Bab 13 Cinta Pertama
Bab 13 Cinta Pertama
Tubuh jangkung lelaki itu disandarkan pada kursi putar meja kerjanya. Radit, pria dengan ketampanan di atas rata-rata sedang meneliti beberapa berkas klien yang tersebar di meja. Hanya ada cahaya temaram dari satu lampu meja yang menyorot langsung sebagian meja. Lampu itu terlalu kecil, sebagian besar sudut ruangan gelap.
Meski pun tidak ada penerangan atau lebih tepatnya Radit sengaja tidak menerangi ruangan ini, dia tetap fokus akan tugasnya. Tidak menghiraukan kekelaman dan kegelapan di belakang.
Sesekali jari telunjuk dan jari tengahnya beradu suara di meja, pertanda Radit sedang berpikir keras dan gemas karena petunjuknya akan segera terbuka.
“Cyah!” serunya sembari menjentikkan jari. Punggungnya ia sandarkan lagi pada sandaran kursi, sengaja diputar singkat sekali. Radit tersenyum lebar.
Radit mengambil ganggang telepon dan mengetikan sesuatu di sana.
“Halo.” Suara dalamnya terdengar menawan.
“Saya ingin berkas-berkas latar belakang Bapak Emir, ah ya! Sekalian dengan track recordnya di dunia bisnis dan politik.”
Jawaban di sana terdengar lirih. Radit mengembalikan ganggang telepon itu pada tempatnya. Dia menautkan ruas jari kanan dengan jari kiri. Radit menarik ulur sembari tersenyum. Dia tengah menunggu sesuatu datang.
Suara email masuk terdengar. Radit membuka emailnya, dia mendekatkan laptop yang sedari tadi mundur karena ruang di depannya terisi penuh kertas kertas.
Satu per satu kalimat ia baca. Bukan hanya latar belakang Emir saja, tetapi juga kisah asmaranya.
Emir Sulaiman merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Kedua adiknya merupakan sosok lelaki yang tumbuh besar bersama Emir di sebuah desa. Keluarga Emir terkenal akan martabat dan ahli ilmu agama.
“Alim dong!” desis Radit dengan berkas yang baru sebagian ia baca.
Adik pertamanya, Yusuf, seorang usahawan yang meneruskan usaha perabot milik ayahnya di Jawa Tengah, sedangkan si bungsu yang bernama Zaki membangun pondok pesantren di kampungnya. Zaki ini membangun pondok pesantren dengan modal utama dari teman teman dan saudara, profilnya menjanjikan. Pemuda yang menjadi adik terakhir Emir Sulaiman itu lulusan Kairo.
“Emir sedikit berbeda dari kedua adiknya,” gumam Radit, ia masih membaca berkas keluarga Emir itu tanpa peduli dengan jam yang hampir mendekati tengah malam.
Emir memang sedikit berbeda, perangai agamanya sudah jauh dari kekuatannya jika dibandingkan dengan Zaki dan Yusuf. Dia lebih mementingkan karir politiknya. Apalagi setelah dirinya dibantu oleh keluarga Nadya dan lebih jauh lagi ketika dia menikah dengan perempuan itu. Dalam waktu tiga bulan Emir memilih Nadya tanpa berpikir jauh tentang keluarganya.
Nadya sendiri pun tidak dekat dengan keluarga Emir. Dia sungguh jauh dan bahkan cenderung tindak memedulikan mertuanya itu. Nadya menganggap apa yang ia punya saat ini adalah dari kekuatan ayahnya. Kekuatan Emir pun didukung penuh oleh ayahnya, jadilah perempuan itu sama sekali tidak menganggap keluarga mertuanya.
Beralih kepada karir Emir. Dulu lelaki itu belajar dunia politik, mendapatkan dukungan dari Malik dan melejitkan nama beberapa tahun silam sampai sekarang. Karirnya dimulai di legislatif tingkat provinsi, kemudian naik menuju Senayan. Saat ini DPR RI bahkan menembakan kaum milenial sebagai target untuk mendukung kebijakan pemerintah. Hal ini selaras dengan prestasi Emir, dia yang pintar dan tampan itu dipastikan menjadi harapan pemerintah untuk memimpinnya.
Pagi harinya, Radit meminta Nadya untuk menemuinya di salah satu kafe. Dia menunggu cukup lama, tampangnya yang tidak biasa saja itu membuat banyak lirikan di berbagai sudut ruangan. Kemeja hitamnya ia gulung sampai siku, hujan sedikit deras di luaran sana tak membuatnya merasa dingin. Dengan santai ia menegakan punggungnya begitu melihat Nadya di ambang pintu.
Nadya tersenyum dan mendekati Radit, dia mengambil duduk di depan lelaki itu.
“Waiters!” panggil Radit. Dia memesan kopi hitam. Nadya memilih asal. Ia sedikit tak memedulikan apa yang ia masukan ke dalam lambungnya akhir-akhir ini.
“Ada apa? ada perkembangan dengan hilangnya Zizi?” tanya Nadya sedikit berharap. Dia mengorbankan jam kerjanya di butik untuk bertemu Radit. Sesuai permintaan lelaki itu, Nadya tak memberi tahu siapa pun terkait pertemuannya kali ini. “Saya bahkan ngga ngasih tahu suami saya sama papa juga.”
Radit sendiri masih diam, ia tak mungkin mengatakan jika ini adalah salah satu dari interogasi yang ia butuhkan untuk menemukan jawaban tersangka berikutnya.
“Bu, saat ini saya belum menemukan pelaku utama dari penculikan Zizi. Namun, saya memiliki banyak hal yang harus saya konfirmasi saat ini.”
“Terus?” tanya Nadya tak membutuhkan informasi itu. Ia hanya ingin perkembangan yang nyata. Zizi putrinya yang lucu itu harus segera ditemukan. Bagaimana pun caranya.
“Saya boleh meminta pendapat ibu tentang hubungan ibu dengan Ema?” tanya Radit langsung pada intinya. Berkas yang ia baca semalam mungkin bisa dijelaskan lebih detil oleh Nadya. Perempuan itu yang selama ini merasakan kehidupan rumah tangga dengan Emir.
“Ema?” gumam Nadya. Rautnya berubah bengis, ia tak suka dengan perempuan itu. Sama seperti Ema, Nadya menunjukan gerak gerik tak sukanya. kedua perempuan itu saling membenci, Radit hanya bisa berdehem menutupi senyumannya. Hubungan yang berkaitan dengan asmara memang membingungkan.
“Kenapa dengan Ema? Dia ada hubungannya dengan Zizi?” tanya Nadya lagi. Nadya hanya berpikir itu tak mungkin. Karena jika target utamanya adalah dia, maka untuk apa Zizi jadi korbannya, Itu akan menyakiti Emir juga.
Radit menggeleng. “Tidak atau belum. Ibu bisa memberi tahukan saja. Saya ingin mendapatkan lebih banyak petunjuk tentang kehidupan Zizi sebelumnya.”
Ndya berpikir sejenak, dia memandang Radit sekilas. Sebelum mulai berbicara, pesanan mereka datang. Radit menyesapnya perlahan dan menunggu perempuan di depannya berbicara.
“Perempuan itu mantannya Emir, dia juga jadi asisten waktu Emir jadi dewan di LBH.”
“Ibu pernah menggertaknya?” tanya Radit. Ema menceritakan bahwa dirinya tak menjadi asisten lagi setelah Nadya memberinya pelajaran.
Nadya hanya tersenyum singkat dan mengangguk. “Dia masih berani menggoda suami saya, penampilannya juga masih cantik. Saya ngga suka sama sikapnya. Digertak dikit juga mundur.”
“Ibu yakin Ema sudah mundur?”
“Belum.” Jawaban pasrah Nadya membuat Radit tahu, perempuan di depannya ini iri dan cenderung tidak percaya diri. Dua sifat ini bercampur dengan egonya yang cukup tinggi. Komunikasi yang tidak terjalin dengan baik tentunya menyebabkan berbagai masalah internal yang cukup serius.
“Mengapa menurut ibu demikian?”
“Dia itu cinta pertamanya Emir. Gimana bisa lupa gitu aja. Saya sangat yakin kedua orang itu saling berhubungan.”
“Jadi menurut ibu, Bapak Emir berselingkuh dengan Ema?”
Nadya hanya diam, tetapi rautnya sudah menunjukan hal yang sebenarnya. Nadya sendiri tak mengerti apa hubungan antara dirinya dengan investigasi yang sedang Radit jalani. Hubungannya dengan Emir memang tidak pernah terjalin dengan baik. Mulai dari Haikal dilahirkan, banyak sekali hal yang menajdi permasalahan keduanya. Nadya semakin benci dengan masalah itu setelah ia tahu cinta pertamanya Emir adalah asisten pribadinya di DPRD dan partnernya di LBH dulu—Ema.
“Bu!” panggil Radit. Nadya yang merenung langsung mendongak.
“Apa?”
“Apakah ibu sering bertengkar di rumah?”
“Cukup sering,” akunya dengan berat.
“Apakah Zizi dekat dengan ibu?” Walaupun dari laporan dan investigasi di awal pertemuannya, ia tahu jika Zizi cenderung muak dengan sikap orang tuanya. Ia tetap bertanya, siapa tahu gadis cilik itu memang bermasalah dengan wanita di depannya saat ini.
“Saya tidak tahu itu dekat atau tidak. Kami berdua sering pulang malam. Kadang saya dulu baru Emir. Kadang kami langsung tidur, atau makan malam dulu baru tidur. Setiap kumpul pasti ada hal yang dipertengkarkan atau kami akan saling diam.”
“Ibu pernah berpikir Zizi merasakan sedih dengan hal ini?”
Kilas balik bayangan Zizi yang meminta disisir muncul. Zizi yang mendekatinya, ingin ia memeluknya. Zizi yang dengan berani masuk ke kamarnya, memintanya mengepang rambut bocah itu. Zizi yang selalu membuat kekesalannya bertambah. Semuanya berputar di kepala, mulai dari tawa, tangisan saat bertengkar dengan Haikal hingga murungnya gadis itu.
“Zizi mungkin kurang perhatian saya, tetapi bocah itu cukup manut dan sayang sama saya.”
Radit mengangguk. Nadya menatapnya, namun tidak bisa menebak isi kepala Detektif itu.
***