6 // Yue Han... Senior Yue Liang.
Xu Rong Pelayan pemberian Kaisar Lin, tetapi perihal mengabdikan dirinya pada Bai Anhe jangan lagi ditanya.
Hari itu… karena khawatir Bai Anhe tidak makan, Xu Rong membawakan makanan ke penjara bawah tanah.
Faktanya dia tak mendapat izin!
Mengetahui tindakannya, Nenek Permaisuri mengirim utusan menghukumnya.
Tepat di bawah pohon fir, Xu Rong dicambuk sebanyak sepuluh kali.
Karena Bai Anhe tidak disukai Nenek Permaisuri, tak satupun Pelayan kediaman mampu menolong Xu Rong.
Usai mendapat 10 cambukan, Xu Rong jatuh tak sadarkan diri.
Bersyukur, tabib bersedia datang serta mengobatinya.
Hanya saja… dia tersadar larut malam. Lalu, karena hujan besar dia kembali mengkhawatirkan Bai Anhe. Jadi tanpa pikir panjang kembali mendatangi penjara bawah tanah guna membawakan mantel.
Meski mengalami hal pahit seperti demikian, Xu Rong tak rela membaginya dengan Bai Anhe, pun sampai sekarang.
"Masih tidak ingin mengaku?" Sembari membubuhkan obat tabur ke bekas cambukan Xu Rong, Bai Anhe bertanya tenang tapi menyelidik.
Kepala Xu Rong tertunduk.
Bai Anhe memperhatikan penampilan wajahnya dari balik cermin perunggu lantas menghela napas berat.
"Baru beberapa saat Ratu Bai membubuhkan obat tabur ini, tetapi luka hamba sudah begitu ringan tanpa perih menyiksa," aku Xu Rong.
Bai Anhe bergeming.
"Ratu Bai pula yang mengeluarkan racun di tubuh Kaisar Lin, ini… mungkinkan ini kebetulan atau memang…" Xu Rong memiliki kecurigaan, ya sebatas kecurigaan.
"Keluargaku melatih teknik pengobatan, serta pembuatan berbagai jenis obat, racun sekaligus penawar," terang Bai Anhe, "keahlian itu tidak terkenal di kalangan luas tapi jika kamu bertanya pada tetangga kami, mereka akan membenarkan."
Xu Rong mengangguk paham.
Bai Anhe menyelesaikan bubuhan terakhir kemudian membantunya mengenakan pakaian lengkap seperti sedia kala.
Setiap gerakannya lembut dan ringan.
Xu Rong meyakini, Bai Anhe termasuk anak gadis yang disayang, dimanjakan namun tetap belajar pengetahuan tanpa batas.
"Terima kasih, Ratu Bai."
Bai Anhe tak merespon. Dia dengan langkah anggun melenggang pergi.
***
Seekor burung gagak mengaok di siang hari.
Pria berpakaian hitam serta bertopi hitam senada di tengah jalur hutan bambu menghentikan langkah.
Pria itu menengadah.
Burung gagak berputar-putar di atas sana namun berakhir bertengger usai pria serba hitam tersebut mengulurkan tangannya ke sisi.
Sebuah surat kecil tersemat secara apik pada kaki burung.
Pria serba hitam tadi lekas mengambil alih, sekaligus membacanya tanpa ekspresi.
Kaok! Kaok!
Burung gagak kembali terbang, berputar-putar di atas kepala sebelum menghilang menyisakan suara samar.
"Kaisar Lin berhasil diselamatkan."
Di hadapan sosok memunggungi yang tinggi dan berambut seluruhnya putih, pria serba hitam tersebut melapor.
"Bodoh." Satu kata keluar dari mulut pria berambut putih.
Pria serba hitam melangkah mundur. Niatnya berbalik pergi. Akan tetapi…
"Sudah memasuki tiga musim semi, kabar si seribu nama belum juga kamu dapat."
Langkah pria serba hitam menggantung. Niatnya pergi terurungkan sesaat. "Aku terus mencarinya."
"Di antara kalian bertiga, dia yang paling mematikan dan mengetahui banyak hal, jika orang lain berhasil mengendalikannya, kamu yang merekrut bertanggung jawab penuh!" Nada pria berambut putih mengecam.
"Aku… Yue Han, berjanji tidak membuatnya dikendalikan siapapun!"
Yue Han… nama pria serba hitam tersebut. Juga merupakan senior Yue Liang, bersama dua pembunuh lain. Yakni Yue Hong dan si seribu nama.
Seribu nama… setiap bertugas memiliki nama berbeda-beda. Tak seorang pun mengetahui nama aslinya kecuali Yue Han seorang.
Setelah berucap meyakinkan, Yue Han melanjutkan langkah. Lebar dan pasti, dalam sekejap hilang ditelan kegelapan.
***
Nalan Haishi menyajikan setiap makanan yang dibawanya dari kediaman.
Aroma makanan menguar, membuat perut siapapun memanggil-manggil minta diisi.
Detik ini, Kaisar Lin memandang semua itu dengan mata cemerlang. Namun, tatkala sumpitnya terangkat hampir mencicip, Kasim sepuh bergegas menghalau.
"Yang Mulia Agung."
Sumpit berakhir menggantung di udara.
Kaisar Lin paham maksud Kasim sepuh, begitu pula dengan Nalan Haishi.
Nalan Haishi mengulum senyum. Pada wajahnya yang bulat nan manis tak membosankan, tak tampak perasaan tersinggung sedikitpun.
Wanita itu justru mengambil sumpit baru, serta mengambil satu bagian di setiap makanan yang dibawanya.
Semua ditumpuk dalam satu piring lantas dimakan satu persatu tanpa mengurangi wajah ramah tamah penuh senyuman.
Pandangan Kasim sepuh tertuju hio di belakang sana. Hingga hio habis terbakar, barulah Kasim sepuh mengizinkan.
"Silakan, Yang Mulia."
Kaisar Lin menikmati satu persatu makanan. Karena seluruhnya enak, dia makan lebih banyak dari biasanya.
"Melihat Yang Mulia lahap seperti saat ini, itu berarti Yang Mulia telah sepenuhnya pulih," celetuk Nalan Haishi.
Kaisar Lin manggut-manggut. "Benar, semua berkat Ratu Bai."
"Ratu Bai hebat, hanya Putri seorang pedagang biasa tapi memiliki keahlian setara tabib kelas atas." Nalan Haishi sengaja menyinggung.
Wanita itu mendorong orang lain mencurigai Bai Anhe. Dan berkat kata-katanya, tatapan Kasim sepuh menjadi awas!