Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3

•••

Savio bangun kala ia merasakan silau pada wajahnya.

Beberapa kali ia mengerjapkan kedua matanya, hingga terbuka sempurna kala mengingat sesuatu.

Dengan cepat Savio bangun dan melihat sampingnya.

Kosong.

"Kuharap semalam hanya mimpi," harapnya dengan bodohnya.

Harapan itu pupus kala ia melihat bajunya dan berserakan di lantai.

Savio menyibak selimut yang menggulung tubuhnya.

Telanjang.

Dengan cepat Savio kembali menyelimuti dirinya seraya melihat kanan kiri dengan malu.

Savio mengedarkan pandangannya, mencari sosok yang semalam menyeretnya ke atas ranjang.

Ting

Savio meraih ponselnya masih dengan rasa penasaran.

, ..

-

Savio dengan cepat melempar ponselnya ke sembarang arah.

Menggelengkan kepalanya dengan keras.

"Ini mual karena belum sarapan atau barusan baca pesan?" gumam Savio yang merasa geli dengan isi pesan dari gadis tersebut.

Tunggu dari mana ia tahu nomor Savio?

"Cih, ia bahkan pergi lebih dulu sebelum aku bangun?" gumam Savio sembari memakai kembali semua pakaiannya.

"Kenapa sejak mengenal dia duniaku terasa terbalik? Kini aku terlihat sangat menyedihkan."

Savio lalu keluar dari kamar untuk sarapan dan menyeduh kopi guna menghilangkan rasa kesalnya.

"Kenapa tidak sekalian ia meninggalkan uang untukku, mungkin lengkap sudah rasa maluku saat ini," tambah Savio yang tak hentinya mendumel karena gadis cantik yang menarik perhatiannya tersebut.

•••

Sedangkan di mansion mewah nan megah bak istana kerajaan, ada Zoe yang tengah mondar-mandir di depan pintu.

Sudah hampir 2 menitan ia tak juga masuk ke dalam.

Ia terlihat gelisah dan begitu cemas karena semalam ia tidak pulang.

"Gimana kalau eyang marah ya?" gumam Zoe seraya menggigit jari telunjuknya.

Tidak lama mobil sport merah berhenti tepat di depan teras.

Zoe langsung mengalihkan tatapannya dan berusaha untuk mengontrol raut wajahnya saat ini.

"Zoe kenapa di luar?" tanya Zeno, kakak nomor tiga, pemimpin anak cabang dari Perusahaan Zamer Company.

"Enggak ada," jawab Zoe sembari membuka pintunya.

Zoe memejamkan matanya sekilas kala melihat Eyangnya duduk di ruang tamu, tampak sedang menunggu dirinya.

Dan jangan lupakan cucu yang lainnya, tatapan mereka seolah ingin membunuh Zoe.

"Eyang," panggil Zoe dengan suara yang sedikit bergetar.

Wuta memberikan isyarat agar Zoe duduk.

Zoe langsung duduk berhadapan dengan Wuta.

Tadinya Zoe sangat bersemangat untuk pulang agar ia bisa memberitahu Eyangnya tentang apa yang sedang ia lakukan semalam.

Tapi dirinya lupa jika hari ini hari minggu, di mana semua kakaknya berada di rumah.

"Semalam kamu tidak pulang?" Zoe langsung mengangguk tanpa memberikan alasan apapun apalagi mengelak.

Zergia terlihat menyimpulkan senyum sumringahnya kala bom waktu yang ia tunggu akan meledak dengan sangat hebat setelah ini.

Wuta menatap lekat Zoe, "Ada yang ingin kamu katakan?" Zoe mengangguk membuat Wuta mempersilahkan.

"Semalam Zoe tidur dengan pria di hotel, Zoe juga masuk club dan mabuk- mabukkan, dan semua itu menggunakan uang yang eyang berikan. Dan yang lebih penting," Zoe menjeda ucapannya kala hal paling penting yang menjadi bom waktu untuk saat ini seolah tersendat di tenggorokannya.

Semuanya menatap Zoe dengan penuh penasaran kecuali Zergia dan Wuta.

Seolah mereka tahu apa yang akan keluar dari mulut Zoe.

"Zoe menyerahkan keperawanan Zoe pada seorang pria dewasa."

Kata itu meluncur dari mulut Zoe dengan sangat lancar dan cepat.

Zeno dan Zeta terlihat membulatkan kedua matanya dengan terkejut.

Zergia terlihat begitu sumringah dan menatap Wuta dengan penuh keyakinan di mana Zergia yakin bom waktu akan segera meledak setelah ini.

Wuta melemparkan beberapa lembar foto ke atas meja.

"Apa itu prianya?" Zoe langsung meraih beberapa lembar foto tersebut.

Terlihat potret dirinya dengan Savio di depan pintu kamar hotel.

Argh kenapa dia terlihat seksi dan tampan saat di foto, batin Zoe mengagumi Savio.

"Zoe?" Wuta memanggil membuat Zoe mendongak.

"Ya eyang, dia yang tidur semalam dengan Zoe," Zoe menoleh kala Zeno merebut beberapa lembar foto tersebut.

"Apa kamu sudah gila? Dia sangat tua sekali, apa kamu tidak malu nanti saat menikah dengannya? Semua orang akan beranggapan jika dia papamu."

Zoe tersenyum tipis, "Tapi aku mencintainya."

Ucapan yang klise namun terdengar tulus.

Wuta yang melihat pengakuan Zoe tampak melengkungkan bibirnya.

Dan hal itu tidak lepas dari pandangan Zergia.

Kenapa eyang tidak marah? batin Zergia dalam hati.

"Cari dia dan bawa ke sini. Eyang mau bicara," Zoe langsung menatap Wuta dengan terkejut.

"Bawa ke sini?" Wuta mengangguk dengan santai.

Zoe terlihat gelagapan saat ini.

Kenapa rencananya tidak berjalan lancar?

"Eyang tidak mengusirku? Aku sudah membuat malu nama besar keluarga ini? Aku tidak lagi perawan, bagaimana jika semua orang tahu? Lagian pria itu juga bukan asli warga sini," ujar Zoe dengan begitu menggebu.

Wuta menyandarkan punggungnya di sofa menatap Zoe dengan lekat, "Kenapa harus mengusirmu? Ini yang eyang tunggu, cucu darimu. Tidak penting untuk masalah yang lain."

Zoe dan yang lain benar- benar syok dengan ungkapan Wuta.

Shit, niat hati pengin diusir dari rumah ini malah ditodong cucu, batin Zoe yang merutuki kebodohannya karena rencana tololnya.

Wuta langsung beranjak dari sofa namun sebelum pergi ia kembali berpesan pada Zoe, "Tolong bawa dia malam ini. Eyang mau bicara serius dengannya."

Zoe menatap Wuta yang melenggang pergi begitu saja.

Ia benar-benar tidak tahu jika semua akan serumit ini.

Lalu foto ini, siapa yang memberikannya pada eyang?•••

Kini Zoe sudah berada di hotel tempat Savio menginap.

Namun sejak tadi Zoe hanya berdiri di depan pintu kamar hotel Savio tanpa berani mengetuk pintunya.

"Gimana ya cara ngomongnya?" gumam Zoe dengan was- was.

Zoe beberapa kali menyugar rambutnya ke belakang, menggigit jari telunjuknya, seraya bergumam sendiri.

"Halah persetan dengan ditolak. Niatku hanya ingin Eyang mengusirku dari mansion."

Akhirnya Zoe memberanikan diri mengetuk pintu kamarnya.

Tidak lama pintu terbuka, namun bukan Savio.

"Ya, cari siapa?" tanya pria paruh baya itu.

Zoe sedikit gelagapan karena ia lupa tidak menanyakan siapa namanya.

"Apa penghuni sebelumnya sudah pergi?" pria itu hanya mengangguk membuat Zoe hanya bisa menghela napas gusar.

Sepertinya usai sudah semuanya.

Siapa sangka rencananya berakhir berantakan seperti ini.

Bagaimana cara Zoe mengatakan pada eyangnya.

Zoe yakin Wuta tidak akan percaya dengan apa yang ia katakan.

Zoe berjalan menuju lift dengan segala kecemasan serta kegelisahannya.

"Aku mungkin bisa saja mengetahui identitasnya, tapi bagaimana jika dia," Zoe menjeda sejenak ucapannya.

"Sudah memiliki istri, meminta pertanggungjawaban darinya sepertinya juga akan percuma saja. Niat awal kan enggak kayak gini, ini kenapa jadi runyam gini sih," gumam Zoe yang benar-benar tidak tahu kenapa semua bisa serumit ini.

Zoe keluar dari lobi dengan segala rasa gelisah dalam dirinya.

Bukan gelisah karena Savio pergi dan Zoe bingung dengan pertanggungjawabannya, melainkan gelisah karena Zoe harus mencari pria lain untuk ia bawa ke mansion malam ini.

"Bangsat, kenapa rumit banget sih."

Zoe terus mengumpat, menggerutu dan mengomel sepanjang lobi.

Helaan napas kasar tampak keluar dari mulut Zoe, ia memandangi mobil sport hitamnya.

"Masak iya harus kususul ke MIlan," gumam Zoe bertanya pada dirinya sendiri.

Zoe menggelengkan kepalanya keras, "Itu hanya akan membuatku semakin malu dengan pria Milan itu, bisa- bisa aku dibunuh oleh istri sahnya," ujar Zoe yang mengurungkan niatnya untuk menyusul Savio ke Milan.

"Bangsat, sekarang pria mana lagi yang harus kurayu," ujar Zoe seraya menendangi ban mobilnya dengan kesal kala rencananya tidak semulus yang ia pikirkan.

CIT

Zoe menoleh, tampak mobil bugatti berhenti tepat di belakang mobilnya.

Pria tinggi dengan postur yang kekar nan seksi, di mana menggambarkan dirinya yang begitu maskulin tampak keluar dari mobilnya.

Tatapan keduanya saling bertemu, namun hanya sekilas sebelum pria itu masuk ke dalam lobi.

"Lumayan juga tuh pria," gumam Zoe yang sudah merencanakan sesuatu kala kali pertama melihat pria barusan.

Senyum jahil tampak terbit dari bibir Zoe, "Meski enggak seseksi dan setampan pria kemarin, sepertinya pria ini lumayan juga."

Zoe segera kembali masuk ke dalam hotel untuk menemukan pria barusan.

Beruntung sekali Zoe kala pria itu masih berdiri di depan meja resepsionis dengan pengawal di belakangnya.

Terlihat pria itu tengah mengangkat telepon.

Zoe dengan setia menunggunya dengan sabar demi bisa mendapatkan mangsa untuk malam ini.

"Tapi gimana kalau eyang sadar jika pria yang bersamaku berbeda? Ah sepertinya itu tidak masalah, eyang hanya memedulikan soal cucu bukan?" gumam Zoe dengan dirinya sendiri.

"Ah aku bisa mengatakan jika pria kemarin sudah beristri dan aku akan membayar pria ini untuk menjadi kekasih bayaranku," gumam Zoe dengan yakin jika pria yang ia incar ini akan bisa ia dapatkan.

Pria itu berbalik setelah selesai menerima telepon.

Dengan cepat Zoe menghadang jalannya seraya melemparkan senyum manis dan selebar jalan raya.

"Anda mau enggak jadi kekasih bayaran saya?" tanya Zoe dengan gamblang dan to the point tanpa basa- basi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel