Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

9. ke kampus

"Antar aku keresto dulu," pinta Juli sebelum masuk kedalam mobil.

David berjalan lebih cepat, bergegas membukakan pintu. "Baik, Nona."

Juli sudah masuk. Sabuk pengaman sudah terpakai, Juli kemudian merogoh ponselnya yang berada didalam tas selempangnya.

Sementara Juli sibuk dengan ponsel, disampingnya, David juga sudah duduk dan siap melajukan mobil.

Belum ada percakapan didalam sana. masing-masing hanya fokus pada apa yang ada didepan mata.

"Huh!" terdengar dengusan keluar dari hidung seorang gadis yang duduk disamping David.

Terlihat jari-jari lentiknya masih terus menggeser-geser layar ponsel dengan cepat.

Tidak perlu di terka ataupun di tebak-tebak, nyatanya berita itu sudah menyebar begitu luas.

Hampir semua sosial media saat ini sedang membicarakan hancurnya pernikahan Juli. Media online maupun media cetak, sepertinya sedang mendapat peruntungan besar dengan memanfaatkan kekacauan itu.

Dua bola mata itu, berputar malas saat melihat betapa banyaknya pesan masuk dan panggilan tak terjawab. Teman, rekan kerja, sang menejer, semua mencoba menghubungi nomor Juli.

"Ada apa, Nona?" tanya David. Melihat kegelisahan Juli tentu membuat David merasa tidak nyaman.

Juli tidak memberi jawaban. Dia tetap mengotak-atik layar ponselnya. Menggeser kebawah, sesaat kemudian menggeser lagi ke atas.

Bisa David lihat, jemari-jemari lentik milik Juli tengah menyiksa benda pipih berwarna abu itu.

"Bukakan kaca mobil untukku!" perintah Juli.

"Untuk apa, Nona?"

"Jangan banyak tanya." Melirik tajam, membuat David tidak bisa menolak.

Bergegas David menekan tombol di sekitar dasbor. Jendela kacapun langsung turun kebawah terbuka sempurna.

David masih mencoba tetap fokus menyetir. Tapi, sebisa mungkin David juga harus waspada dengan apa yang akan dilakukan oleh Juli.

Wajah merengut sebal dengan rahang mengeras, tentu membuat seorang David langsung merasa was-was. Gadis disampingnya ini seperti hendak melalukan sesuatu.

Wush! Prak!

Begitu kira-kira bunyinya. David sempat terpekik dan hampir saja menepikan mobil secara mendadak.

Benda pipih bernama ponsel itu, sudah melayang dan mati seketika. Bisa ditebak benda pipih itu mati dengan sangat mengenaskan.

Remuk-remuk menjadi beberapa bagian seperti perasaan Juli saat ini, kalau kalian ingin tahu.

"Kenapa dibuang, Nona?" tanya David. Meskipun jujur saja jantungnya sedang berdegup sangat kencang, tapi sebisa mungkin David mencoba mengatur napasnya supaya tetap tenang.

"Tidak penting." hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Juli.

Sepuluh menit kemudian. Setelah hancur dan tewasnya ponsel itu, mobil yang ditumpangi David dan Juli sudah terparkir dibelakang gedung kampus.

Juli tampak diam. Sepertinya dia enggan untuk beranjak dari tempat duduknya.

Bibirnya bergerak seperti sedang menggesek-gesek barisan keras berwarna putih didalamnya.

David tahu, Mungkin Juli tidak yakin dengan keputusannya untuk masuk kuliah hari ini.

"Apa Nona baik-baik saja?" tanya David.

Juli tetap diam, pandangannya terlihat kosong dengan lurus mengarah pada seseorang yang berhalu lalang diluar sana.

"Nona." David menepuk pelan pundak Jul.

July tergugah. Bergidik lalu dengan cepat meraup wajahnya. Menata rambut, menjatuhkan juntaiannya didepan pundak hingga sampai dada, Juli menarik napas sesaat.

Menghembuskan secara perlahan, menyiapkan diri sebelum menjadi pusat perhatian diluar sana.

Glek!

David membuka pintu. Sebelum kedua kakinya bergantian turun, Juli berucap terlebih dulu, "Tidak usah kamu bukakan pintu untukku. Kalau kamu mau turun, turun saja. Tunggu saja dimanapun. Jam 11 kamu sudah harus ada didalam mobil."

David mengangguk, lantas membiarkan Juli membuka pintu mobil sendiri. Bisa David lihat, sebelum kedua kaki jenjang itu menapak, samar-samar David bisa mendengar suara helaan napas.

Hingga pada akhirnya kedua kaki itu benar-benar menapak sempurna diatas aspal. Berdiri kemudian, Juli menyapu pandangan ke sekeliling.

Mencangklong tas dengan benar, menutup pintu mobil kemudian barulah melangkahkan kaki.

Tidak salah, saat ini tentu Juli masih merasakan guncangan hebat yang menjalar.

Memandangi tubuh sintal sang majikan yang semakin menjauh, David menghela napas. Rasa iba pada gadis itu nyatanya emang ada.

Apalagi sebelum kejadian menyakitkan ini, Juli juga pernah di kecewakan seorang pria. Sebenarnya, David tahu tentang masa lalu Juli dari ayah.

Karena menurut ayah, sebelum bekerja dengan seseorang, kita harus lebih tahu tentang sang majikan lebih dulu.

Drt! Drt! Drt!

Ponsel didalam saku celana bergetar. Pandangan pada Juli seketika buyar. Jauh disana, sosok Juli juga sudah tidak terlihat.

Kemudian David mengangkat sedikit pantatnya lebih tinggi, menarik punggung kebelakang hingga telapak tangannya berhasil meraih ponsel yang masih menyala, tapi sudah tak bergetar.

"Viola?"

Terpampang jelas nama tidak asing dilayar ponsel, David refleks berdecak. Menepuk jidat pelan kemudian membuka pesan singkat itu.

Viola

'Kamu dimana? Hari ini jadi mengantarku ke kampus baruku, kan?'

Sekali lagi, David menepuk jidatnya sendiri. Ini sudah pukul sembilan, dan seharusnya David sudah menjemput sang kekasih dirumahnya.

Hari ini Viola awal masuk kekampus baru, dan sebagai kekasih tentu seharusnya David bisa menemani.

David

'Aku sedang dalam perjalanan.'

Begitu yang diketik David. Berbohong agar sang kekasih tak merajuk. Tapi, bagaimana cara meminta ijin pada Juli. Saat ini Juli kemungkinan sedang mengikuti kelas.

"Tidak apa kalau aku tinggal sebentar. Toh Juli pasti sedang mengikuti pelajaran." Setelah bergumam sendiri, David lantas menyalakan mesin mobil, memutar haluan menuju rumah sang kekasih yang sudah menunggunya.

Tampaknya, dugaan David salah. Juli yang dia kira sedang ada kelas, nyatanya masih berjalan santai tanpa arah tujuan.

Bahkan kelasnya yang berada didekat perpustakaan sudah terlewat sejak tadi.

Tapan dari beberapa mahasiswa lain pun tidak dia hiraukan. Bisikan bahkan cibiran hanya Juli anggap sebagai angin lalu.

Sosok teman yang Juli anggap sahabat saja, kini ikut memberikan tatapan tidak suka saat Juli melintas di hadapannya.

Juli ingat betul, dua sahabatnya itu menghilang saat terjadi kekacauan di acara pernikahannya yang gagal.

Saat itulah Juli tak menganggap mereka sebagai kawan lagi.

Terkadang tatapan mereka-mereka begitu aneh. Jika mereka mencibir karena gagalnya pernikahan, mungkin tidak akan menatap sesengit ini.

Kemungkinan ada hal lain yang membuat mereka seakan memandang jijik pada sosok July. Tapi apa?

Langkah kaki Juli berakhir menapak di taman belakang gedung kampus. Tak ada siapapun di sini.

Hanya ada para pohon tua yang masih bertengger dengan sangat kuat. Pohon akasia dan juga pohon beringin.

Juli duduk. Duduk di kursi panjang dengan beralas dedaunan kering yang tergeletak di atasnya. Tanpa menyapunya, Juli langsung mendudukinya.

Juli mendongakkan wajah ke atas. Menatap birunya langit dengan sinar matahari yang terhalang akar penuh dedaunan di sebelah barat.

Langit indah itu berbanding terbalik dengan kondisi bidadari di bawah pohon beringin ini. Tak ada siapapun yang peduli di sini. Semua terasa palsu.

Ayah, Ibu, David, Dion dan para pelayan di rumahnya, apa mereka peduli? Atau mereka hanya sekedar merasa kasihan?

Kalau kasus ini Juli yang sebagai korban, lantas kenapa semua pandangan orang-orang seakan terlihat menyalahkan sosok Juli.

"Tidak ada yang tulus!" gertak Juli. Satu kakinya mengentak ranting kering hingga bersuara 'Krak'.

"Tidak ada hati yang tulus." Menundukkan wajah memandangi rerumputan hijau yang di lalui para semut.

Akankah ada kehidupan layaknya segerombolan para semut? Bersama-sama tak pernah saling meninggalkan?

Tidak ada untuk gadis bernama Juli. Sungguh pikiran buruk, tapi begitulah nyatanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel