5 // Kecantikan dan Keberuntungannya Membuat Iri.
Mendengar pengakuan Bai Anhe sempat dikurung di penjara bawah tanah sekaligus berhasil ke luar setelah membujuk Sipir, Kemarahan seketika memenuhi dada Kaisar Lin.
"Apa-apaan ini?"
Kaisar Lin tanpa ragu mengirim Prajurit menuju istana pribadi Nenek Permaisuri.
"Nenek Permaisuri bertindak sembrono! Hampir merugikan nyawa orang lain, serta tidak berperasaan. Sebagai renungan, selama satu pekan menjadi tahanan rumah. Tidak boleh ke luar, tidak boleh bertemu siapapun!"
Dekrit dibacakan Kasim sepuh. Setelahnya gerbang istana pribadi Nenek Permaisuri dikunci, serta dijaga ketat dari luar.
"Huaa… Lin Yi! Kamu cucu kesayanganku! Bagaimana bisa demi wanita asing menjadi sekejam ini!"
Setelah menerima hukuman, Nenek Permaisuri menangis sepanjang waktu. Pelayan-pelayan di sampingnya tidak banyak berbuat, hanya mampu membujuk serta menenangkan.
***
"Hebat!" Nalan Haishi bertepuk tangan tersenyum lebar.
"Semua orang di negara ini sangat menghormati Nenek Permaisuri, tetapi hanya dengan laporan Bai Anhe, Kaisar Lin sampai mengambil tindakan menghukumnya!" Nalan Haishi berkata tajam.
"Pantas… pantas saja Nenek Permaisuri tidak menyukai wanita itu." Sudut bibir Nalan Haishi terangkat sebelah, iri dan benci berpadu satu menghiasi sorot matanya.
Di lain sisi.
Kendati mengaku membaik sekaligus baik-baik saja, Kaisar Lin tetap tak mengizinkan Bai Anhe kembali kediaman lebih cepat.
Cinta membuatnya buta!
Karena Kaisar Lin masih termasuk muda, serta belum memiliki pengalaman mengenal wanita lebih banyak, beberapa pejabat memaklumi tindakannya sedangkan yang lain hanya bisa bergunjing di belakang.
"Yang Mulia, bubur pesanan anda sudah siap." Kasim sepuh melapor pelan tapi jelas.
Kaisar Lin menyibak tirai.
Kasim sepuh diam-diam melirik. Bai Anhe dilihatnya masih di tempat tidur, terbaring miring dengan tatapan setenang keheningan malam.
"Berikan padaku." Tangan Kaisar Lin terulur.
Kasim sepuh bergegas melangkah maju sejauh satu zhang guna meletakkan semangkuk buburnya di tangan Kaisar.
Begitu bubur dalam genggaman, Kaisar Lin mengaduk-ngaduk perlahan.
Asap pekat membumbung, dan secepatnya meruap bersama udara.
Kasim sepuh belum beranjak.
Kaisar Lin meliriknya pelan, dan sesegera mungkin Kasim sepuh menyadari maksud pria tersebut.
Dengan tubuh sedikit membungkuk, Kasim sepuh melangkah mundur. "Hamba pamit."
Berikutnya, kamar kembali dihuni Kaisar Lin dan Bai Anhe seorang.
"Aku memesan bubur ini khusus untukmu, sekarang makanlah," ujar Kaisar Lin.
Dalam posisinya, Bai Anhe tersenyum lembut lantas berangsur duduk. "Yang Mulia Agung sangat baik."
Dipuji demikian bukan hal biasa di telinga Kaisar Lin tapi bila Bai Anhe yang mengatakan, hatinya bagai dibuat terbang menembus langit ketujuh.
Pria itu tertunduk senyum-senyum.
Sementara Bai Anhe membuka mulut, menerima tiap-tiap suapan sesendok bubur darinya.
"Setelah ini, tolong izinkan aku kembali kediaman, Yang Mulia." Pinta Bai Anhe.
Wajah Kaisar Lin langsung berselimut kecewa. "Kenapa? Kamu tidak betah di sini?"
Sambil tertunduk, Bai Anhe menggeleng pelan. Dia punya sejuta alasan namun tanpa perlu diucap sekalipun, seharusnya Kaisar Lin mengerti.
"Jangan hiraukan omongan orang lain." Setengah berbisik suara Kaisar Lin.
Kepala Bai Anhe terangkat, sepasang mata cemerlangnya berubah redup laksana langit beeawan kelabu.
Kaisar Lin segera meletakkan mangkuk buburnya kemudian menarik wanita itu dalam dekapan.
"Maaf, selama bersamaku orang-orang tak pernah menganggapmu baik."
Bai Anhe mengulurkan tangan, melingkari punggung lebarnya dengan sentuhan lembut.
Lalu, pada sore di hari yang sama, Bai Anhe akhirnya diizinkan kembali kediaman.
Berdasarkan jalur, dia sebetulnya tidak melewati kediaman Nalan Haishi. Tapi takdir membuat mereka saling bersitemu pada jalur di tepi kolam teratai.
Usia mereka sama, orang juga mengenal mereka sebagai sama-sama wanitanya Kaisar. Namun, berdasarkan status Bai Anhe… Nalan Haishi harus memberi hormat lebih dulu.
"Kakak." Hal ini tidak terlewatkan. Nalan Haishi bersikap hormat selayaknya etiket Kekaisaran.
Bai Anhe spontan menahan lengan Nalan Haishi lebih merendah. "Tidak perlu sesopan ini, Adik."
Nalan Haishi melirik tersenyum. "Adik berstatus rendah, tentu lancang jika kurang menghormati Kakak."
Bai Anhe membuat wanita berstatus Selir Agung itu berdiri tegak. Kemudian secara lembut mengambil kelopak bunga pada helaian rambutnya.
"Di dunia harem, kita sama-sama wanitanya Kaisar." Bai Anhe berucap seraya meletakkan kelopak tadi ke telapak tangan Nalan Haishi.
Nalan Haishi reflek melihat ke bawah. Bukannya tertuju pada kelopak bunga, mata wanita itu justru fokus pada tangan lembut dan jari lentik Bai Anhe.
"Permisi." Sebelum terlibat percakapan lebih dalam, Bai Anhe berlalu dengan langkah anggun laksana Dewi.
Nalan Haishi bergeming.
"Nyonya!"
Kalau Pelayannya tidak menegur, mungkin dia akan tetap terpatri di tempat.
"Ah." Nalan Haishi mengerjap, tangan yang semulanya dingin menjadi sedikit menghangat.
"Nyonya sudah melihat wajah Ratu Bai. Benar, bukan? Dia teramat cantik dan lembut." Pelayannya ini bertanya apa memuji.
Sebenarnya… barusan Nalan Haishi dibuat tertegun. Hatinya tak menyangkal kecantikan nan kelembutan Bai Anhe, tetapi dia juga wanitanya Kaisar Lin. Perasaan cemburu dan iri tentulah ada.
"Tidak!" tepis Nalan Haishi, "kecantikannya bisa dibandingkan wanita-wanita lain."
Pelayannya spontan mengerutkan bibir tapi tak mengatakan apapun.
Lantas, perjalanan mereka dilanjutkan. Mengarah aula Yun; istana pribadi Kaisar Lin.
***
"Siapa yang menyiksamu sekejam ini?"
Setibanya di kediaman, Bai Anhe langsung menuju kamar Xu Rong, sekaligus menanggalkan jubahnya dalam sekali gerakan.
"Ratu!"
Langkah Bai Anhe bahkan tak sama sekali disadari!
Xu Rong terkejut, nyaris mencuatkan jantung.
"Jawab aku!"