5
***
"Wah jadi kau seorang snooker? Hebat sekali."
Puji Zoe bertepuk tangan membuat pria tampan itu mengulas senyumnya dengan tersanjung.
"Itu hanya sekedar hobi, aku senang melakukannya untuk mengisi waktu luang."
Zoe hanya manggut- manggut seraya menyeruput milkshakenya.
"Jadi bagaimana, kau menerima tawaranku?" tanya Zoe ingin tahu titik terangnya setelah mengobrol lama dengan pria Milan di depannya ini.
Pria itu menatap Zoe dengan lekat, "Bagaimana cara menjelaskannya, aku takut rencanamu akan gagal di tengah jalan."
Zoe menggelengkan kepalanya pelan, "Percaya denganku, semua akan berjalan dengan lancar."
Pria itu kembali menyunggingkan senyum manisnya.
"Kenapa kau sangat ingin sekali diusir dari rumahmu sendiri?" tanya pria itu penasaran.
"Setelah menerima tawaranku, aku akan memberitahumu dengan detail semuanya, sekarang aku sangat membutuhkanmu."
Pria itu manggut- manggut pelan.
"Lalu peranku jadi apa?" tanya pria itu.
Zoe terlihat sumringah kala ia mendapatkan lampu hijau dari tawaran yang ia berikan pada pria itu, "Hanya menjadi kekasih pura- puraku, kau hanya perlu mengatakan akan bertanggung jawab atas benih yang ada dalam rahimku, katakan pada eyangku nanti jika kamu akan menikahiku. Jika kau mau, aku akan membayarmu berapapun yang kau minta, bagaimana?" pria itu lagi- lagi tersenyum tidak percaya mendengar tawaran yang Zoe berikan.
Entah kenapa ia sangat jarang menemui perempuan seperti Zoe.
"Oke deal," pria itu mengulurkan tangannya pada Zoe.
Zoe dengan senang hati menjabat tangan pria itu di mana kesepakatan telah terjadi.
***
Di sinilah mereka berdua sekarang, di kediaman Wuta.
Hanya ada mereka bertiga di ruang tengah di mana suasana menjadi hening, atmosfer semakin menipis dan keadaan menjadi sangat dingin dan formal.
"Siapa namamu? Dan apa pekerjaanmu?" tanya Wuta dengan dingin dan datar.
"Brey Harcky, saya seorang snooker juga memimpin salah satu perusahaan ternama nomor 5 di kota Milan," jelas Brey dengan ramah dan tak lupa dengan senyum manisnya.
Wuta meneliti penampilan Brey dari atas hingga bawah.
"Kenapa tidak sama dengan yang kemarin?" tanya Wuta pada Zoe.
Zoe memperlihatkan gigi putihnya dan jangan lupakan tangan yang sejak tadi bergelayut manja di lengan Brey.
"Ternyata dia sudah punya istri eyang, jadi Zoe kembali lagi dengan Brey, dia mantan Zoe baru putus 3 bulan yang lalu," jelas Zoe dengan lancarnya dalam berbohong pada eyangnya.
Brey hampir tersedak dengan air liurnya sendiri mendengar tuturan Zoe.
Wuta hanya diam dan masih mengamati hingga ia membuka suara, "Berapa banyak kau dibayar oleh cucuku untuk menjadi kekasih pura- puranya?" tanya Wuta dengan tepat membuat Brey dan Zoe saling menatap satu sama lain sekilas.
"Maaf eyang, saya tidak dibayar sepeserpun oleh Zoe, saya memang mantannya dulu. Dan saya bersedia untuk bertanggung jawab atas benih yang ada dalam rahim Zoe," Brey berbicara dengan begitu jelas dan tegas membuat Zoe merasa senang kala Brey bisa diandalkan.
"Kalau begitu nikahi cucuku sekarang juga, bagaimana?" tawari Wuta dengan tiba- tiba.
"Sekarang?" kaget Brey membulatkan kedua matanya terkejut.
Wuta langsung beranjak dari sofa, melemparkan tumpukan kertas kecil, "Tuliskan nominalnya sendiri, lalu tinggalkan cucuku."
Brey menatap kertas cek di depannya.
"Dan kamu Zoe, jangan bermimpi bisa keluar dari rumah ini sebelum menemukan pria yang kemarin kamu temui di hotel!" Wuta lalu melenggang pergi begitu saja meninggalkan mereka berdua di ruang tamu.
Zoe membuka mulutnya tidak percaya kala mendengar penuturan eyangnya.
Semua rencananya gagal saat ini.
Bagaimana ini?
•••
Kini Brey dan Zoe berada di cafe setelah mereka menemui Wuta tadi.
"Apa kau sungguh tidak bisa menikah pura- pura denganku? Atau tidak setelah mengucap janji suci, kau langsung menceraikanku malamnya?" Brey menyipitkan tatapannya penuh dengan rasa penasaran mendengar permintaan Zoe yang sangat konyol.
"Apa yang membuatmu begitu kekeh dan sangat ingin sekali keluar dari rumahmu sendiri hingga kau menghalalkan segala cara? Pernikahan ini bukanlah permainan."
Zoe menghela napas kala ia tidak bisa membujuk Brey.
"Kau pasti tidak paham, ini sangat rumit, dan aku membenci kehidupanku dalam sangkar emas ini."
Brey memandangi lekat Zoe dengan banyak pertanyaan di dalam pikirannya.
"Lalu bagaimana dengan pria yang disebutkan eyangmu tadi? Apa kau tidak tahu siapa namanya? Atau mungkin asalnya?" tanya Brey mencoba membantu Zoe karena ia tidak bisa melakukan pernikahan pura- pura itu.
Zoe menghela napas lagi untuk kesekian kalinya.
"Aku bisa saja mencarinya dengan mudah. Tapi akan lebih rumit jika ia sudah memiliki keluarga. Aku tidak mau menjadi perusak hubungan orang lain. "
Brey manggut-manggut paham dengan maksud Zoe.
"Lalu sekarang kau akan bagaimana?" tanya Brey ingin tahu.
Zoe kembali menyeruput minumannya.
"Apalagi, kembali menjadi cucu yang penurut."
Brey menatap Zoe dengan sedikit iba namun ia sendiri juga tidak bisa membantunya.
"Lalu benih yang kau bicarakan?" Zoe menatap Brey dengan wajah yang sedikit sendu.
"Aku bisa mengurusnya sendiri."
Zoe langsung beranjak dari kursinya.
"Mungkin pertemuan kita berakhir di sini. Jika lain waktu kau pergi main ke sini jangan lupa untuk memanggilku makan bersama. Aku punya hutang padamu, nanti akan ku traktir kau makanan yang banyak."
Zoe langsung menyambar tasnya hendak pergi.
"Tidak bisakah kita menjadi teman?" Zoe mengangguk seraya menyodorkan ponselnya.
"Berikan nomor teleponmu!" Brey langsung mengetikkan nomor teleponnya.
Setelah selesai Zoe langsung pergi meninggalkan Cafe.
Brey hanya bisa menghela napas seraya tersenyum tipis.
"Rasanya sedikit konyol dengan apa yang kualami. Niat hati cari Savio malah berakhir diajak nikah sama wanita Swiss," gumam Brey heran.
Brey segera beranjak dari duduknya karena ia harus kembali ke Milan untuk persiapan pertandingannya.
"Cantik sih tapi aku masih belum mau menikah sebelum mengalahkan Savio," gumam Brey yang masih memegang teguh prinsipnya.
Sepertinya benar kata Ken jika permusuhan mereka mungkin akan berlanjut hingga tua nanti.
Pasalnya selalu ada bahan yang mereka ributkan.
Entah sepele atau masalah yang berat.
•••
2 minggu kemudian
Pertandingan snooker telah di mulai, di mana peserta lomba dari penjuru kota datang untuk memenangkan penghargaan akhir tahun ini.
Salah satunya Savio dan Brey, yang menjadi peserta lomba dalam nomor urut 01 sekaligus pembuka pertandingan snooker.
Keduanya sudah siap dengan stik di tangan masing-masing dan jangan lupakan penampilan menawan nan maskulin mereka yang membuat suasana pertandingan menjadi semakin riuh dan heboh yang lebih banyak di penuhi kaum hawa dibanding pria kala melihat keduanya bersatu.
Bisa dikatakan keduanya adalah pilar kehidupan kota Milan.
Namun tahta tertinggi masih dimenangkan oleh Savio.
Yang artinya Brey berada di nomor urut dua.
"Andai aku bisa mengalahkanmu tahun lalu, mungkin kemarin aku sudah menikah dengan wanita Swiss. Sayangnya Tuhan masih ingin mengujiku untuk bertanding denganmu, akan ku perlihatkan semua kemampuanku untuk mendapatkan penghargaan akhir tahun ini," Savio yang mendengar hal itu hanya tersenyum miring seraya menggosok ujung stiknya dengan kiu.
"Lalu aku akan membuatmu melajang hingga tua!" sarkas Savio yang langsung bersiap melakukan pertandingan.