Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 12 Nadya Cemburu?

Bab 12 Nadya Cemburu?

Dugaan Radit saat ini masih mengawang. Selama bekerja menjadi detektif, banyak kasus serupa yang berujung orang terdekatlah pelakunya. Saat ini Radit hanya bisa berasumsi, bukti yang ia dapat dari investigasi kemarin tidak bisa menunjuk tertuduhnya apalagi seorang pelaku. Namun, dia yakin akan segera mendapatkan petunjuk lebih untuk menunjuk tersangkanya.

Lelaki tampan itu tengah memainkan bolpoint merah di antara jemari panjangnya. Pualam dingin di bawah membungkus erat telapak kaki Radit, menusukan kedinginan itu hingga tulangnya. Namun, Radit sama sekali tak menghiraukannya. Ia menyesap kembali kopi hitam yang tersaji di meja, sembari mencoret coret kertas dan melihat berkas berkas yang ada.

Satu persatu orang yang berhubungan dengan Zizi—anak yang menjadi korban dalam kasusnya kali ini—ia amati perlahan lahan. Radit meneliti tidak berhenti, dia ingin menemukan minimal satu tertuduh saja hari ini. Sudah menghabiskan waktu berjam-jam, dan dia belum menemukan banyak bukti.

“Astaga!” keluh Radit. Si jangkung itu mengingat kembali dari awal bertemu penjaga rumah, melihat Lula membuka pintu sampai dia kembali ke rumah lagi. Matanya ia pejamkan guna bisa melihat hal yang lebih detil lagi. Tidak boleh ada yang terlewat barang sekuku pun.

“Terakhir Lula yang lihat, kan?” gumamnya sendiri. Dia mengutak atik komputernya dan menemukan data pribadi Lula. napasnya ia hela pelan, Radit membuka satu persatu hal yang berkaitan dengan Lula.

Perempuan muda itu sudah sarjana, tetapi mau bekerja sebagai pengasuh anak. Sudah empat bulan bersama Zizi dan Haikal. Tidak ada keluhan mengenai cara kerjanya, cukup baik. Radit mengangguk anggukan kepalanya.

“Lula ya?”

Dahinya mengkerut ketika satu data menunjukan permasalahan ekonomi keluarga. “Hutang? Sebanyak itu?”

Radit tahu, Lula memiliki masalah ekonomi. Dari data yang ia baca ayahnya terlilit hutang cukup banyak.

Kebanyakan kasus semotif Zizi berujung sang pelaku adalah orang terdekatnya. Radit menyangkut pautkan segala sesuatunya. Dia mengingat wajah girang Lula melihat ketampanan dirinya sampai wajah tegang Lula ketika ditanya mengenai Zizi.

“Baiklah! Lula masuk list!” katanya sembari menuliskan satu nama di nomor pertama. Lula!

Radit tersenyum. Lelaki itu menempatkan satu nama tertuduh saat ini yaitu Lula, walaupun masih tertuduh, Radit berharap secepatnya ia bisa menemukan tersangkanya. Entah itu Lula, atau bukan. Entah itu besok atau tahun depan. Semuanya akan Radit tuntaskan.

Radit bekerja terlalu bersemangat. Seperti biasanya, lampu utama tak dinyalakan, dia tak suka terlalu terang. Membuatnya merasa masih siang benderang. Lampu meja itu menyorot sebagian berkas yang sedang ia teliti. Dengan tekun Radit terus menerus mengamati. Sampai lupa waktu, tengah malam sudah ia lalui.

Dengan tekadnya, dia meninggalkan meja dan segera tidur. Esok pagi menanti untuk semangat yang lebih tinggi.

Sampai pada satu pagi setelah malam panjang itu, Radit terbangun dan bergegas membersihkan diri. Kakinya yang menepuk lantai pualam menggema, memenuhi nada pagi dengan penuh emosi damai.

Radit selesai, dia bercermin meneliti penampilannya, mengambil barang yang ia butuhkan dan keluar dari rumah itu.

“Fighting!” serunya sembari memukul udara. Radit mengendarai mobilnya cukup cepat menuju kantor perwakilan partai politik Emir.

Pemuda itu menjadi sorotan banyak orang terutama kaum hawa, kacamata hitamnya bertengger menambah suasana panas di sana. Tampilannya cukup keren, beberapa yang melihat tersenyum bahagia. Pertanyaan siapa, dari mana, itu sering terdengar mampir di telinga, hanya sekilas saja. Radit tak pernah menangapi perempuan macam itu, merepotkan sekali menurut dia.

“Selamat pagi, Pak Radit!” sapa Satya menjabat tangan Radit. Radit menerimanya singkat, ia dipersilahkan duduk di sofa ruang yang menjadi sekat itu. Di sampingnya ruangan Emir, sebelahnya ada staf kerja.

“Ada kemajuan?” Radit tersenyum enggan menjawab. Dia hanya fokus pada sekeliling kantor ini. Selain baru ditempati, kantornya juga steril dari jejak peculikan. Tidak ada petunjuk tidak ada bukti.

“Ah Satya?”

“Iya, Pak?”

“Bisa beri tahu saya apa yang dikerjakan Pak Emir waktu Zizi menghilang?” tanya Radit cukup serius. Dia menatap dalam langsung ke manik mata Satya. Radit sama sekali tidak memberi peluang lelaki di depannya untuk berbohong. Dia tidak mau ada kesalahan sedikit saja dengan kasus yang ia tangani.

“Bapak sedang rapat untuk kepentingan partainya. Waktu itu Ibu telepon dan ngasih kabar menghilangnya Zizi. Tak tahu waktu dan tempat, Pak Emir meninggalkan rapat dan ke sekolahan Zizi.”

Radit mengangguk mengerti, dia menatap Satya dalam diam kemudian bertanya, “Dulu dia kerja di mana?”

“LBH Nurani, Pak.”

“Sampai sekarang masih berhubungan dengan mereka?”

“Sangat baik hubungan LBH Nurani dengan Pak Emir. Banyak pula orang yang dekat dengannya di sana.”

“Orang yang dekat?”

“Teman dekat Pak Emir, beberapa ada yang ikut bekerja bersama di DPRD ibukota. Emir sendiri yang menunjuknya.”

Radit lagi-lagi mengangguk. “Boleh saya minta alamatnya?”

“Oh, sebentar.” Satya dengan cepat memberikan alamat LBH Nurani pada Radit. Tanpa membuang waktu, lelaki itu menyelesaikan dialog singkatnya dengan Satya. Pikirannya berlarian ke sana ke mari menyimpulkan sesuatu yang sedang kacau itu. Namun, wajahnya menunjukan ketenangan. Tak bisa Radit biarkan orang luar tahu betapa ruwet dan rumitnya pikiran lelaki itu.

Gedung LBH Nurani sudah berdiri di depan Radit. Lelaki itu masuk ke dalam gedung tanpa pikir panjang. Beberapa staf tersenyum ke arahnya. Dia menemukan satu orang yang berada pada lingkaran terdekat Emir. Radit mengetahuinya dari Satya tadi.

Radit berjalan gontai dengan penuh kharismanya itu mendekati perempuan jangkung yang cantik itu. “Selamat siang.” Radit menyapa langsung membuat beberapa perempuan yang sudah ia lewati tak henti menatapnya.

“Siang?”

“Saya udah izin masuk jadi bukan maling.” Entah apa yang Radit lakukan ia pikir itu pernyataan yang cukup penting sebelum dirinya diusir karena tidak diantar ke Ema.

“Ada perlu apa, ya?” tanyanya dengan ramah.

“Ini benar dengan Ema?”

“Iya saya!”

“Ema teman Emir Sulaiman?”

Ema mengangguk. “Saya Radit, detektif yang diutus Bapak Emir untuk menangani kasus putrinya. Boleh saya bicara sebentar?”

Meski terdengar ramah, nyatanya Radit selalu bisa menjaga jarak. Membuat kemisteriusan lelaki itu semakin nyata.

“Silahkan!” Ema menunjuk tempat yang sekiranya cukup nyaman untuk dijadikan tempat ngobrol, dia menyuruh salah satu pelayan di sini untuk membuatkan kopi.

“Tidak sah repot,” kata Radit berkomentar.

“Tidak masalah.’

“Saya di sini hanya mau tahu aja tentang Bapak Emir. Sebelum kasus semakin dalam boleh kan kenalan dulu sama klien saya.”

Ema tertawa, dia tahu secara tak langsung lelaki ini ingin menginterogasi Emir. Walaupun begitu Radit punya cara sendiri agar lawan bicaranya tak bisa berpikir untuk mengalihkan kalimatnya menjadi setengah kebenaran. Semuanya harus tuntas, tidak boleh ada benar yang salah atau salah yang benar. Semuanya harus jelas.

“Jadi dia dulu teman satu universitas dengan Anda?”

“Iya. Emir juga kerja di sini karena saya.”

“Ohh, karena Anda itulah Bapak Emir sungguh berprestasi di dunia politiknya sekarang?” Ema tak menjawab, dia menunduk sembari terkekeh pelan.

“Apa benar?” tanya Radit lagi sembari mendekatkan wajahnya. Ema langsung mendongak, tatapan mereka bertemu, Radit mendominasi. Ia tak mau ada secuil masalah dengan ujaran Ema.

“Iya.”

“Bagaimana dengan sumbangsih istrinya? Ibu Nadya?”

Raut wajahnya tidak suka, Ema baru menunjukan rautnya itu kali ini. Sedari tadi perempuan muda itu terus tersenyum pada Radit.

“Dia cukup kontributif. Tapi ayahnya lebih banyak.” Ema mengangkat bahu. “Kalau dari kacamata saya sih, Bu Nadya lebih fokus sama bisnisnya.”

“Bu Nadya terlalu fokus?” tanya Radit lagi.

Ema menghela napasnya. Tatapannya menerawang mengingat masa lalu. “Dulu saya pernah jadi asistennya Pak Emir di Dewan. Tapi ngga lama.”

“Kenapa?”

“Ya itu .....”

“Apa?” Radit kembali tak mau lepas kontak dengan Ema.

“Dia terlalu cemburu.” Ema terkekeh berusaha menutupi rasa sesak di hatinya. “Cemburunya tingkat dewa, tapi makin ke sini bukannya makin perhatian sama suami, saya lihat makin sibuk aja. Dia sekarang tambah tenar, kan? Emir mana mau diurusin sama orang kaya gitu. Dia ada cewe lain deketin suaminya marah, udah dijauhi malah tambah renggang.” Jawaban Ema terlalu menggebu, ia tak peduli lagi dengan tuturan katanya yang acak-acakan.

Radit tersenyum tipis mengetahui hal ini.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel