7. Cemburu
Tok ... tok ... tok ...
"Nona, boleh saya masuk?" tanya David sebelum menerobos masuk kedalam.
"Ya!" Suara dari dalam menyahut.
David sedikit menekuk kaki, menekan knop pintu dengan siku tangan.
Meski terasa sedikit sulit karena tangannya memegang nampan, pada akhirnya pintu itu terbuka.
David masuk, bola matanya belum menjumpai sosok cantik sang nona muda. Barulah setelah maju sekitar tiga langkah, sosok gadis cantik itu terlihat sedang menyisir rambutnya di depan cermin.
"Mau diletakkan dimana, Nona?"
"Kamu taruh saja dimeja itu." Juli menunjuk kearah meja persegi setinggi 45 cm yang berada di atas karpet berwarna merah.
Setelah nampan itu David letakkan di atas meja, tentu saja David segera ingin beranjak keluar. Tapi sayangnya, sang majikan tak mengijinkan.
"Temani aku makan." begitu pinta Juli.
Menjepit rambutnya kebelakang menggunakan jepitan rambut, kemudian Juli berdiri.
Mengibas-ibaskan baju tidurnya yang sempat tertumpahi parfum, lalu segera mendekati meja berisi makan malam itu.
"Duduk," pinta Juli.
David yang semula berdiri dengan lengan mengatup, akhirnya duduk.
Ragu dan sedikit gugup. Selama satu bulan bekerja disini, Juli memang tidak pernah mengajaknya mengobrol. Apalagi sampai duduk sedekat ini, tentu tidak pernah terpikirkan oleh David sebelumnya.
"Apa kamu sudah makan?" tanya Juli. Satu suap nasi berhasil masuk kedalam mulut.
David mengangguk.
"Sudah Nona. Tadi bareng bersama Mara dan yang lain."
Masih sambil mengunyah, Juli berkata, "Siapa Mara?"
"Haha!" David sontak tersenyum getir.
Mara sudah bekerja dirumah mewah ini selama satu tahun sebelum David ada disini, bagaimana mungkin Juli tidak tahu?
"Tunggu dulu! jangan-jangan dia sama sekali tidak tahu siapa aku?" David bergumam.
"Tentu saja pelayan dirumah ini," jawab David. Juli hanya membulatkan mulut berbentuk O.
Sibuk kembali dengan makan malamnya, Juli terus menyuap demi suap hingga tersisa satu sendok lagi.
Dihadapannya, David hanya curi pandang mengamati bagaimana nona mudanya sedang menikmati makan malam.
Wajahnya yang oval, dagunya yang tumpul dengan pipi yang sedikit cubby dan hidungnya yang bangir.
Kemudian beralih pada dua bola mata berbulu lentik, ditambah dengan alis tebal seperti bulan sabit.
Siapapun yang menatap tentu akan langsung terpesona. Dan lihat! Belahan dibibir bawahnya, membuat gadis ini terlihat sangat seksi.
"Astaga!" terpekik didalam hati. David sontak bergidik dengan cepat. Mengetuk pelipis supaya pikiran aneh itu segera menghilang.
"Kamu kenapa?" pertanyaan Juli membuat David menghentikan aksi konyolnya.
Sementara Juli mencibir, David justru terlihat meringis.
*****
"Kenapa kamu jadi cemberut begitu?" tanya salah satu teman yang bekerja sebagai pelayan juga.
"Apa kamu sedang cemburu?"
Yang sedang diajak bicara hanya diam. Tapi, tergambar jelas di wajahnya bahwa dia sedang marah.
Mencuci piring dengan grusa-grusu kemudian bibirnya yang cemberut, menandakan dia sedang memendam sesuatu.
Sambil berhalu lalang membereskan meja makan, temannya yang bernama Icha bertanya lagi, "Apa kamu menyukai David?"
Bunyi piring yang saling menggesek dengan rak terdengar nyaring ditelinga.
Mara terlihat sedang menata piring dengan tenaga kasar. Membuat barang yang disentuh tangan seketika mengeluarkan bebunyian.
"Hei Mara!"
"Diamlah!" bentak Mara. Menoleh dengan mata melotot, setelahnya berbalik lagi saat Icha sudah beralih pandangan.
Selesai menata piring dan gelas, Mara lantas berlenggak kebelakang. Pergi kekamar tanpa berucap apapun pada Icha yang masih belum selesai dengan tugasnya.
"Kenapa dia jadi marah-marah begitu?" celetuk Icha. Kedua pundaknya terangkat dengan bibir tertarik menipis.
"Siapa yang marah-marah?"
"Eh! Kampret!"
Suara serak itu mengejutkan Icha.
David berdiri dibelakang Icha dengan membawa nampan berisi piring dan gelas yang sudah kosong.
Menaruhnya didalam bak washtafel, David kemudian meraih gelas bersih, menuang air putih dari dalam poci lantas meneguknya sampai habis.
"Siapa yang marah-marah?" David bertanya lagi setelah menghabiskan satu gelas air putih.
"Mara," jawab Icha. Tidak mau ditanya lebih, setelah mencuci tangan Icha bergegas pergi.
"Mara marah? Kenapa?" gumam David dalam kesendirian.
Dia mengangkat bahu, kemudian beranjak keluar meninggalkan istana mewah itu.
Sementara didalam kamar, sosok bidadari yang baru saja ditinggalkan sang pelayan, kini sedang bersandar pada dinding ranjang.
Memangku bantal, kedua kakinya selonjor terlipat. Dua tangannya tampak sedang menyangga sebuah album foto berukuran 5 R.
Membuka lembaran utama, disana terlihat betapa manisnya saat memulai perjalanan cinta dengan seorang pria.
Itu terjadi saat kelas menengah atas. Menjalin kasih berseragam putih abu-abu, yang pada akhirnya harus kandas saat kelulusan tiba.
Ditinggalkan dengan tipuan palsu dalam coretan tinta hitam disetiap seragam putihnya.
{Will You Marry Me?}
Begitu bunyi tulisan yang membekas erat pada kain putih di bagian punggung.
Sayangnya, itu hanya sekedar coretan palsu. Saat kerumunan kelulusan itu lenyap, saat itu juga sosok pria yang dia kagumi menghilang bersamaan dengan tiupan angin di kekosongan gedung sekolah kala itu.
Lepas. Itu hanya kejadian tiga tahun yang lalu.
Berharap menemukan sosok pengganti, Juli pun mendapatkannya.
Sosok pria mapan bertubuh tinggi dengan berewok tipis disekitar dagu, datang membawa sejuta pesona.
Benar saja, Juli yang kala itu masih sendiri tanpa sebuah cinta yang hinggap, sosok pria bernama Alex berhasil meluluhkan perasannya. Juli terjatuh dalam pelukan.
Satu tahun berjalan, siapa yang akan tahu kalau kekecewaan datang menghampiri kembali.
Sebuah kekecewaan dan kehancuran yang lebih dahsyat. Ditinggalkan saat menjelang pernikahan, tidak akan pernah di sangka oleh Juli.
BRENGSEK!!
BRAK!
Album itu terlempar menabrak dinding.
Album lain yang semula berada di samping Julyi, kini sudah dia sobek-sobek dengan gerakan tangan cepat.
Meloloskan setiap lembaran yang terselip dalam plastik tipis, melempar kelangit-langit hingga berjatuhan memenuhi ranjang.
"Pria brengsek!" teriaknya lagi memenuhi seluruh ruangan itu.
Suaranya bergema keras, memekik hitam pada suasana malam yang semakin larut.
"Apa semua pria memang memiliki sifat yang sama?" tanya Juli pada udara.
Tubuhnya membungkuk, merangkak menuruni ranjang. Saat kedua kakinya sudah menapak di atas lantai, Juli berdiri. Berjalan ke arah rak berlaci, kemudian berjongkok didepannya.
Dua tangannya menarik laci itu hingga terbuka. Mengeluarkan semua isinya hingga berjatuhan diatas lantai.
Juli berdiri. Berjalan kearah ruang sempit di samping lemari baju. Membungkuk kemudian meraih kardus berukuran sedang.
Setelah berada di genggaman tangan, Juli kembali lagi kearah barang berserakan didepan rak berlaci.
"Semua tentangmu akan aku buang. Kamu tidak pantas untuk aku cintai." Memasukkan semua barang-barang yang pernah diberi dari sosok pria bernama Alex.
Semua tentang pria itu tidak layak untuk dikenang. Meski terasa berat dan belum sepenuhnya hilang rasa cinta, tapi Juli akan mencobanya.
Mencoba melupakan semua kenangan selama satu tahun bersama Alex.
Sudah masuk semuanya, kini Juli meraih isolatip berwarna coklat. Merekatkan pada penutup kardus hingga benar-benar rapat.
Berdiri, kemudian Juli mendendang kardus itu hingga bergeser kedekat pintu keluar.
Besok, semua barang penuh kenangan itu akan segera lenyap dilahap api tanpa harus Juli melihat isinya kembali.