Ringkasan
"Enghhh hentikan," erang Savio dengan kepala yang mendongak ke atas di mana kedua tangannya memegang pinggang ramping Zoe. Zoe menghentikan sejenak kecupan basahnya pada leher Savio, "Aku tidak peduli dengan usia kita, aku mencintaimu dengan tulus! Aku hanya akan menikah denganmu," pengakuan yang kesekian kalinya Zoe katakan pada Savio. ••• Pertemuan tidak sengaja di Swiss ternyata menumbuhkan rasa pada gadis remaja yang tidak sengaja bertemu dengan Savio di sebuah cafe. 7 tahun berlalu, mereka dipertemukan kembali dengan usia mereka yang sudah semakin matang. Melihat peluang yang besar Zoe terus bergerak tanpa memandang perbedaan usia mereka yang terpaut sangat jauh. Sedangkan Savio sendiri, ia ragu dan bimbang untuk menjalin hubungan dengan Zoe yang lebih pantas menjadi menantunya.
1
Bern, Swiss
Waktu menunjukkan pukul 10 malam dan Savio belum sedikitpun merasa ngantuk.
"Kayaknya ke club ide yang bagus," gumam Savio yang langsung beranjak dari sofa dan menyambar jas hitamnya.
Savio keluar dari hotelnya, menaiki mobilnya untuk pergi ke club yang ada di Bern.
Setibanya di sana, ternyata di luar dugaan Savio, tempat parkirnya sangat penuh.
Dengan santai Savio masuk ke dalam di mana semua mata hampir tertuju ke arah Savio.
Perawakan tinggi dengan penampilan yang maskulin memang membuat diri Savio terlihat berbeda, ia menggambarkan begitu jelas ciri khas pria Italia.
Mata glasial birunya dengan perlahan menyapu lautan manusia yang asyik berjoget ria.
Hingga ia memilih untuk duduk di depan meja bar.
"Berikan satu botol Tequilla!" bartender itu hanya mengangguk dan mengambil pesanan Savio.
Savio kembali mengedarkan pandangannya, hampir semua mata yang menatap dirinya adalah tatapan dari para wanita yang mengagumi rupanya.
Sungguh sangat mengesankan.
"Bagaimana jika mereka tahu usiaku, kurasa mereka akan lari terbirit- birit," gumam Savio kala mengingat usianya sudah tidak lagi muda.
Savio Santino, pria matang pemimpin salah satu perusahaan raksasa di Milan paling terkemuka dengan ciri khas wajah sempurnanya yang selalu menjadi incaran para wanita.
Di usianya yang sudah 32 tahun, ia masih setia dengan kesendiriannya setelah kematian istrinya.
Ya dia duda.
Istrinya meninggal karena mengidap kanker rahim.
Semenjak itu Savio tidak lagi pernah berhubungan dengan wanita.
Ia setia dengan status dudanya selama 5 tahun terakhir ini.
Savio menenggak hingga tandas hanya dengan sekali tenggak tequillanya.
Srek
Savio menoleh, tampak gadis remaja dengan pakaian yang amat sangat terbuka namun masih bisa dibilang aman, menarik kursi di samping Savio.
"Koktail dingin seperti biasa," pesan gadis itu membuat bartender menghela napas pelan.
"Bukankah sudah kubilang, gadis SMA dilarang masuk club. Kau belum cukup umur untuk masuk ke sini apalagi minum. Cepat pulang!" usir bartender itu membuat gadis cantik itu mengerucutkan bibirnya.
Savio tampak tak peduli, ia asyik dengan tequillanya.
"Paman, boleh enggak minta dikit, nanti aku ganti uangnya," Savio menoleh, menaikkan sebelah alisnya.
Gadis itu yang sudah tidak sabar sontak langsung menyambar botol tequilla milik Savio dan menenggaknya langsung dari botol hingga setengah.
Savio menyipitkan tatapannya.
"Nanti kuganti tequillanya!" bisiknya dengan menggemaskan pada Savio.
Savio meletakkan gelasnya, menghela napas dengan pasrah.
"Berikan satu botol tequilla yang baru!" bartender itu hanya mengangguk.
Gadis cantik itu menoleh, mengamati Savio dari samping dengan sangat lekat tanpa sungkan.
Perlahan Savio menoleh kala merasa ditatap.
"Paman bukan orang sini?" Savio menggeleng.
Gadis itu manggut-manggut pelan, "Pria Italia?" tebak gadis itu lagi.
Savio hanya mengangguk tanpa berniat buka suara.
Lama keduanya diam hingga gadis itu kembali buka suara, "Bagaimana jika malam ini paman temani aku tidur?" tawaran yang sangat menggiurkan namun tidak pantas untuk diucapkan oleh gadis remaja sepertinya.
Savio hampir tersedak tequillanya.
Gadis itu hanya terkekeh pelan, "Pasti udah beristri." Savio menoleh menatap gadis itu yang kembali menenggak tequillanya seolah tidak terjadi apapun barusan.
"Saya duda!" gadis itu langsung mengakhiri minumnya, menoleh menatap Savio.
Gadis itu meletakkan botolnya, membasahi sekilas bibirnya sebelum menangkup wajah Savio dan melumat bibir seksi itu dengan beraninya.
"Sepertinya aku jatuh cinta pada paman!"•••
Savio mendorong tubuh gadis itu kala ia terbuai dengan bibir manisnya.
"Kau mabuk. Pulanglah karena esok kau masih sekolah. "
Savio mengusir gadis itu dan beranjak dari meja bar untuk segera pulang.
Jika tidak ia akan hilang kendali karena gadis kecil itu.
Siapa yang tahu jika gadis itu mengikuti Savio pulang.
Savio pikir ia sudah aman setelah pulang.
Setibanya di depan hotel, Savio menghela napas panjang.
"Oh jadi paman tinggal di hotel?" Savio menoleh dengan sangat terkejut.
"Kau mengikutiku?" gadis itu mengangguk dengan mantap.
Savio menghela napas dengan berat seraya memijat pelipisnya.
"Pulanglah! Kau masih harus sekolah besok," usir Savio seraya masuk ke dalam lobi.
Bukannya pergi gadis itu terus berjalan di belakang Savio dengan bibir yang tidak hentinya tersenyum.
Savio berhenti mendadak membuat gadis cantik itu menabrak punggung kekar Savio.
"Kenapa berhenti? Ayo naik dan kita bisa bercinta dengan puas."
Savio langsung berbalik dan membungkam bibir gadis itu kala ia mengucapkannya sedikit keras.
Beberapa mata penghuni hotel yang baru saja pulang menatap mereka berdua dengan sedikit heran juga manis.
Seperti om- om dan baby sugarnya.
Savio melepas bungkaman pada mulut gadis itu dengan tatapan yang garang.
"Cepat pulang! Aku tidak ingin bermain denganmu," usir Savio untuk kesekian kalinya.
Gadis itu menggelengkan kepalanya.
Savio mengacak- acak rambutnya dengan gusar lalu melanjutkan langkahnya dengan cepat menuju lift.
"Sayang kenapa kau meninggalkan istrimu yang sedang hamil?" teriak gadis itu dengan keras seraya memegangi perutnya.
Savio berbalik dan mendapati beberapa perempuan menghampiri gadis itu lalu menatap horor dirinya.
"Shit.Apa yang ia lakukan?" umpat Savio kala beberapa perempuan itu mendatanginya.
"Aku akan melaporkanmu pada polisi jika tidak bersikap baik pada istrimu. Dia sedang mengandung, bersikap baiklah padanya, polisi di negara Swiss selalu mengutamakan kesejahteraan masyarakatnya, dia bisa menangkapmu dengan tuduhan tidak bertanggung jawab atas istri."
Savio membuka sedikit mulutnya, tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
Savio menatap garang gadis itu yang tampak melengkungkan senyumnya.
"Aku akan menelpon jika kau tidak segera berlaku baik?" ancam perempuan itu pada Savio.
Savio memalingkan mukanya seraya mengumpat.
Tidak ingin masalah semakin rumit Savio dengan terpaksa menarik tangan gadis itu untuk ikut bersamanya.
"Kau tidak membopongnya?" Savio sedikit melebarkan kedua matanya tidak percaya dengan ucapan perempuan itu.
"Dia... "
"Ah tidak usah berlebihan, kalian tahu sendiri, usianya sudah tidak lagi muda dan berat badanku semakin bertambah seiring sedang mengandung. Aku bisa berjalan sendiri."
Gadis itu mencoba mencari alibi meski ia ingin sekali dibopong oleh Savio.
Savio memalingkan wajahnya dengan rahang yang ia ketatkan.
Dengan terpaksa ia membopong gadis itu dan berjalan menuju lift.
"Wah paman membopongku? Aku tidak percaya ini."
Savio menekan tombol liftnya, "Setelah ini aku akan membuangmu."
Gadis itu dengan cepat memeluk leher Savio.
Savio menelan salivanya kala merasakan hembusan napas gadis tersebut.
Dengan berat Savio masuk ke dalam lift, di mana ia masih melihat beberapa perempuan tadi menatapnya dengan garang.
"Cih bahkan mereka terlihat lebih garang dari polisi," gumam Savio sebelum pintu liftnya tertutup.
Tanpa sadar Savio tidak menurunkan gadis itu meski mereka sudah tidak terlihat lagi oleh beberapa perempuan tadi.
Ting
Savio keluar dari lift, menurunkan gadis itu.
"Sudah turunlah! Aku ingin tidur."
Savio berjalan ke lorong kanan di mana ia hendak masuk ke dalam kamarnya.
Bukannya turun ke bawah gadis itu masih mengikuti Savio.
Savio menghela napas pelan kala ia sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
"Berikan aku tumpangan untuk ke toilet," mohon gadis itu kala ia mendapat tatapan horor dari Savio.
"Di lobi ada toilet," bohong Savio.
Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan.
"Hanya sebentar setelah itu aku pulang," gadis itu masih terus mendesak Savio.
Tidak ingin semakin panjang, dengan terpaksa Savio membuka pintu kamarnya dan mengizinkan gadis itu masuk.
Disaat keduanya masuk, tampak seseorang memotret keduanya.
"Mampus kau, aku akan memberitahu eyang."