Bab 4 Lula
Bab 4 Lula
Empat bulan sebelum Zizi dinyatakan hilang. Seorang perempuan muda datang ke rumah mewah keluarga Emir Sulaiman. Dia berdiri di depan gerbang dan mengingat-ingat iklan lowongan pekerjaan di internet yang dibutuhkan tuan rumah ini—pengasuh anak.
Perempuan dengan gelar sarjana itu menepis semua harga dirinya dan mencoba memencet bel rumah ini. Lula terlihat tinggi dengan wajah cantik dan tampilannya yang meyakinkan. Rambutnya ia ikat rapi, senyuman ramah dan hangat selalu ia tunjukan bahkan sebelum seseorang membukakan pintu rumah ini.
“Siapa?” Seseorang datang memandangi Lula dari atas sampai bawah.
“Saya yang mendaftar ke sini kemarin.”
“Ohh, Lula?” tanya sang lelaki. Dia masih muda, wajahnya nampak serius persis seperti pakaian yang ia kenakan. Rapi dan terkontrol. Tidak ada santai-santainya.
“Iya, Pak.” Lula tersenyum ramah pada orang itu. Dia Satya, asisten Emir yang begitu setia dan pekerja keras. Lelaki itu segera mengabari Emir.
“Tunggu sebentar di sini.” Lula mengangguk, dia melihat ruangan megah dengan dekorasi mewah ini. Begitu kaya rupanya. Lantai pualam itu memantulkan cahaya membuat kemegahan rumah ini makin terasa. Sungguh menakjubkan. Berapa penghuninya, rumah ini sepi meski hari ini weekend.
Dua orang, terlihat sebagai pasangan suami isteri berjalan tegap dengan raut lelah yang kentara. Mereka memandang Lula, mencoba memindainya dari atas sampai bawah. “Lula?”
“Saya Lula, Bu. Kemarin saya sudah menghubungi rumah ini perihal pekerjaan yang Ibu tawarkan di situs internet.” Lula menjelaskan dengan penuh keramahan.
“Ohh, Ya ya! Saya tahu. Saya Nadya, ini suami saya Emir. Kau bisa mengurus kedua anakku nantinya. Penampilanmu luar biasa, kenapa tidak bekerja di kantor saja.” Penuturan Nadya diakhiri dengan kalimat lirih yang lebih mirip gumaman.
Lula menatap keduanya dengan tatapan serius, tetapi sopan. Lelaki itu terlihat tampan, dia masih terlalu muda untuk dipanggil bapak. Wajahnya sawo matang penuh kharisma. Lula sering melihat Emir di televisi, menghias berita Nasional. Alis tebal miliknya membuat pahatan wajah tampan itu semakin menawan. Pipinya berlesung dengan rambut cepak yang menambah kekerenan. Selain itu, setahu Lula, calon Bosnya itu pintar dan ahli berdebat. Paket sempurna seorang politikus.
Nadya, perempuan dengan dandanan salonnya itu langsung mendekati Lula. “Putriku ada di atas, dia sedang bermain dengan abangnya Haikal. Saya langsung mempekerjakan kamu hari ini. Tidak apa?”
“Tidak apa, Bu.” Lula tersenyum ramah, wanita yang menjadi istri lelaki tampan itu juga memiliki wajah cantik di atas rata-rata. Wajahnya full make up yang up to date, ala-ala Korea. Terkesan mewah dan menunjukan diri bahwa dia seorang wanita kaya. Badannya bisa dibilang kurus, rambutnya bergelombang. Wanita itu masih cantik setelah melahirkan anak kedua, Lula hanya bisa mengatakan bahwa keluarga ini cukup keren.
“Kamarmu ada di sebelah kamar mereka!” kata Nadya memberi tahu sembari menunjuk kamar dengan pintu kayu di lantai dua.
Lula sebenarnya sedikit bingung, ia tidak pernah berpengalaman dalam hal mengurus anak. Nadya ini tipe orang yang tidak suka bertele-tele, atau memang dia sangat sibuk?
Emir langsung pergi bersama Satya tanpa berpamitan pada mereka. Rasanya muak sekali memiliki istri yang tidak perhatian seperti Nadya, tetapi apa yang bisa ia perbuat. Selain dirinya dibantu banyak oleh Bapak mertuanya, dalam hatinya Emir sangat menginginkan keluarga kecil yang hangat. Kehangatan keluarga tentunya akan membuat tekanan jabatan dan posisinya menjadi lebih ringan.
“Saya akan pergi ke luar, kau bisa kan menjaga mereka?” kata Nadya lebih dengan intonasi memperingatkan Lula.
“Saya mengerti, Bu.” Lula mengangguk memahami.
“Jangan biarkan mereka mulai bertengkar, akan sulit bagimu untuk menenangkannya. Setiap ruangan di sini ada sendiri orang yang bertugas, begitu pun dengan yang memasak dan mencuci. Kau hanya fokus pada anak-anak. Ingat! Jangan sampai mereka bertengkar.”
Lula mengangguk sekali lagi, Nadya memanggil salah satu pembantunya untuk menunjukan ruangan Lula. Keduanya pergi mempersiapkan diri. Nadya melakukan hal yang sama. Dari kacamata Lula, perempuan itu seorang wanita karir. Penampilannya yang kekinian membuatnya yakin dia sangat paham dengan trend fashion.
“Ibu kerja sebagai apa?” tanya Lula penasaran.
“Dia punya butik, sedari dia mulai bekerja dia sangat sibuk.” Lula mengangguk mengerti. Pantas saja gaya pakaiannya sungguh kekinian. Dia ditunjukan pada kamar minimalisnya. Lula sangat lega dengan kamarnya itu. Sering dia membaca dan mendengar orang-orang yang kaya, dengan rumah yang sangat mewah tetapi memperlakukan pekerja mereka dengan semena-mena. Salah satu indikatornya adalah kamar tempat mereka beristirahat. Namun tidak di sini.
Lula yang diberikan tugas menjaga itu langsung menemui kedua anak asuhnya. Dia memasuki kamar di sebelahnya. Melihat dua anak tengah bermain, Lula langsung memperkenalkan diri pada mereka.
Senyuman ramahnya mengundang kedekatan Lula dengan Haikal dan Zizi. Mereka berdua langsung akrab dan memanggil kakak pada Lula. Lula memahami rasa sepi di hati mereka.
“Kak Lula?” panggil Zizi. Anak itu begitu dekat setelah dua hari bersama Lula.
“Iya?”
“Mama pulang malam lagi?” Lula hanya bisa tersenyum, dia menyuruh Zizi mengerjakan tugasnya. Dia selalu bergantian menengok Haikal dan Zizi jika keduanya enggan menyatu dalam satu ruangan.
Lula mulai paham dengan kebiasaan mereka berdua. Lula dengan Haikal dan Zizi pun semakin akrab dibuatnya. Lula jarang sekali bertemu Papi dan Mami, panggilan anak-anak untuk kedua orang tuanya. Biasanya hanya di pagi hari dia melihat mereka berdua.
“Ya Kamu dong yang harusnya mikir?!” Seseorang berteriak nyaring di bawah sana. Itu Nadya, wajah lelah selalu ia tunjukan setiap hari. Begitu pun dengan Emir, keduanya sama saja.
Jika pulang tidak bertengkar, makan keduanya berarti langsung tidur tanpa memikirkan apakah Haikal dan Zizi baik-baik saja. Sebegitu percayanya mereka dengan kinerja Lula.
Setiap hari Lula memberikan laporan kepada keduanya. Satu di kamar Nadya dan memberikan langsung laporannya. Satu lagi pada Emir di ruang kerjanya. Sampai saat ini, Lula belum pernah melaporkan langsung secara bersamaan pada mereka berdua. Hubungan keluarga ini sungguh kurang harmonis.
Paginya seperti biasa, Lula akan membawa Haikal dan Zizi makan bersama. Keduanya terlihat memulai aksi saling mengejek. Nadya hanya diam saja, makan dengan tenang. Sedangkan Emir mulai mengatur napasnya. Dia tidak ingin marah hari ini, melatih kesabaran bisa menjadi hal yang baik untuknya.
Sampai pada Haikal membanting garpunya ke piring. Membuat beberapa makanan miliknya tumpah. Emir membentak, “Haikal! Makan ya makan!”
Haikal memberengut kesal, ia ingin dibela. Namun yang dilakukan ibunya hanya memandang datar seakan semua ini hanya drama.
“Makan yang tenang, Sayang.” Lula membereskan piring Haikal dan memberikan senyuman pada Haikal. Haikal hanya menunduk dan tak nafsu melanjutkan makannya.
“Wee!” Zizi memberikan ejekannya sekali lagi.
“Zizi ngga boleh gitu, Sayang,” bujuk Lula sembari mengelus puncak kepalanya. Mereka melanjutkan makan dengan tenang. Namun, suasana yang terasa justru lebih canggung.
Zizi dan Haikal begitu jauh dari ibu dan ayahnya. Lula bisa melihat itu selama beberapa hari ini. Nadya dan Emir selalu berlomba untuk lebih dahulu berangkat bekerja. Lula tak pernah melihat sekali pun keduanya saling merangkul anak-anak mereka, atau pasangannya. Mencoba mengerti satu sama lain sepertinya sangat mustahil bagi keduanya.
Pulang ke rumah pun seakan disengaja lama. Baik Emir maupun Nadya tidak ingin pulang terlebih dahulu dan berlomba memeluk anak mereka secepat mungkin.
“Zizi! Haikal! Kalian ngga boleh bertengkar lagi dan nurut sama Kak Lula! Paham! Mami mau berangkat dulu.” Nadya berdiri menyudahi sarapannya. Ia meminum susunya tergesa.
Emir juga melakukan hal yang sama. Dia langsung pergi bahkan tak mengucapkan satu kata pun selain, “Papi berangkat dulu.”
“Zizi berangkat yuk!” Lula mengerti perasaan bocah itu. Perempuan kecil yang menunduk lesu di pagi hari pasti memiliki banyak perasaan duka. Haikal pun sama saja. Hanya saja dia lebih besar tiga tahun dari Zizi dan juga dia seorang bocah lelaki. Perangainya dalam mengutarakan perasaan cenderung dengan pemberontakan.
***