Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Pria gila

Beralih menjauh dari suasana kecewa di rumah Juli, kini beralih pada kehidupan si pria, yang berani-beraninya meninggalkan calon mempelai wanita beberapa jam sebelum acara sakral dimulai.

Diruang kerja berukuran sekitar 5x5 meter, antara anak dan ayah sedang berbincang dengan topik yang sangat penting.

"Ayah tanya padamu?" sorot mata itu terlihat begitu menusuk sosok Alex, yang tampak santai duduk di kursi.

Menggoyang-goyangkan kursi tanpa ada rasa takut sedikitpun, kalau terjadi kemarahan pada diri sang ayah.

"Apa yang membuatmu sampai dengan gila membatalkan pernikahanmu dengan Juli?" tanya sang ayah. "Baron Adiguna. kini namanya sudah tercemar hanya karena kelakuan putranya. Dimana pikiranmu, ha?!" Baron membelalak, dengan satu pukulan telapak tangan di atas meja.

Alex sempat terjungkat dan berhenti bergerak, perkataan ayah sungguh memekik gendang telinga. Mengganggu pendengaran, dan membuat Alex malas berlama-lama di ruangan ini.

"Santai saja, Ayah. Namamu akan tetap jaya. Tidak usah khawatir." Alex berkata dengan sangat santai.

Alex tidak pernah berpikir, seberapa jauh ayahnya akan memendam rasa emosi. Sepatutnya saat ini Alex tahu, seorang Ayah dengan nama Baron Adiguna, sedang meradang penuh amarah.

BRAK!

Sekali lagi, Baron menggebrak meja dan meninggalkan warna merah ditelapak tangan. "Kamu memang anak tidak tahu diuntung!" Jari telunjuknya sudah menuding-nuding tepat didepan wajah Alex. "Ayah baru sadar, kamu itu memang pria bodoh."

Alex berdiri. "Sudah lah Ayah ... Aku tidak mencintai Juli. Bagaimana aku bisa menikahi dia?"

"Persetan!" Baron mengibaskan telapak tangan, membuang wajah. "Sejak kapan kamu tidak mencintai Juli. Aku tahu betul bagaimana perasaanmu pada gadis itu, Alex. Kamu Jangan mengelak." Baron menggeratkan gigi, menahan emosi yang meluap-luap.

Alex terdiam sesaat, pandangannya beralih ketempat lain selain kearah dimana ayahnya tengah berdiri dengan napas berderu cepat. Kali ini Alex tidak bisa mengelak, rasa cinta untuk Juli memang ada. Bukan sekedar ada, melainkan hati ini masih seutuhnya untuk Juli.

Lalu, kenapa pergi saat menjelang pernikahan?

"Tidak Ayah. Aku tidak mencintai Juli lagi, rasa untuk Juli sudah hilang." Alex tetap saja mengelak.

"Bullshit!" sembur Baron. Kakinya melangkah memutari meja, berdiri tepat didepan Alex tanpa menghalang. "Ayah tahu kamu sedang mengelak. Sekarang, lakukan saja apa maumu. Sekalipun kamu mau bercinta dengan gadis selingkuhanmu itu, Ayah tidak akan peduli."

BRAK!

Pintu tertutup dengan cepat, dibanting oleh tarikan tangan Baron. Ditempatnya, Alex hanya melongo tanpa tahu harus berbuat dan berkata apa. Terduduk secara perlahan, menahan tubuhnya yang tiba-tiba terasa lemas.

"Antar aku kerumah Jordan," perintah Baron pada sang supir, yang sedang menikmati teh hangat ditemani biskuit diatas piring.

Supir itu bergegas berdiri, pria paruh baya itu bergegas menyesap tehnya kemudian mengelap mulutnya barang kali belepotan. "Siap Tuan!" Dia merogoh kunci mobil disaku celana, lalu berjalan keluar.

Di belakangnya, sang majikan membuntuti sambil memakai jasnya. Rencananya langsung hendak kembali pergi kekantor.

****

"Mau tambah?" tawar David, saat melihat cangkir diatas nakas sudah kosong.

Sang majikan, yang duduk bersila ditepian ranjang hanya menggeleng. Pandangannya lurus memandang ke arah luar jendela. Sepertinya sedang mengamati dua burung gereja, yang tampak sedang bercengkerama.

"Apa Nona mau mandi?"

Ups! Refleks David menutup kedua mulutnya dengan telapak tangan. Entah berasal dari mana kata-kata itu bisa mencuat keluar dari dalam mulut David.

"Siapkan air hangat."

"Eh!" pekik David. Dia kira Nona mudanya akan marah atau jengkel, ternyata tidak. Dia justru mempersilahkan David untuk mempersiapkan air hangat.

"Nona sungguh mau mandi?" tanya David memastikan.

Juli tidak menjawab. Dia hanya memberikan lirikan tajam sampai membuat David yang masih duduk, lekas beranjak bergegas pergi kekamar mandi.

Sebelum turun dari atas ranjang, Juli menyempatkan diri lebih dulu melirik luka di pergelangan tangan yang di balut perban. Bukan luka itu yang sebenarnya terasa sakit, melainkah luka didalam raga itu. Sungguh sangat sakit sampai semua itu terasa hambar.

"Airnya sudah siap, Nona." David mendekat.

Melihat sang majikan hendak turun dari atas ranjang, David maju lagi dan langsung meraih lengan Juli. "Biar saya bantu, Nona."

Juli tidak memberi jawaban, tapi juga tidak menolak.

Sebelum masuk kedalam kamar mandi, Juli berbalik kearah David yang hendak membereskan cangkir yang berada diatas nakas.

"Siapkan pakaianku juga. Setelah itu, kamu boleh keluar dari kamarku."

David mengangguk.

"Menyiapkan pakaian? Memangnya pakaian yang seperti apa?" David bergumam di dalam hati.

Sebelumnya, Juli tak pernah memintanya untuk melayani sesuatu yang bersangkutan dengan keperluan Juli. Misal yang bersangkutan dengan apapun, yang ada di dalam kamar. Tugas David sebenarnya hanyalah sebagai supir, sekaligus pengawal pribadi.

"Tuan, Nyonya" seorang pelayan membungkuk sopan dihadapan Jordan dan Tesa.

Tampaknya, mereka berdua hendak menuju kamar Juli. Sejak pulang tadi, mereka memang belum sempat melihat keadaan Juli.

"Diluar ada tamu," ucap asisten rumah tangga itu.

"Tamu? Siapa?"

"A..anu, Tuan. Itu...." asisten rumah tangga itu tampak ragu untuk berbicara.

"Anu siapa?" Tesa memastikan.

"A-ada Tuan Baron."

"Apa?!" keduanya tersentak bersamaan.

"Baron? Kesini?" Tesa menunjuk lantai yang dipijak kaki. "Mau ngapain dia datang kesini? Awas saja!"

Tesa hendak menyerobot keluar untuk bergegas menghampiri Baron, tapi lengannya langsung ditarik oleh Jordan. "Tunggu dulu!"

"Apa sih?!" Tesa mengibaskan lenganya. "Aku harus memberi perhitungan dengan dia!" Tesa masih kekeh ingin tetap menyerobot keluar.

"Aku bilang tunggu!" Jordan meraih kedua pundak sang istri. "Bukan seperti ini cara kita menghadapi seseorang yang berbuat salah. Kalau kamu ikut emosi, itu namanya kamu sama buruknya seperti mereka."

Tesa sontak menarik napas, menghembuskan perlahan mencoba menurunkan deru panas yang sudah mengubun pucuk kepala.

"Kalau begitu, bagaimana menghadapi dia dengan baik? Aku rasa aku tidak bisa. Aku terlanjur kecewa." Tesa menghentakkan kaki, dia membanting pantat di atas sofa ruang tengah.

Diam sejenak, Jordan mencoba berpikir. "Kalau begitu, biar aku yang menemuinya. Kamu kekamar Juli saja."

Tesa mendesah lagi, akhirnya beranjak. Meskipun mau ikut menemui si tamu, tapi sedari tadi memang belum sempat menemui sang putri. Toh dari pada emosi tiba-tiba muncul kembali, lebih baik menyingkir. Biarkan saja Jordan yang menghadapi.

Jordan berdeham keras, sosok yang sedari tadi duduk di sofa menunggu tuan rumah, sontak mendongak. Jordan menarik celana panjangnya kemudian duduk. "Ada perlu apa kamu kemari?" Jordan bertanya pias.

Baron tersenyum sebisa mungkin, dia menjawab, "Tentu saja aku mau meluruskan semuanya, Aku tidak mau ada kesalahpahaman diantara kita. Kamu sahabatku, kita sudah saling mengenal sejak lama."

Jordan membuang wajah sambil berdecak. "Kamu bilang teman? Apa ini yang di namakan teman? Membuat kekacauan, mempermalukan putriku di depan banyak orang?" rahang Jordan mulai mengeras.

"Bukan begitu. Ini sungguh bukan kemauanku, Aku juga tidak tahu akan seperti ini jadinya." Wajahnya sudah memelas.

"Kamu tidak tahu?" Jordan mendelik. "Bohong sekali! Kamu kan Ayahnya, tentu saja kamu pasti tahu. Tidak perlu berbohong. Aku dan keluargaku tidak apa. Kami baik-baik saja."

"Jadi kamu tidak percaya padaku?" tanya Baron.

"Kamu pulang saja. Sekarang aku sedang tidak mau diganggu oleh siapapun, begitupun dengan keluargaku. Lebih baik kamu pergi." Jordan berdiri.

"Tapi, Jord ...."

"Aku mohon, pergilah!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel