

“Sip, saya buatin desain buat feed instagramnya dulu.”

“Captionnya siapin, Pak.”

“Pak Emir!” seru salah satu dari mereka. “Gaya ini lagi diminati banyak anak muda, Pak.”

“Siapin juga vidio pendek, jangan terlalu kaku tetapi tetap mengandung visi partai kita!” kata Emir, dia masih melihat data statistika tentang permintaan pasar.

“Siap, Pak.”

Rapat terus berlanjut. Minuman yang disiapkan sudah tinggal separuhnya. Mereka masih semangat dalam mengerjakan tugas masing-masing. Mendesain, membuat video kreatif, mentrendingkan hastag menteriemir atau hastag emirsulaiman. Pun di instagram sama saja.

Sampai pagi buta, keadaan mereka kurang mengenakan dilihat.

***

Lula membuka matanya mendengar suara adzan di kejauhan, dirinya mengerjap beberapa kali dan bangun dari baringnya. Tampak sedikit gelap di luar, dia memutuskan segera membersihkan diri dan melakukan salat subuh.

Solat subuh berakhir. Perempuan itu masih mengikat tinggi rambutnya dan belum berganti pakaian. Leher jenjangnya terlihat apik dibawa berjalan. Lula hampir saja tertabrak orang, dua lelaki muda berdiri di depannya dengan picingan mata dan pandangan awas.

Salah satu dari mereka bersiul lirih. “Cantik, nih.”

“Bukan istrinya Emir ini, sih.” Dia menaik turunkan alisnya berusaha menggoda Lula.

Lula hanya mengernyit heran, di sini ternyata banyak tamu. Dia mengangguk sopan dan ingin kembali ke kamarnya. “Tunggu dong! Kenalan dulu sama kaka sini!”

“Iya! Kenalan ya!” Lelaki itu menggamit tangan Lula paksa. “Namanya siapa?”

“Apaan sih. Lepasin ngga?!”

“Ngga mau!” jawabnya tegas. “Sebutin namanya dulu cantik. Nama kamu siapa cantik.”

Lula merasa dilecehkan. Dia berusaha keras tak membuat keributan tetapi bisa lepas dari godaan dua lelaki kurang ajar di depannya. “Lepas!”

Seseorang datang memisahkan cengkeraman itu. “Sikap Anda kurang sopan, Pak.”

Lula hanya menunduk, dia memandang sandal yang mereka gunakan dan sepatu yang Satya pakai. Sepagi ini lelaki kaku itu sudah siap dan rapi. Lula meliriknya, lelaki itu kembali membelanya hari ini.

“Cuman ngajak kenalan aja, kok.” Satya tak menggubris tuturan yang dusta itu.

“Kamu pergi duluan aja!” titahnya pada Lula. Lula pun berjalan meninggalkan tiga orang lelaki itu.

Satya memandang mereka lagi. Tatapan tak bersahabat itu ia layangkan terang-terangan.

“Tetap saja itu kurang sopan, memaksa perempuan seperti ini tidaklah bagus dan elok dipandang. Apalagi kalian orang berpendidikan.”

“Maksudmu apa?”

“Ini rumah calon menteri yang kalian gadang-gadang. Sikap kalian membuat orang yang melihat menanyakan kredibilitas dan pendidikan kalian. Tidak ada bedanya dengan preman di pasar dan jalanan.”

Satya masih terdengar ribut dengan dua orang yang menggodanya. Lula menepuk telinga kanan dan kirinya bergantian dengan telunjuk. Satya sendiri setelah membuat bungkam kedua orang kurang ajar itu, langsung meninggalkan mereka. Dia memiliki banyak tugas hari ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel