Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Bak seperti sindiran untuk juli

"Silahkan Nona," David yang sedari tadi menunggu didepan mobil, bergegas membukakan pintu mobil begitu ketiga majikannya datang.

Beruntung, tidak ada satupun wartawan yang mengikuti mereka. Bukan tanpa sebab. Seperti sudah tahu apa yang akan terjadi kalau Juli terlihat, sebagai sosok orang berpengaruh, sebisa mungkin Jordan menutup semua jalur wartawan supaya tidak bisa mendekat.

Memang terlalu mustahil, tapi beginilah keadaannya. Jordan dan istri hanya tidak mau Juli disorot kamera, apalagi menjadi tayangan utama dilayar televisi.

"Aku mau duduk di depan. Dan aku mau sendiri." begitu yang dikatakan Juli.

Saling memandang, keempat orang itu bingung harus berkata apa.

"Apa maksudmu, Juli?" tanya ibu.

"Kamu tidak boleh sendirian Sayang." Jordan mengimbuhi. "Kamu tidak Ayah ijinkan menyetir."

Juli berdecak keras, dia menarik knop pintu mobil bagian depan. Masuk kedalam, sampai membuat orang yang masih diluar semakin kebingungan.

"Kalian pulang naik mobil lain." Juli menyembulkan kepala dari balik kaca jendela mobil yang terbuka.

Dion membungkuk. "Kamu mau pulang bersama David?"

Juli mengangguk. "Cepat masuk!" perintah Juli pada David. Jendela kaca mobil tertutup kembali.

Sebelum masuk, David memandangi wajah majikannya bergantian. Meminta persetujuan apakah putrinya boleh kalau hanya pulang bersamanya atau tidak.

"Jaga Juli. Biar kami pulang bersama Dion," ucap Jordan memberi ijin.

Sudah mendapat ijin, lantas David langsung memutari mobil beralih menuju pintu mobil sebelah kanan. Membuka pintu mobil itu, kemudian David lantas duduk.

"Tapi aku tidak bawa mobil, Paman. Bagaimana?" Dion nampak menggaruk-garuk kepalanya, begitu mobil yang di tumpangi Juli dan David melesat jauh.

"Kita pesan taksi online saja. Kalau telepon supir dirumah, pasti sangat lama dan jaraknya terlalu jauh."

Dion mengangguk dan langsung menghubungi nomor perusahaan taksi online terdekat.

"Bagaimana keadaan Anda, Nona?" tanya David. Meskipun gugup, tapi merasakan suasana keheningan didalam mobil itu membuat hati terasa gelisah.

Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir gadis itu. Diduduknya yang menyender, ujung kepala yang menempel pada kaca, jelas dia sedang memandangi pepohonan yang terlihat berlarian diluar sana. Dua jemarinya mengetuk-ketuk kaca. Bibirnya sedikit terbuka, membuat siapapun yang melihat akan berkata 'seksi'. Apalagi saat melihat belahan di bibir bawahnya, bibir yang sedikit tebal, ciri khas wanita yang manja. Itu menurut pendapat David.

Suasana hening kembali, David tidak tahu harus memulai perbincangan yang bagaimana agar nona mudanya mau berbicara. Sambil tetap fokus menyetir, David sesekali menyempatkan diri untuk melirik sebagian wajah Juli.

Masih sama, diam dan datar tanpa ekspresi.

"Apa kamu punya kekasih?"

"E, ha? Apa?" David jadi salah tingkah sendiri.

Decakan terdengar lolos dari balik dua bibir menggemaskan itu, membuat David tersipu malu. Juli bergerak sedikit, bergeser menjauh dari kaca jendela. "Kamu sudah punya kekasih atau belum?"

"Su-sudah," jawab David terbata-bata. Ditanya mengenai hal kekasih, sebenarnya David tidak suka. Em, bukan tidak suka. Lebih tepatnya tidak enak hati atau malu.

"Sudah berapa lama kamu dan kekasihmu menjalin hubungan?" pertanyaan masih berlanjut.

Tidak mau menjawab, tapi keadaan memaksa David untuk lekas memberi jawaban.

"Sekitar satu minggu yang lalu."

"O...," Juli membulatkan bibir.

"Ada rencana untuk menikah?"

Sial! Sepertinya pertanyaan itu terdengar semakin menjurus, sayangnya David tidak bisa menghindar.

"Aku belum memikirkan hal itu, Nona. Menurutku menikah bukanlah hanya soal rasa saling suka. Semua hal harus di siapkan dengan matang agar semuanya berjalan semestinya."

"Apa kamu sedang menyindir kegagalan pernikahanku?" lirikan Juli membuat David bergidik ngeri.

"Bukan Nona, bukan begitu maksudku." David merasa tidak enak hati. Takut menyinggung perasaan sang majikan, David memilih mengatupkan rapat-rapat dua bibirnya.

"Aku tahu." Juli menyeringai. Kedua tangan terlihat sudah terlipat di depan dada. "Harusnya aku memikirkan rencana menikah dengan matang-matang, kemungkinan hal memalukan seperti kemarin tidak akan terjadi." Juli lantas tertawa kecut.

David sekedar membalasnya dengan cengiran bibir karena bingung.

"Aku yakin, berita tentang gagalnya pernikahanku pasti sudah tersebar luas."

Sekali lagi, David hanya bisa meringis.

"Itu ... em... anu.."

"Tidak perlu ditutupi." Juli tersenyum getir, wajahnya menunduk memandangi jemarinya yang sedang saling memilin.

"Resiko sebagai publik figur ya seperti ini. Sekecil apapun kejadian dalam hidupnya, lama-lama orang akan tahu. Apalagi ini kejadian super heboh."

Tundukkan kepala itu kini berubah menjadi tawa. Tawa terbahak-bahak, tapi perlahan-lahan berubah jadi isak tangis yang menjadi.

Tidak mau terjadi apa-apa, David langsung menepikan mobil didekat trotoar beraspal.

"Nona, kenapa menangis?" David jadi panik sendiri, dia berdecak lirih sambil mngusap wajah, David menggeser duduk. "Jangan menangis. Aku jadi bingung, Nona."

Tangisan itu malah terdengar semakin menjadi. Wajahnya menengadah keatas dengan dua tangan sudah mengepal, membuat air mata yang terus mengalir sampai membasahi bagian telinga dan leher jenjangnya.

David semakin panik sendiri, mengacak-acak rambut frustrasi. Mau tidak mau, David memberanikan diri meraih kedua pundak Juli yang naik turun mengimbangi isak tangis.

"Nona ...." ragu dan pelan, David berhasil meraih pundak Juli.

Tanpa disangka sebelumnya, Juli justru langsung mendekat dan menjatuhkan wajah dalam dada bidang milik David. Meski merasa gugup, akhirnya David memberanikan diri memeluk tubuh nona mudanya.

"Tenang Nona. Semua baik-baik saja." pelan tapi pasti, David mengusap-usap punggung Juli.

Juli mundur perlahan terlepas dari pelukan itu, dia lantas mengusap air matanya. Seolah tidak terjadi apa-apa, Juli mengatur napas lalu duduk kembali lurus menghadap jalanan. "Ayo kita pulang."

"Ba-baik Nona." David menjawab dengan gugup.

Mobil itu melaju kembali dengan kecepatan sedang.

Sesampainya dirumah, keduanya sudah di sambut oleh beberapa asisten rumah tangga. Begitu keduanya menapak di atas teras, mereka lantas membungkuk sopan.

"Selamat datang kembali, Nona Juli," sapa mereka bersamaan. Tampaknya, sebelum Juli datang mereka sudah terlebih dulu berlatih cara penyambutan yang baik. Haha!

Juli tersenyum, dia berjalan pelan memasuki rumah saat dua pelayannya sudah membukakan pintu.

"Buatkan teh hangat untuk Nona, bawa ke kamarnya," perintah David pada salah satu pelayan.

"Baik Tuan."

Setelah itu, David menyusul Juli yang sudah lebih dulu masuk kedalam. Dia berlari cepat, begitu melihat Juli hendak menaiki anak tangga, David bergegas membantu. "Pelan-pelan saja, Nona." Dia mengawasi dari belakang, barang kali terjadi sesuatu. Kepleset misalnya.

"Tidak usah mengawasiku, sku bisa jalan keatas sendiri." sambil berpegangan pembatas tangga, Juli terus berjalan.

"Tapi Nona ...."

"Jangan membantah. Kamu ambilkan saja tehku, Aku tidak mau pelayan yang mengantarkan kekamar."

Heh!? David menarik dagu ke dalam. Menggaruk rambutnya, David akhirnya terpaksa membiarkan Juli berjalan sendiri menaiki anak tangga yang cukup tinggi.

Berjalan turun kebawah dan hendak masuk kedapur, didepan pintu menuju ruang tamu, David berpapasan dengan majikannya yang baru saja sampai.

"Tuan ...." David membungkuk sesaat, lalu berdiri tegak lagi.

"Di mana Juli?" tanya Tesa.

"Sedang menuju kamar, Nyonya. Dia tidak mau aku antar, dia memintaku membawakan teh."

"Ha?" Tesa ternganga. "Tumben? Bisanya dia minta pelayan yang membawakannya."

Nyatanya yang terkejut dengan tingkah Juli bukan hanya David, melainkan Tesa juga. apa memang Juli tidak bisa lepas dari para pelayan. Semua hal yang ringan maupun yang berat, pasti dibutuhkan bantuan dari para pelayan. Begitulah Juli, dia memang gadis 20 tahun yang masih sangat manja.

"Ya sudah, kamu cepat buatkan dan langsung antar keatas."

"Baik Tuan."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel