Bab 10 Bintang Emir
Bab 10 Bintang Emir
Beberapa bulan berlalu. Prestasi Emir tidak bisa diremehkan. Dia menjadi bintang di depan calon mertuanya. Pun dalam keanggotaanya di partai politik, Emir sangat aktif dan mendapatkan banyak perhatian. Bukan hanya rupawan yang dimiliki lelaki itu, tetapi juga otak encer yang menunjukan kecerdasan di atas rata-rata.
“Kalau kamu seperti ini terus, kamu bisa jadi anggota legislatif Emir. Bukan hanya di kota ini, tetapi sampai kancah provinsi.” Emir hanya menunduk berusaha merendahkan diri. Namun, orang yang melihat itu justru menganggap Emir lebih berwibawa dan santun.
“Semua prestasi saya pun karena dukungan kalian semua,” ucap Emir tampak berkharisma. Lelaki yang menginjak usia tiga puluhan itu terlihat tampan di tempatnya.
Bersinarnya Emir tidak hanya sampai di telinga orang dalam saja. Sang calon mertua sudah mendengarnya pula. Dia duduk di kursi santai belakang rumahnya. Nadya terus saja membicarakan Emir yang sangat berprestasi itu.
“Pah, bahkan dia bisa masuk jadi anggota legislatif loh, pa!” ucap Nadya menggebu. Kali ini pandangan Malik tak fokus. Perhatiannya teralihkan. Dia memandang putrinya tidak terkejut karena Emir memang pintar, tetapi secepat inikah hasilnya?
“Papa ngga salah denger?” tanya Malik mencoba meyakinkan dirinya sekali lagi terhadap apa yang barusan ia dengar.
Nadya menggeleng tegas.
“Undang Emir makan malam nanti, ya!” seru Malik.
“Papa serius?”
“Emangnya Papa pernah becanda sama kamu Nadya?” tanya Malik pada putrinya.
Hari pun berganti malam. Sang surya tenggelam digantikan bulan. Bulan muncul disertai bintang. Temaram hadir menghilangkan kelamnya malam. Emir menerima undangannya. Senyum manis lelaki itu menghiasi diri sepanjang ia berjalan melewati pualam indah rumah Nadya.
Diri Emir disambut hangat oleh beberapa pekerja.
“Jasnya tuan.” Emir memberikan jasnya pada salah satu pekerja di sini. Setelah itu ia mengikuti pekerja lainnya. Emir di bawa ke ruang makan.
“Selamat malam Emir.” Sapaan keluarga kecil yang sudah siap di tempatnya sedikit membawa kegugupan di dalam diri Emir. Namun, Emir terbiasa dengan kondisi macam ini, ia cepat beradaptasi dan membangun rasa percaya dirinya kembali.
“Selamat malam, Bu, Pak.” Emir mengerlingkan mata pada Nadya. “Selamat malam Nadya.”
“Silahkan duduk!” Emir duduk di sebelah Nadya.
“Makanan itu membuatku lapar, tapi duduk di sampingmu lebih menyenangkan.”
Nadya berdehem mendengar bisikan lirih itu. Dia melihat Papanya, pun dengan Emir yang merapikan duduk dan mulai mendengarkan ujaran kepala keluarga di rumah ini.
“Prestasimu luar biasa Emir!” puji Malik terus terang. Ia sungguh kagum dengan pembuktian ucapan Emir beberapa waktu lalu.
“Ini berkat dorongan Bapak!” kata Emir merendah.
“Kau digadang bisa masuk legislatif benar?” tanya Malik lagi, teling adan matanya ada di mana-mana.
“Benar, Pak.”
“Tampilanmu menawan dan kau juga cerdas. Siapa yang berani menolakmu dan menyatakan gagal?” kata Malik membuat Emir terkekeh pelan.
“Aku akan mendukungmu, Emir!” putus Malik mutlak. “Bekerja keraslah kau dan pastikan kau dapatkan prestasi yang lebih luar biasa dari ini.”
“Jika bapak mendukung saya. Siapa pula yang akan menggagalkannya Pak?” kata Emir meninggikan Malik. Meski tahu perangai Emir, Malik tetap suka dengan kepercayaan diri dan hasil yang dibuat dari ucapan manisnya itu.
Makan malam pun berjalan semestinya. Ada beberapa ucapan yang memancing tawa mereka. Sampai pulang Malik tetap menyalami Emir. Menyalurkan kebahagiaan dan rasa bangga yang berlebih pada Emir.
***
Purnama berganti mentari, mentari pun bergulir pergi. Hari demi hari Emir lalui dengan banyak torehan prestasi. Kini dirinya benar-benar pada posisi bintangnya partai yang ia masuki. Dukungan Malik membawa sumbangsih besar pada posisi Emir saat ini. Dia bahkan merencanakan segera untuk menikahi Emir dengan putrinya agar gemilangnya Emir tidak sirna.
“Persiapan pernikahannya bisa langsung dimulai kan, Emir?” tanya Malik cukup serius dengan hal ini. Ini berkaitan langsung dengan kehidupan mendatang putri tunggalnya, Nadya.
“Bapak bisa saja! Semua ini berkat bapak. Saya datang melamar resmi dengan keluarga baru beberapa hari yang lalu. Apa tidak terlalu cepat, Pak?”
“Tanggalnya memang sudah ditentukan. Tapi kalau lebih cepat apa salahnya? Ya tolong diskusikan kembali lagi nanti.”
“Baik, Pak.”
Emir pun mendiskusikan kembali dengan keluarganya dan menanyakan persetujuan untuk mempercepat pernikahan mereka. Tidak tanggung-tanggung Malik berani membiayai pernikahan itu miliaran rupiah. Dia mengadakan pesta pernikahan yang tidak sederhana atau mewah biasa.
Undangan disebar. Banyak yang memuji sepasang pengantin itu. Selain Nadya yang cantik, Emir juga tampan dan cemerlang. Keduanya memiliki banyak prestasi di bidangnya masing-masing.
Tidak butuh waktu lama para partai politik heboh dengan pencapaian yang dilakukan Emir. Apalagi berita pernikahan kini sudah menyebar. Banyak wartawan dan jurnalis yang memburu Emir. Tak hanya mencoba menghubungi lewat gawai atau emailnya, tetapi juga bahkan memburu sampai kantor partai politik yang diduduki Emir.
“Emir?!”
“Ha?”
“Banyak tuh yang di luar. Temuin gih!”
“Udah kemaren. Nanti saya yang trending topic mulu.”
Orang di kantor yang mendengar itu hanya terkekeh. Emir itu memang supel. Perangainya yang gampang bergaul dengan siapa saja membuat dia memiliki banyak relasi. Prestasinya di bidang politik pun tak main-main. Sekarang ditambah dia akan menjadi menantu usahawan terkenal dan digadang menduduki posisi legislasi di provinsi. Siapa yang tidak akan terpukau dengan hal itu?
Emir bahkan masih sempat mengurus partainya dan bekerja di perusahaan Malik walaupun dirinya harus membagi waktu dengan persiapan pernikahan yang tinggal menghitung hari.
Lelaki tampan itu menggeleng ketika melirik jendela. Masih banyak orang yang menunggu. “Ema!”
“Apa?”
“Coba bilang ke mereka sayanya sudah pergi gitu.”
Emir mengangguk yakin, yang dititahkan hanya tersenyum dan keluar. Berharap mereka semua pergi.
Berhasil melewati semua itu, Emir akhirnya pulang. Dia juga butuh waktu untuk istirahat. Beberapa hari terakhir ini dia tidak bisa tidur dengan nyaman. Waktunya penuh terisi dengan padatnya kegiatan yang harus ia jalani.
Sampai di hari pernikahan. Dekorasi dibuat apik dan megah. Berbagai hiasan didominasi merah legam dengan putih dan warna emas. Semuanya menyatu membawa keindahan dan kemewahan.
Bunga bunga dengan warna lembut menghiasi ruangan. Beberapa lilin dinyalakan. Dua orang sudah siap di tempatnya. Di depannya ada penghulu dan juga Malik. Para saksi sudah menduduki tempatnya, memandang iri pada pasangan pengantin yang kali ini menjadi pusat perhatian.
“SAH!”
“SAH!”
“SAH!
Para saksi sudah mengerti bahwa dua orang yang sungguh cantik dan tampan itu kini halal. Mereka berdua menerima salam suka cita para udangan tamu. Para tamu yang hadir mendapatkan souvenir gawai android yang mencengangkan seluruh jagad.
Hari yang ditunggu pun datang juga. Kali ini strategi Malik dinyatakan tidak gagal. Emir benar benar menduduki DPRD ibukota. Sedikit kepuasan timbul di hati lelaki tampan yang baru saja menikah.
“Selamat Pak.”
“Terima kasih.”
Banyak pujian dan ucapan selamat yang Emir dapatkan. Bahkan partai tetangga mengagumi kehebatan Emir. Tentu bukan hanya Emir saja yang bangga dengan prestasi kali ini. Namun, orang yang berada di belakangnya pun merasa bangga. Mereka sungguh senang dengan kerja keras Emir.
Malik menjemputnya, dia duduk di kursi belakang bersama Emir.
“Bener kata Papa, kan? Sekali lejitkan prestasi harus kasih tahu juga siapa kamu. Kamu berada di sisi pengusahawan kaya. Nggak mungkin korupsi dan patut diberi kepercayaan dan tanggung jawab.” Malik memberi pernyataan panjang yang terdengar lucu di telinga Emir.
Emir tertawa singkat mendengar itu. “Papa bisa aja,” katanya rendah hati.
Sesungguhnya Malik sedikit jengah dengan sikap sopan lelaki ini, tetapi itu sungguh mulia. Untuk apa menghapusnya? “Emang bener kok.” Malik berujar santai sembari melihat jalanan kota kali ini. Dia melihat jalanan ibu kota yang begitu ramai lalu lintas. Kapan pernah lengang membawa ketenangan?
“Nadya di rumah?” tanya Emir, siapa tahu Papanya sudah mampir ke rumah itu.
“Di mana lagi emangnya?” kata Malik membuat Emir terdiam sesaat.
“Siapa tahu pergi belanja kebutuhan, Pa.” Perkataan Emir dibalas anggukan Malik.
Malik berkata, “Belanja doang, nggak usah ngekang Nadya terus ya.” Emir mengangguk yakin.
***