Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4

Milan, Italia

Savio baru saja tiba di mansion mamanya tepat pukul 7 malam.

Dengan langkah gontai Savio masuk ke dalam mansion.

"Mama."

Savio memanggil dengan keras kala ia tidak melihat siapapun di lantai satu.

Tanpa banyak bicara Savio langsung naik ke lantai atas kala mendengar suara tawa.

"Ma," panggil Savio sekali lagi yang mana hal itu menarik perhatian para perempuan yang sedang berkumpul dengan mamanya.

"Eh sayang, kamu sudah datang, sini bentar," panggil Erda dengan senyum yang lebar.

Savio dengan wajah yang kesal sontak langsung turun ke lantai satu enggan menghampiri mamanya.

"Savio," Erda langsung mengejar Savio turun ke lantai satu.

"Savio tunggu," panggil Erda dengan tergesa demi mengejar langkah putranya.

Savio dengan jengah berhenti tepat di depan pintu.

"Kamu mau kemana, baru juga datang udah pergi," omel Erda seraya memukul bahu Savio.

"Kenapa mama bohongin Savio? Apa mama tahu seberapa cemas dan takutnya Savio waktu dengar mama sakit? Kenapa ada banyak perempuan di rumah kita?" tanya Savio dengan geram kala ia sudah tahu akan rencana mamanya yang selalu menjodohkan dirinya dengan banyak perempuan pilihan mamanya.

"Dengerin mama dulu, mama emang sakit, tapi mama udah mendingan setelah Lio bawa mama ke rumah sakit tadi sore, karena itu mama ngundang putri teman- teman mama untuk kumpul di sini dan berbincang denganmu, buruan pilih kamu mau yang mana? Sekalian kalian ngedate malam ini, gimana?" Savio langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain seraya menghela napas dengan jengah.

Sampai kapan kontes perjodohan ini akan berakhir.

"Mama enggak capek tiap hari cari perempuan untuk dijodohkan dengan Savio?" Erda dengan senyum lebar menggelengkan kepalanya.

Savio manggut- manggut paham, "Savio tidak akan nikah sampai tua nanti."

Sontak Savio mendapatkan pukulan keras dari mamanya, "Kamu mau jadi bujangan tua? Usia kamu udah 32 tahun, kamu masih tampan dan seksi, banyak wanita di luaran sana yang mau jadi istri kamu, mereka enggak mandang status kamu sebagai duda."

Savio hanya diam dan mendengarkan, ia bahkan sudah hafal dengan ucapan yang keluar dari mulut mamanya karena hampir setiap hari Erda mengatakannya.

"Gimana kalau mama aja yang nikah? Savio enggak keberatan meski harus punya adik lagi di usia yang udah tua ini," dan pukulan bertubi kembali Savio dapatkan dari mamanya.

"Apa kamu sudah gila? Kenapa kamu bersikekeh untuk menduda hingga tua, apa kamu tidak kasihan dengan mama, mama sudah tua, sudah waktunya menimang cucu darimu."

Savio menggaruk kepalanya dengan geram kala ia selalu ditodong cucu setiap harinya bak ditodong anak kecil yang tengah merengek meminta uang.

"Jika kamu tidak mau dengan perempuan pilihan mama, mama bebasin kamu kok untuk pilih wanita yang kamu suka, asal dia benar- benar tulus sayang dan cinta sama kamu."

Savio menghela napas untuk kesekian kalinya membuat Erda dengan geram menendang tulang kering Savio.

"Sakit ma."

"Selama 1 bulan di Swiss, apa yang kamu dapatkan di sana? Kamu pasti bertemu atau saling tukar nomor telepon kan dengan wanita- wanita Swiss? Mama yakin wanita Swiss cantik- cantik dan memiliki kepribadian baik dan elegan, apa satupun tidak ada wanita yang mengajakmu tidur atau sekedar berkenalan?" Savio menelan salivanya kala mendengar pertanyaan mamanya.

Sontak pikiran Savio langsung tertuju pada gadis cantik di club yang mengajaknya tidur layaknya mengajak main anak kecil.

"Kata siapa baik dan elegan, mereka lebih banyak gila dan ganas dari pria," jawab Savio membuat Erda mengernyitkan keningnya bingung.***

Kini Savio sedang berada di clubnya guna menghindar dari acara mamanya.

Selain menghindari hal itu, Savio juga butuh menenangkan diri.

Entah kenapa, dirinya merasa sedikit gundah gelisah.

2 gelas besar berisi alkohol dingin sudah ia habiskan, namun pikirannya masih juga melayang kemana- mana.

Sebenarnya apa yang Savio cemaskan.

"Wah tuan muda kita telah datang."

Savio menghela napas dengan jengah kala melihat teman- temannya datang.

Sepertinya datang ke club adalah pilihan yang salah.

Pasti mereka hanya akan mengganggu Savio.

"Bagaimana kabar anda tuan Savio? Apa anda sudah melihat gambaran wanita seperti apa yang ingin kau nikahi setelah liburan di Swiss?" tanya Lio dengan senyum jahilnya.

"Diam kau!" hentak Savio dengan ketus menggambarkan betapa kesalnya dia dengan kehadiran mereka.

"Yaa, apa kau mengenal wanita Swiss? Bagaimana dengan wanita di sana? Apa lebih cantik dan seksi dengan di sini?" tanya Bendic yang selalu antusias jika menyangkut perihal wanita cantik.

"Apa kau meniduri wanita Swiss? Wajahmu seolah menggambarkan itu dengan jelas."

Savio menelan ludahnya kala tuduhan Ken sangat tepat sekali.

"Aku tidak seperti kalian yang suka tidur dengan banyak wanita."

Sontak Lio dan Bendic begitu riuh kala mendengar hal itu, "Lalu satu- satunya wanita mana yang kau tiduri?" tanya Lio yang begitu antusias sekali.

Savio menyipitkan tatapannya, "Kenapa sikapmu sangat menyebalkan seperti mamaku."

"Tidakkah kau mengerti, aku keturunannya."

Savio kembali menghela napas gusar, "Kenapa kehadiran kalian sangat mengganggu."

"Lalu beritahu kami wanita mana yang membuatmu seputus asa ini? Tidak biasanya kau minum begitu banyak jika tidak ada yang mengganggu pikiranmu," tampaknya Ken menyadari akan perubahan sikap Savio.

Memang sih, dari Bendic dan Lio, hanya Ken yang paling waras.

Savio meletakkan gelasnya dan beralih mengambil sebatang rokok dan pematiknya.

"Aku hanya ingin minum."

Ken hanya tersenyum simpul seolah tidak percaya dengan jawaban Savio.

"Bagaimana dengan wanita Swiss? Kau tertarik dengan salah satu wanita di sana?" Savio diam sejenak hingga kepalanya menggeleng pelan seraya menghembuskan asap rokoknya.

"Mereka sama saja dengan wanita di sini, gila dan agresif."

Lio langsung mendekat pada Savio, "Jika kau tahu mereka gila dan agresif, pasti kau tidur atau hanya sekedar berkenalan kan?" Savio menatap Lio dengan lekat.

"Oh ya, kau tahu Brey pergi ke Swiss untuk menyusulmu?" Savio menggelengkan kepalanya dengan wajah yang bingung.

"Brey? Menyusulku? Untuk apa?" tanya Savio bingung yang mana ia terlihat lupa dengan sesuatu.

"Kau lupa? Kau ada janji tanding dengan Brey untuk minggu depan, ia takut kau menghindarinya, makanya ia datang ke Swiss untuk menjemputmu."

"Cih? Menghindarinya? Panggil dia sekarang kita buktikan siapa yang lebih hebat di antara kita."

Ken hanya bisa menghela napas gusar kala persaingan sengit ini terus berlangsung selama bertahun- tahun.

Mereka adalah musuh rival sejak di bangku kuliah.

Namun kenapa, Ken mencium bau- bau yang tidak sedaap.

Seperti mereka akan berakhir menjadi sepasang kekasih.

Ah memikirkannya saja membuat Ken hampir gila.

Mereka sepertinya sulit untuk akrab.

"Lalu apa dia sudah kembali?" tanya Savio membuat Ken mengedikkan kedua bahunya.

"Dia belum mengabari."

Savio menghisap kuat putung rokoknya, entah kenapa setiap kali seseorang menyebut Swiss pikiran Savio langsung tertuju pada seseorang.

Abaikan saja, setelah ini juga lupa.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel