Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Kenangan Zizi

Bab 5 Kenangan Zizi

Tiga bulan sebelum Zizi hilang, Lula teringat bahwa Zizi sempat meminta boneka dari Papinya. “Pi! Kalau besok papi pulang malam lagi beliin boneka warna pink ya!” pinta Zizi sembari mengayun tangan Papinya itu.

Ini sudah sebulan pertama Lula bekerja. Bocah kecil itu membuntuti Papinya yang baru pulang. Tas Emir bahkan masih dipegang Emir tanda dirinya belum sempat beristirahat. Tak biasanya Satya tidak ikut masuk ke rumah bersama Emir. Lula tidak melihat asisten tersebut.

Emir hanya mengangguk lelah. Nadya terlihat baru memasuki rumahnya. Make up-nya masih terlihat segar, itu berarti dia masih sempat membenahinya beberapa waktu lalu. Emir memberikan tasnya pada Nadya, Nadya sendiri tak menanggapi. Dia hanya berlalu tak mau repot menuju ke kamarnya untuk beristirahat.

“Huhft! Astaga!” keluh Emir sembari melirik putrinya. Senyum lebar sang putri membuatnya tak tega untuk berteriak marah pada Nadya. Itu pasti akan membuat gadis di depannya sedih.

“Bibi ambil tasnya.” Lula berbisik pada seorang perempuan yang tengah mengintip di dapur. Bisikan itu disertai kode tangannya agar perempuan di sana mengerti.

“Pak, saya bawakan.” Emir mengangguk menyanggupi. Dia menghela napasnya lelah dan merendah, dirinya menatap bocah cilik yang belum tidur. “Kenapa belum tidur lagi?” tanya Emir kepada Zizi.

Zizi melihat jemarinya, dia menghitung sesuatu. Rautnya tampak sedang berpikir keras. “Lima!” serunya mengagetkan Emir. Emir hanya memandang putrinya dengan permohonan agar tak berisik. Dia sungguh sangat lelah.

“Ini hari ke lima papi pulang larut. Pergi pagiii banget! Lula kangen. Jangan marah-marah!” Lula memperingati Emir, sambil memeluk Papinya erat.

Lelaki yang hampir mengeluh di depan putrinya itu menahan napas. Dia memang terkadang membentak-bentak di depan Zizi atau Haikal. Baik bocah lelaki itu atau putrinya yang lucu ini seharusnya tak mendengar hal buruk itu dari ayahnya.

“Jadi Zizi rindu Papi?” tanya Emir menggoda putrinya. Matanya yang berat diangkat ke atas tanda antusias dengan perasaan putrinya. Dia merasa kehangatan hadir dalam hatinya.

“Sekaliii! Kaka juga iya, tapi dia malu ngomong ke papi. Masih marah, kan. Papi marah terus sih.” Zizi memberi tahu keadaan Haikal saat ini pada Emir. Emir hanya menerawang dan tersenyum, bocah lelaki yang menjadi putranya tahan banting karena kemarahannya yang tak tahu waktu. Pelampiasan yang dilakukan Emir memang salah, tetapi emosinya kadang memang tak terkontrol. Apalagi jika Nadya mengusiknya dan soal ambisi mereka berdua, menjadi menteri dan menjadi ibu menteri.

Emir tersenyum tipis. Dia berdiri dan mengelus puncak kepala Zizi. “Kamu bobo, ya. Papa juga mau bobo.” Emir memberikan kode pada Lula agar putrinya segera di bawa ke atas.

Lula mengangguk dan menggiring Zizi ke kamarnya. Zizi menunduk, dia murung. Namun, melihat Papinya yang tidak marah malam ini membuatnya senang. Walalupun sepi, ini lebih baik daripada mendengar pertengkaran Papi dengan Maminya.

Zizi tersenyum lebar dan mendongak. “Ayo kita tidur!” kata Zizi mengajak Lula ke atas.

Lula dan Zizi menuju kamar yang dipenuhi warna merah muda. Melihat bocah lucu yang diasuhnya sudah rapi bersiap tidur, Lula tersenyum. Dia mematikan lampu kamar Lula dan bergerak ke luar. Tak lupa sebelum memasuki kamarnya, Lula menuju kamar Haikal, di sana sudah gelap. Bocah berusia sembilan tahun itu sudah terlelap. Mukanya seperti sedang bermimpi yang tidak bisa dibayangkan Lula. Dia harap mimpinya indah dan dapat menghibur dia dari pertengkaran yang terjadi hampir setiap hari.

Langit cerah dengan rona merahnya memburat di ufuk timur. Lula menyiapkan dirinya untuk tetap semangat hari ini. Mengenal Zizi dan Haikal membuat dia lebih menyayangi kedua bocah lucu itu. Setiap hari mereka menunggu kedua orang tuanya, menunggu perhatian mereka.

Lula mengetuk pintu kamar Haikal. Dia membangunkan bocah itu. Tadi malam dia marah padanya karena Mami dan Papinya lagi-lagi pulang larut. Lelah dengan tangisan yang ditahan itu, dia tertidur begitu cepat.

Haikal bangun, dia menatap Lula dengan senyumannya. Kemarahannya tadi malam hilang begitu saja. “Bangun pagi!” Lula mendesah nafas. Satu lagi dalam catatannya, keluarga ini tidak menjalankan agama mereka.

“Bangun pagi!” seru Haikal mengikuti. Setelah itu keduanya berujar bersamaan. “Mandi pagi cepat-cepat gosok gigi! Ganti baju siapkan diri ke sekolah!”

“Pintar!” puji Lula. “Kakak ke kamar Zizi, ya?”

“Iya, Kak.”

Sampai di kamar Zizi, Lula tersenyum melihat bocah kecil itu sudah mengulat ingin menyiapkan dirinya ke sekolah.

“Uluuuh, semangatnya Zizi.”

Zizi memandang Lula dengan picingan mata. Setelah matanya melebar ia turut tersenyum juga. Kepalanya meneleng sedikit ke kanan dan berkata, “Iya, dong. Zizi kan anak rajin.”

Zizi segera beranjak dan siap untuk mandi. Lula membantunya sampai berganti pakaian khas sekolahnya. “Cantiknya!” puji Lula. Dia mengambil sisir di nakas dan memandang Zizi dari cermin. “Mau diapakan hari ini.”

Zizi mengambil bandana merah muda dan dua kuncir dengan hiasan kue berwarna coklat putih dan merah. “Kakak ngga perlu ngapa-ngapain,” ujar Zizi membuat Lula mengerutkan keningnya.

“Terus? Emangnya Zizi bisa sisir sendiri rambut ini?”

Zizi menggeleng kuat dan menjawab, “Kaka panggilin Mami.”

“Zizi!”

“Mami! Mami! Mami!” teriaknya kencang. Setelah itu Zizi menoleh pada Lula. “Panggilin Mami. Zizi pengin di sisirin Mami. Pokoknya Mami!”

“Kak Lula kan bisa.”

“Mami! Kan Zizi belum ketemu Mami kemarin. Awas!”

Zizi mengambil sisir di tangan Lula dan membawa ikat rambut serta bandananya. Dia berlari ke kamar Nadya. Belum sampai di sana, Lula dan Zizi bisa melihat kamar itu terbuka, menampilkan Nadya dengan pakaian rapinya di ambang pintu. Dia menatap Zizi kesal. “Kenapa teriak-teriak?” tanyanya.

Zizi tetap berlari dan memeluk kaki maminya. “Mami sisirin rambut Zizi sekarang.”

“Lula kan bisa!” serunya tak terima dengan sikap putrinya.

“Sisirin rambut aja apa susahnya sih,” komentar Emir sembari merapikan jasnya di depan cermin.

Nandya mendengkus kesal. Dia mengambil sisir itu dan membawa Zizi ke kamarnya. Lula mengikuti di belakang.

Dengan asal Nadya menyisir rambut Zizi. Dia memakaikan bandana dan mengikat rambut sebisanya. Lehernya meneleng menyatukan pipi dengan bahu, Nadya menyisiri Zizi sembari mengangkat telepon ternyata.

Begitu selesai, perempuan itu menaruh sisir di meja dan meneruskan teleponnya. “Iya?”

“Bisa kok, bisa.”

“Mamiii!” Zizi berteriak nyaring. Nadya langsung menutup teleponnya sembari meminta maaf.

Emir berbalik dan menatap putrinya yng berteriak. Dia menatap Lula dan matanya mengkode, bertanya mengapa itu terjadi. Lula hanya menggelengkan kepala tak tahu.

“Mami kenapa nyisirnya begini?” Zizi menunduk, tetapi matanya melirik. Dia mencoba mengamati hasil sisiran maminya.

“Kamu bisa hargai Mami sedikit aja ngga sih?”

“Mami! Kuncirannya terlalu ke kiri. Ayo ulangi!”

Tak sabar menghadapi putrinya sendiri, Nadya mendekat dengan kesal. Mencubit lengan Zizi keras dan mencopot ikatan rambutnya. “Lihat tuh lihat sendiri sana! Sisir sendiri!”

“Mami!” Emir membentak. Dia tak suka dengan sikap kasar istrinya.

“Apa?”

“Huaa!” pertanyaan Nadya bersamaan dengan pecah tangisan Zizi.

“Nangis yang keras!”

“Mami! Bukannya nenangin malah ngomel.”

“Apa? Mau marahin aku? Salahin itu Lula,” kata Nadya mengomel. Rumah itu tampak pecah dengan teriakan.

“Kamu denger Lula?!” teriak Nadya sekali lagi. “Kenapa ngga disisir rambut Zizi hah?! Kamu kerja di sini buat ngurusin mereka. Bukan pasrahin ke aku kayak gini. Ngga tau kamu aku sibuk, hah? Kalau kaya gini apa gunanya bayar kamu? Ngurus satu anak aja ngga bisa!” bentakan itu masih diiringi tangisan Zizi.

“Ibu macam apa kamu,” lagi Emir memberi kritikan pedas. Dia mendekati Nadya dan menjauhkan dirinya dari Zizi. “Bawa Zizi ke kamar, La!” titahnya langsung diangguki Lula. Lula langsung tersadar dari tundukannya dan membawa Zizi ke kamarnya.

“Kaka yang benerin ikatannya, ya? Ayuk ke kamar.” Lula berkata lirih. Zizi mengerti dan mengusap pipinya. Isaknya masih terdengar menyakitkan di hati Lula.

Drama itu terjadi lagi.

Lula dimarahi habis-habisan oleh Nadya setelahnya. Emir tak kalah suara, dia membentak dan terus memarahi istrinya tanpa melihat kiri dan kanan. Sedangkan Zizi? Bocah itu terus menangis dan enggan pergi ke sekolah. Anggukannya ke kamar hanya agar dirinya bisa berguling lagi di kasur dan menikmati tangisannya. Sampai tenggorokan dan kepalanya sakit.

Selalu saja seperti ini. Baik Haikal maupun Zizi hanya ingin kasih sayang dan perhatian orang tuanya ditunjukan secara jelas. Tetapi malah mendapat bentakan yang tidak berguna.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel