Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Aku baik-baik saja

Semburat sang surya dipagi hari sudah menerobos melalui sela-sela jendela.

Menyorot memberi sedikit sinar pada wajah seorang gadis yang perlahan mulai membuka mata. Mengucek dengan siku-siku telapak tangan, mengerjap-kerjap hingga bola mata terbuka sempurna.

Menyelipkan anak rambut dibalik daun telinga, Juli kemudian terduduk.

Meregangkan dua lengannya sambil menguap lebar. Begitu selimut tersibak kesamping, Juli menarik kakinya, membawa ketepian ranjang.

Menjulurkan kebawah dan menapakkan kaki berdiri dengan tenaga fajar yang masih belum menyatu sempurna.

"Hoaaam...."

Sekali lagi Juli menguap, menggertakkan tubuhnya kearah kanan dan kiri.

Sebelum beranjak, dua bola mata sayunya menyempatkan diri melihat sisa sobekan beberapa foto yang masih berserakan dimana-mana.

Tidak mau ambil pusing, Juli hanya angkat bahu dengan bibir menipis. Melengos kemudian berlenggak masuk kedalam kamar mandi.

"Kamu, bangunkan Juli," perintah Tesa pada Mara yang sedang mengelap tepian meja.

Diatas meja, tentu saja sudah tersaji berbagai macam menu untuk sarapan pagi.

"Baik, Nyonya." Menaruh lap dirak dapur, kemudian bergegas naik kelantai satu.

"Kamu mau sarapan dengan lauk apa?" tawar Tesa pada sang suami. Dua lengannya menarik kursi kosong, mempersilahkan sang suami untuk duduk.

"Duduklah. Aku ambilkan nasi untukmu."

Jordan mengangguk. Memberi usapan pada pucuk kepala sang istri kemudian duduk.

Didekat mereka, para karyawan yang menyaksikan hal itu hanya mengulum senyum.

Pemandangan ini sebenarnya sudah sering mereka saksikan, hanya saja rasa iri muncul begitu saja saat melihat keromantisan yang masih terjalin di antara majikannya itu.

Tidak peduli dengan para pelayan yang sedang berbisik dibelakang, Tesa hanya fokus mengambilkan sarapan untuk sang suami. Duduk kemudian ikut menikmati sarapan pagi.

sementara ditempat lain …

"Ayah, Aku berangkat dulu." Mencium punggung telapak tangan ayahnya dengan lembut.

Sesaat hendak berbalik, Tian bergegas meraih lengan David.

"Tunggu."

David mengerutkan dahi. Bola matanya turun memandang genggaman tangan ayah di lengannya.

"Ada apa, Ayah?" berjongkok mengimbangi posisi ayahnya yang sedang duduk.

"Kamu hutang penjelasan dengan Ayah. Ceritakan tentang gagalnya pernikahan Juli," pinta Tian.

David lantas tersenyum. Menangkup telapak tangan sang ayah, memberikan usapan lembut kemudian berkata, "Iya Ayah, nanti akan aku jelaskan.

Tapi nanti setelah aku pulang. Ini sudah siang, aku harus bergegas mengantar Juli ke kampus."

"Baiklah ... kamu hati-hati dijalan."

David mengangguk.

Tidak menceritakan dan berniat menyembunyikan, tampaknya gagal.

Jelas saja, dirumah ada TV, kapanpun ayah bisa melihat nya. Tentu saja berita tentang Juli akan memenuhi layar pertelevisian saat ini.

Mungkin akan ditayangkan selama berbulan-bulan. Itu tebakan tepat menurut David.

"Nona Juli," panggil Mara sambil mengetuk pintu. "Ditunggu sarapan sama Tuan dan Nyonya di bawah."

"Ya." Hanya jawaban singkat yang didengar telinga Mara.

Mara berdecak, mendengkus kemudian berlalu pergi dari depan pintu yang masih tertutup rapat itu.

"Dimana Juli? Apa dia belum bangun?" tanya Tesa saat Mara sudah sampai keruang makan lagi.

"Sudah Nyonya, tapi Nona Juli hanya menjawab 'Ya' saat saya memanggilnya dan menyuruhnya untuk sarapan," ungkap Mara.

Melihat dua majikannya menghela napas, Mara lantas menyingkir kebelakang mencari pekerjaan yang sekiranya belum selesai.

"Ya sudah, aku berangkat kekantor dulu." Setelah mengelap, meneguk segelas air putih dan mengelap bibirnya dengan tisu, Jordan berdiri. Membungkuk memberi ciuman dikening sang istri lalu berangkat.

Tidak ada sepatah kata pun yang terlontar dari dalam mulut Tesa. Dia terlihat melongo sambil memandangi punggung sang suami yang perlahan-lahan jauh menghilang.

Rumah itu sempat hampa, saat masa putih abu-abu seorang Juli berakhir. Terpuruk hingga berbulan-bulan tanpa sebuah komunikasi yang baik didalam rumah.

Kembali mengukir senyum saat kedatangan Alex menyapa. Ketepurukan hilang hingga Juli bisa diajak berbicara kembali.

Tesa, Jordan, yang awalnya terlalu sibuk dengan pekerjaan, pada akhirnya mulai sadar bahwa sang putri sangatlah membutuhkan kasih sayang dari keduanya.

Sayangnya, semua sedikit terlambat, biarpun Juli bisa diajak bicara, tapi taidk seakrab antara kedua orangtua dan anak pada umumnya.

Dan semua semakin rumit saat Alex berhasil melukai hati Juli.

"Pagi Nyonya." David membungkuk sopan. Tepat pukul delapan pagi David sampai di tempat kerjanya, yaitu rumah mewah milik keluarga Jordan yang didalamnya selalu diatur oleh tuan putri.

"Pagi David. Kamu sarapan dulu ya," ucap Tesa. Pandangannya memamerkan betapa lezatnya hidangan diatas meja makan.

"Aku sudah sarapan, Nyonya," David menolak halus. "Aku langsung menjemput Nona Juli. Apa dia sudah siap?"

"Memangnya mau kemana?" Tanya Tesa. Satu tangan mendorong piring kosong ketengah meja.

"Bukankah Nona Juli ada jadwal kuliah? Ini hari rabu."

Tesa berdiri. "Tapi Juli belum sehat. Aku tidak memberi ijin."

"Aku tetap berangkat." Sahutan Juli membuat kedua orang itu menoleh.

Disana, pada jarak sekitar tiga meteran saja, Juli tengah berdiri tegak dengan wajah tegas.

Penampilannya sudah sangat rapi. Memakai celana jeans diatas lutut, dipadukan dengan atasan dengan lengan sedikit terbuka berhasil menghilangkan wajah pucat yang semalam masih terlihat.

"Tapi Juli ... kamu kan baru pulang dari rumah sakit, Sayang." Tesa mendekat. Meraih satu lengan Juli. Menatapnya penuh harap agar Juli tetap stay dirumah.

Perlahan Juli melepas genggaman itu. Mencangklong tasnya dengan benar sambil tersenyum Juli berkata, "Aku baik-baik saja.

Aku juga tidak mau dikira mengumpat karena pernikahanku yang gagal. Aku bukan orang lemah."

Degh! Tesa seperti sedang mendapat sebuah pukulan yang sanga keras dikepala belakang.

Seperti inikah gadis cantik yang dulu pernah tidak dia hiraukan karena selalu sibuk mencari uang?

Apakah dia sekuat ini karena menahan amarah kala itu? Tesa memang tidak pernah tahu. Bukan tidak tahu, melainkan kurang paham atau mengerti.

"Aku berangkat." Tanpa mencium punggung telapak tangan sang ibu, Juli langsung berlenggak keluar.

"E—, saya permisi, Nyonya." David membungkuk sebelum bergegas menyusul Nona mudanya yang sudah tidak nampak.

Kalau berada diposisi seperti ini, sebenarnya yang merasa canggung dan tidak enak adalah David.

Kenapa juga harus berdiri di antara dua orang yang terkadang seperti dua orang yang saling acuh? Haruskan David menengahi?

"Cepat, David!" teriak Juli dari balik kaca mobil. Ternyata gadis cantik itu sudah duduk bersender didalam mobil.

"Ah, ternyata dia mengenalku. Aku pikir dia tidak tahu namaku." gumam David sambil mengumpatkan senyum.

Selama satu bulan bekerja disina, sepertinya ini memang kali pertamanya sang majikan muda menyebut nama David.

Tampaknya, memang semua berubah setelah kekacauan gagalnya pernikahan Juli dan Alex.

"Cepat!" teriak Juli lagi.

"Eh iya." gelagapan, David lantas bergegas masuk kedalam mobil.

Sementara Juli masih keras kepala untuk tetap keluar rumah, ditempat lain justru tampak sedang di kerumuni beberapa wartawan.

gagal datang berkunjung kerumah Juli, nyatanya para wartawan menancari sosok Juli di sebuah studio foto.

Beberapa orang yang berada didalamnya bahkan sampai kewalahan menghalau para wartawan untuk bergegas pergi.

"Sialan!! Wartawan gila!" begitu gerutu salah satu waria dengan jengkel. kedua kakinya menghentak kesal sambil menjerit kecil sesaat wartawan sudah raib.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel