3. Ingatan masalalu
Susana dirumah sakit masih tetap sama, penuh dengan rasa lelah dan kecewa. Tidak akan ada yang tahu, kalau musibah memalukan seperti itu terjadi pada sosok gadis cantik bernama Juli.
Juli yang memang begitu mengidam-idamkan sebuah pernikahan bak seorang putri, nyatanya harus kandas karena pria bernama Alex memilih pergi seperti angin lalu. Tidak ada sebuah alasan yang jelas, kenapa Alex pergi meninggalkan Juli di saat bahagia. Yang ada hanya sebuah pesan sialan yang tidak jelas isinya, sebuah foto memalukan.
"Mau kah kamu menikahiku?" dengan senyum menawan, Alex berjongkok dengan kaki tertekuk di hadapan Juli yang tengah duduk di kursi taman.
Ada beberapa pasang mata yang melihat hal itu dengan penuh rasa iri, tersenyum penuh kekaguman atas keberanian sosok Alex yang berani melamar putri tunggal dari seorang pengusaha ternama.
Sebagai seorang model yang namanya sedang melambung tinggi, tentu momen lamaran itu langsung menjadi topik utama dalam pemberitaan di layar kaca hiburan tanah air. Hampir semua TV swasta menayangkan betapa romantisnya, sebuah lamaran yang dilakukan oleh Alex.
Bertaburan bunga di taman, dengan beberapa orang di belakang memegang sebuah rangkaian tulisan 'Will you marry me'
Membuat semua orang dan wartawan yang ada di kerumunan itu bersorak histeris. Siulan dari beberapa orang pun mulai terdengar, saat Alex menjulurkan sebuah cincin berlian yang berkilau.
"Terima! Terima!"
"Ayo terima!"
Sorak demi sorakan yang mereka lontarkan membuat wajah Juli bersemu merah, apalagi saat kerlingan mata dari Alex terlihat, sungguh itu membuat jantung Juli terasa panas.
Dengan rasa gugup bercampur gembira, akhirnya Juli menerima lamaran itu. Memakai cincin berlian, samapi suara tepuk tangan langsung bergemuruh mengimbangi rasa bahagia yang tengah dirasa.
"Kenapa? Kenapa semua ini terjadi?"
"Kenapa kamu jahat!"
Teriakan-teriakan asing itu membuat kepala terasa begitu berat. Deru napas yang tiba-tiba terasa sesak, seolah sedang mencekik membuat raga tidak bisa berkutik.
Panas, peluh menetes, napas berat, itu terasa sangat menyakitkan.
"ALEX!!!"
Sosok tubuh lemas yang terbaring kini membelalak, terduduk dengan peluh sebesar biji jagung memenuhi seluruh tubuhnya. Menetes secara perlahan, menggelitik tubuh sampai membuat pakaian serba biru itu basah kuyup.
"Juli!" pekik Tesa. Di ruangan itu, Tesa hanya sendiri. Dion sedang pulang dan menjemput David, sedangkan Jordan sedang mencari sarapan.
"Juli, kamu bangun Sayang?" Tesa berhasil meraih tubuh Juli yang di hujani peluh dingin, Juli mimpi buruk, itu yang Tesa tebak.
Tesa mengusap wajah penuh keringat itu, dia kemudian duduk ditepi brankar, sambil satu tangan menggenggam tangan Juli yang gemetaran. "Tenang Sayang, Ibu disini." Tesa mencoba menenangkan Juli agar tidak panik.
Juli belum bergeming, sesaat dia memutar pandangan. Menyapu seluruh ruangan yang bernuansa putih itu dengan tatapan bingung. Bisa dipastikan, itu adalah kamar sebuah rumah sakit. Tebakan Juli tentu benar.
"Kenapa aku dibawa kesini? Aku kan tidak sakit, Bu?" tanya Juli. Tentu saja saat ini Tesa masih bisa merasakan bagaimana tubuh Juli masih bergetar hebat. "Aku mau pulang ...," pinta Juli.
"Tunggu sampai kamu pulih, Sayang." Tesa mengusap lembut wajah pucat itu.
"Aku mau pulang, Bu!" suara Juli meninggi, tangan dalam genggamanpun sudah dia kibaskan dengan cepat. "Ayo kita pulang!"
Tesa berdiri. "Iya, iya. Kita pulang. Ibu panggilkan dokter. Kamu harus di periksa terlebih dulu." Tesa berlari keluar setelah mendapat anggukan dari Juli.
Di depan pintu, saat Tesa hendak menutup pintu, dia berpapasan dengan Dion dan David. Mereka sama-sama terkejut. Apalagi saat melihat rasa panik di wajah Tesa.
"Ada apa, Bibi? Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Dion sambil mendaratkan tangan di kedua pundak Tesa.
Menunjuk ke arah lain, Tesa menjawab, "Panggilkan Dokter, sekarang. Juli sudah sadar."
"Juli sudah sadar?" Batin David. Rasa lega langsung menyelimuti hatinya saat ini.
"Jadi Juli sudah sadar?" Dion memastikan. Tesa mengangguk cepat.
"Kalau begitu, biar Aku yang panggilkan Dokter." Tanpa menunggu persetujuan, David sudah berlari mencari dokter yang menangani Juli.
Sementara David sedang memanggil dokter, Tesa dan Dion bergegas masuk menghampiri Juli lagi.
"Bagaimana, Bu?" Juli bertanya. Masih dalam posisi semula, kini Juli terlihat tengah memainkan ujung bajunya.
Tesa dan Dion mendekat. "Sebentar lagi. David sedang memanggil Dokter."
"Bagaimana keadaanmu? Sudah mendingan bukan?" tanya Dion. Juli hanya merengut.
"Pulang dan lekas membuat onar di rumah, Aku merindukan hal itu." Dion terkekeh. Sadar atau tidak, perlahan senyum dibibir Juli terlihat mengembang. Tesa yang meliriknya pun ikut terkejut.
"Kamu tidak pantas ditempat seperti ini, yang ada watakmu yang brutal bisa menciut. Ingat itu." ocehan terus keluar dari mulut Dion, membuat Juli tampak merengut. Tesa yang sedang berbenah hanya mengulum senyum.
Masih dalam suasana yang sedikit mulai mencair, terdengar suara pintu dengan kaca persegi ditengah terbuka. Jordan, David beserta dokter yang menangani Juli masuk kedalam.
Dion dan Tesa lantas menyingkir, membiarkan dokter wanita itu memeriksa keadaan Juli. Tesa mendekat kearah sang suami, dia lantas merangkulkan tangan sambil menyender pada pundak.
Dion dan David berdiri dibelakang Jordan dan Tesa, saling berbisik sambil menunggu Juli selesai diperiksa.
"Apa dia baik-baik saja?" tanya David, kepalanya miring lebih dekat kearah pundak Dion.
"Kamu tenang saja, Nona mudamu baik-baik saja." Dion lantas terkekeh, membuat David menyingkir sambil berdecak.
"Nona Juli bisa pulang. Keadaannya sudah membaik, tidak ada yang perlu di khawatirkan." dokter itu menjelaskan.
Keempat orang di hadapan sang dokter langsung bernapas dengan lega.
Apa yang terjadi kemarin, biarlah terjadi. Tidak ada yang bisa mengelak. Biarkan itu menjadi sebuah pengalaman buruk dalam hidup Juli. Bisa menerima atau tidak, pikirkan saja nanti.
"Sini Sayang, Ibu bantu." Tesa membantu Juli berganti pakaian.
Jangan berpikir macam-macam, di ruangan itu hanya tersisa Tesa dan Juli saja. Para lelaki sudah menunggu diluar sana. Yang satu menunggu di mobil, sedangkan dua pria lainnya menunggu didepan pintu.
Satu persatu, pakaian itu berhasil menelusup, membalut semua tubuh Juli. Bau asem, tidak masalah. Nanti bisa dilap setelah sampai dirumah. Yang terpenting saat ini, Juli bisa segera sampai dirumah karena memang itu keinginannya.
"Sudah?" Tesa memastikan.
Juli mengangguk. Perlahan, dua kakinya turun bergantian menapak di atas lantai. Sempat sempoyongan, tapi dengan sigap, kedua tangan Tesa langsung meraih dan menggenggam dengan erat tubuh putri semata wayangnya itu.
"Pelan-pelan saja."
"Sudah Bu. Tidak perlu memegangiku terlalu erat. Aku bisa jalan sendiri," ucap Juli santai. Kedua tangan ibupun Juli singkirkan.
"Bisa bagaimana? Jelas-jelas tadi kamu sempoyongan." Tesa membentak. "Sini Ibu bantu kamu berjalan." Tesa meraih lengan Juli lagi, tanpa peduli wajah cemberut yang terpampang dari wajahnya.
"Sini Ayah bantu." Jordan bergegas meraih lengan Juli sebelah kiri.
"Ish!" gertak Juli. "Aku bisa jalan. Tidak perlu sampai dituntun-tuntun." Juli menyingkirkan lengan ayah, genggaman tangan Tesa pun akhirnya menyingkir.