Bab 11 Kelahiran Haikal
Bab 11 Kelahiran Haikal
Satu tahun sudah pernikahan Emir dan Nadya berlangsung. Keduanya nampak biasa-biasa saja. Romansa mereka memang cukup terkenal sampai seluruh penjuru kota. Baik Emir dan Nadya tak mempermasalahkannya.
Hari kelahiran putra pertama Nadya sudah diprediksi dokter. Perut buncit perempuan cantik itu membesar. Walaupun begitu masih tetap terlihat cantik. Kini perempuan itu terbaring di brankar rumah sakit dengan Emir di sisinya. Dokter kandungan sudah memeriksa, perawat sudah ada di depan mereka. Persalinan siap dimulai.
Beberapa jam berlalu, Nadya baru bisa mengeluarkan putra pertamanya. Laki-laki jenis kelamin bayi itu. Emir langsung mengumandangkan adzan di telinga bayinya. Raut bahagia terpancar di wajah mereka.
“Ganteng, Pa.” Nadya mengomentari sembari mengelus pipi mulus anak itu. Dia tak kuasa menahan tangisnya. Sungguh tak menyangka begitu cepat waktu berlalu.
“Kasih nama dia Haikal aja.”
Sudah beberapa hari ini, Nadya terbawa suasana bahagia. Haikal benar-benar tampan dilihat mata.
“Pa?”
“Iya?”
“Kenapa Haikal harus tampan kaya gini?” tanya Nadya.
“Karena papanya ganteng.” Berbagai candaan sering mereka lontarkan.
Namun, lambat laun Nadya jengah juga. Dia lelah mengurus putranya. Tangis yang tiada henti membuat telinga Nadya kepanasan. Sepanjang malam dia susah tidur. Belum lagi Emir yang sibuk sana sini dengan bisnis dan urusan partainya.
“Ya Allah kenapa nangis lagi sih!” seru Nadya suatu malam. Dia menggendong putrnaya, menghela napas ketika tahu Haikal pup di kasurnya. Malam dingin begini Nadya masih setia menggantikan itu semua.
Setelah cukup bersih, dia menggendong dan memberikan ASI pada Haikal. Emir bangun dan menatap Nadya lembut. Lelaki itu mengelus puncak kepala Nadya dan mengecupnya. Dia menatap sang istri tepat di manik matanya.
Merasa dipandang terus terusan Nadya mendongak. Dia tersenyum dan bertanya, “Apa?”
“Jangan lupa abis Haikal bobo, kamunya juga langsung tidur.”
Nadya langsung mengangguk. Emir tak peduli lagi setelah itu, lelaki itu tidur dengan pulas setelah terbangun karena tangis Haikal.
Memasuki bulan ketiga, Nadya semakin kesal dengan Haikal. Dia makin jarang memberikan ASI dan menyuruh pengasuhnya untuk memberikan susu formula saja, melihat kesibukan Emir yang selalu saja membuatnya pusing, semakin membuat perempuan itu enggan mengurus putranya. Dia ingin perhatian lebih dari Emir. Rasanya mempunyai bayi terlalu cepat bagi Nadya. Seharusnya mereka tidak perlu cepat-cepat memiliki seorang bayi.
Nadya dengan sikap acuhnya pada Haikal kini mulai sibuk dengan desain bajunya. Dia pun kembali menjadi topik hangat di dunia selebritas.
“Ibu, Haikalnya nangis minta susu.” Pengasuh itu mendatangi Nadya yang baru saja duduk di kursi dapur. Dia baru pulang dari kerjaannya. Ini cukup petang dan membuat pengasuh itu kewalahan.
“Kamu kasih susu formula aja!”
“Tapi Bu. Ibu kan di rumah.”
“Udah deh, mulai sekarang jangan pernah temuin saya buat minta susuin Hiakal, ngerti? Bikinin susu aja. Kalau sayanya mau susuin dia juga pasti nanti kasih ASI kok.”
“Baik, Bu.”
Ini sudah bulan keempat Haikal dilahirkan. Sejak hari ini pula Nadya enggan memberikan ASInya pada bocah itu. Makin lama Nadya makin tenar juga, usaha fashionnya makin maju. Banyak orang dari kalangan elit yang memesan pakaiannya. Banyak dari mereka ingin dibuatkan desain khusus limited edition.
Beberapa kali menjadi bintang iklan dan juga menghadiri berbagai acara televisi membuat Nadya semakin bersinar. Perempuan itu tak segan pergi tanpa peduli Haikal apalagi meminta izin pada Emir.
“Baru pulang?” Ini sudah kesekian kalinya Emir melihat Nadya pulang menjelang larut malam. Membiarkan Haikal tidur tanpa bertemu dengannya, tanpa kecupan manisnya lagi, tanpa rengkuhan hangatnya dan tanpa meminum ASInya.
“Iya. Aku capek mau istirahat.” Hanya itu yang keluar dari mulut Nadya. Emir hanya bisa menatap jengah istrinya.
Semakin ke sini Emir juga semakin tak memperhatikan Nadya. Ia juga ingin diperhatikan, mengapa pula dirinya yang harus memulai? Nadya istrinya, ini kewajiban dia sebagai istrinya.
“Temuin Haikal dulu.” Walaupun tak menjawab, Nayda masih mau menemui Haikal. Dia menghela napasnya dan memandang Haikal dengan tangan bersedekap dada. Bocah itu sudah tidur dengan lelap. Akankah kecupannya mengganggu? Nanti malah membuat bayi itu terbangun dan menangis.
Nadya kembali ke kamarnya seakan dirinya tak peduli, ingin sekali Emir menegur dengan keras, tetapi ia ingat dirinya masih membutuhkan banyak dukungan dari Malik.
“Kamu kalau siang tetep nengokin Haikal kan?” tanya Emir ketika sampai di kamarnya, ia menatap istrinya yang benar benar langsung memposisikan diri ingin tidur. Nadya duduk bersandar pada kasur. Dia menatap Emir sedikit lama.
“Kamu emang nengokin Haikal?” tanyanya serius.
“Aku kan di kantor Papamu.”
“Nah itu tahu. Kamu sibuk kan buat ngurusin bisnis. Udah fokus aja sama partai kamu yang bakalan maju itu. Fokus juga belajar sama Papa biar jadi Direktur perusahan kayak yang Papa janjiin ke kamu.” Nayda tersenyum lebar. “Ngga usah ribet mikirin aku oke?”
“Nadya!”
“Udah tidur aja,” jawab Nadya sekenanya. Emir hanya bisa melepas pakaiannya dan mengganti degan pakaian tidur. Dia mengambil posisi di sebelah Nayda.
Memang Emir lebih fokus ke banyak hal di luaran sana daripada keluarga. Namun, pikirannya memang tertuju ke sana sedari awal kedekatannya dengan Nayda. Ia sama sekali tidak merasa bersalah akan hal ini.
Emir bahkan masih setia belajar besama Malik. Ketika sudah siap nantinya, Emir benar benar akan diangkat menjadi Direktur Utama perusahaan yang Malik punyai itu. Siapa yang tidak bersemangat jika dijanjikan seperti itu?
*
Tim politik Emir lebih segar dengan tampilan para pemudanya, generasi milenial. Mereka merapatkan beberapa hal untuk aksi pemuda pemudi seperti mencanangkan event sejenis parlemen remaja. Bahkan banyak dari event itu membuahkan hasil terangkatnya nama Emir.
Gaya milenialnya yang lentur membawa banyak perubahan. Emir sama sekali tidak canggung ketika berhadapan dengan rekan kerjanya. Rata rata dari mereka adalah orang yang dekat dengan Emir. Emir merekrutnya langsung dari teman yang sangat ia percaya.
Ema misalnya, gadis jangkung yang memiliki pemahaman besar pada sepak terjang beberapa politikus terkenal. Perempuan muda itu cukup manis dan cantik. Dia jug atman lama Emir.
“Ema!”
“Iya?” Ema tersenyum lebar mengetahui Emir memanggilnya. Dia duduk di depan Emir dan memberikan laporan terkait beberapa profil politikus yang terkenal pada masanya. Siapa pendukungnya, keluarganya, dan hal-hal lain.
“Yang ini cepet banget naiknya?” Emir menarik salah satu alisnya. Dia tertarik dengan pria yang terpampang di laporan ini.
“Bapak bisa lihat gimana caranya dia merintis pak. Relasinya kuat di bagian ini.” Ema menunjuk beberapa point penting. “Kalau prestasi bapak bisa masuk kategori yang dibutuhkan presiden mendatang. Partai politik kita bisa memberikan rekomendasi tentang prestasi Bapak ini. Makin kecil peluang jauhnya dari kriteria, makin besar kemungkinan pengangkatan Bapak.”
“Pengangkatan apa ni?” Ema terkekeh.
“Emangnya Bapak mau di sini aja, jadi DPRD ibukota?”
Emir tersenyum simpul. Dia membaca laporan itu dengan teliti untuk kedua kalinya. “Emangnya kamu berharap saya bisa apa, Ema?”
“Bisa jadi presiden?” Ema tertawa. “Seenggaknya maju ke Kementerian, Pak,” kata Ema serius. “Masa mau gini gini aja. Bapak kan selain favoritnya emak-emak Indonesia juga juara di hatinya para milenial jaman sekarang kalau kata orang mah jadi seleb sosmed. Gantengnya di Ig bikin meleleh, kata kata semangatnya di twitter bikin kagum.”
Emir menaikturunkan jari telunjuknya cepat tepat di dekat wajah Ema. “Kamu terlalu memuji saya Ema.”
Ema tersenyum lebar. Dia berdiri hendak undur diri. “Tolong panggilin Ozy ke sini.”
Jika Ema dipilih karena pengetahuan pada sepak terjang politikus, maka Ozy dipilih oleh Emir karena dia cukup dekat dengan lelaki itu. Dia dulu sangat dekat sewaktu di LBH. Emir menjadi salah satu temannya di pers saat itu.
“Ada apa?” tanya Ozy sembari duduk di depan Emir. Emir membahas mengenai pandangan Ema tadi walaupun merendah, di lubuk hatinya Emir pun ingin mendapatkan hal yang lebih dari sekedar menduduki wilayah kekuasaan DPRD. Jika menjadi menteri, dia bisa lebih berprestasi lagi.
“Yakin?” Emir mengangguk yakin.
“Gampang itu, aku bisa siapin banyak media buat promosiin lebih banyak prestasi kamu. Kamu juga usaha, bikin Presiden selanjutnya ngelirik ke kamu.”
“Kalau itu urusan gampang!”
Emir dan Ozy saling melempar senyum. Mereka berdua saling mengerutkan berbagai poin dan ide cemerlang di otak mereka untuk mewujudkan keberhasilan yang Emir inginkan.
***