Bab 3 Welcome Baby
Seminggu setelah kejadian itu hidup Febri rasanya hancur. Luluh lantak berantakan apalagi..
Apalagi keperawanannya sudah tidak ia miliki.
Masa depannya hancur, dia bukan gadis suci. Bukan gadis baik yang menjaga dirinya sendiri untuk suaminya kelak.
Gadis hasil perkosaan paksa.
Dia takut, Febri ketakutan. Setiap malam tubuhnya gemetar tak karuan. Napasnya terengah cepat dan memburu jika sang ibu mematikan lampu kamarnya.
Setiap malam dia akan bermimpi buruk. Memimpikan bagaimana dengan jijiknya ia mendesah, menerima setiap rangsangan yang diberikan oleh Jayendra sebelum dirinya pingsan.
Memimpikan bagaimana adegan mereka ditonton oleh tiga lelaki yang lain dan memimpikan bagaimana Kevin dengan santainya bilang jika lelaki itu dan Gio menggilirnya ketika pingsan. Sedangkan Liam hanya tertarik untuk mencicipi bibirnya saja.
Febri benci, benci mengetahui fakta bahwa ia lemah. Sangat lemah dengan apa yang diberikan semua lelaki itu.
Kini hidupnya tidak lagi mempunyai warna. Semuanya seakan terasa gelap baginya. Ditambah seminggu ini dia merasa seperti orang gila yang depresi namun ditahan sendiri.
Febri tidak mungkin menceritakan ini pada ibunya atau ayahnya. Dia memendamnya sendiri hingga tubuhnya jatuh sakit.
Panas menggigil dengan mimpi buruk yang selalu datang.
Dia menolak keras jika sang ibu berniat memandikannya. Karena Febri langsung merosot jatuh di lantai kamar mandi saat melihat ruam merah dari dada hingga paha. Terpahat apik.
Dia menangis dalam diam, enggan memiliki hidup namun takut akan kematian. Febri bingung. Dia adalah satu-satunya putri yang dimiliki ayah ibunya.
Satu-satunya kebanggaan dengan semua prestasi yang selalu ia raih dari sekolah dasar hingga menengah atas seperti ini.
Namun sekarang, rasanya untuk tersenyum saja dirinya tidak mampu.
Hanya tangisan yang selalu keluar. Matanya membengkak, berat badannya merosot drastis, pipinya tirus dengan mata panda yang jelas terlihat.
Febri absen sekolah dan kini sudah menginjak hari ke sepuluh. Dirinya enggan, terlalu malu pada Tuhan dan kedua orang tuanya jika ia adalah gadis menjijikan.
Dia berdosa, dia kotor.
Namun harus apa? Mengembalikan waktu bukanlah kekuatannya.
Jika saja..
Jika saja..
Kata itu terus terulang setiap kali dia menyesal dan memimpikan adegan di dalam ruangan roftoop itu.
"Nak?"
Pintu terketuk dari luar. Dengan cepat Febri mengusap kasar kedua matanya yang basah. Badannya langsung beringsut tidur dan memunggungi pintu sembari ditutup selimut.
Ibunya masuk, membawakan potongan buah agar anaknya makan dan mempunyai tenaga selain asupan bubur dan obat.
Namun helaan napas harus ia keluarkan. Sang anak tidak menyentuh buburnya sama sekali. Plastik obat masih tersegel rapi seperti sedia kala.
Buburnya mendingin saat tangannya terulur menyentuh mangkuk. Bahkan air minum itu sama sekali tidak berkurang.
"Nak, makan, ya. Paksain walau pahit." Ucapnya lembut. Duduk dipinggir ranjang. Mengelus rambut panjang sang anak yang memunggunginya.
"Kalau gak mau bubur terus maunya apa? Nanti biar Ibu belikan."
Bukan tak merasa, bukan juga tidak curiga. Marlina, ibu Febri sangat tahu jika anaknya sedang merasa tertekan dan ketakutan akan sesuatu. Setiap malam dia selalu mendengar isak tangis lirih anaknya ketika melewati kamar ini.
Namun ketika ia bertanya, selembut apapun nada yang ia gunakan. Tak akan ada jawaban yang keluar dari mulut anaknya.
Febri seakan mengelem mulutnya sendiri dan memilih menggeleng. Begitupun dengan suaminya yang hanya bisa menghela napas.
Ketika mereka memutuskan untuk mencari tahi penyebabnya, bisa saja tekanan dari sekolah namun ternyata nihil. Bahkan Febri dikenal anak yang baik dan memiliki cukup banyak teman. Apalagi Febri adalah ketua kelas.
17
Anaknya yang ceria dan selalu tersenyum kini meredup. Entah karena apa.
Lalu selintas pemikiran ada dibenak suami istri itu.
Apa mungkin Febri putus cinta?
Karena bisa jadi, apa yang Febri lakukan selama beberapa hari ini menyakinkan mereka jika anaknya dalam fase dewasa.
Karena apapun itu, Marlina hanya bisa berdoa supaya anaknya tidak bertindak gegabah.
Karena tidak ada jawaban sama sekali Marlina pergi dari kamar sang anak. Suara pintu tertutup membuat Febri membalikkan badan. Dia menghela napas panjang yang berat.
"Maafin Febri Bu.." ucapnya serak Dirasa cukup untuk beristirahat, hari ini Febri memutuskan untuk berangkat sekolah. Sudah dua minggu lamanya dan itu bisa membuatnya ketinggalan pelajaran.
Dia sudah kelas dua, Febri tak ingin mengecewakan ayah dan ibunya karena nilanya yang turun sedangkan masalah kemarin saja dia hanya diam tanpa mau mengatakan apapun.
Rumah sudah sepi saat ia keluar dari kamarnya. Ayah sudah berangkat bekerja begitu juga sang ibu yang berdagang di salah satu kios pasar.
Febri juga tidak bicara akan pergi sekolah hari ini. Untungnya sang ibu sering menyelipkan bekal di meja belajarnya ketika malam hari dan sarapan pun sudah tersedia.
Febri tersenyum getir, mencoba menahan air mata yang sebentar lagi akan lolos. Dua minggu ini dia habiskan untuk menunggu.
Apa yang dilakukan Jayendra besar kemungkinan jika dirinya bisa saja hamil. Tapi untungnya, hari ini dia sedang datang bulan. Febri merasa lega luar biasa.
Sarapan yang dibuat sang ibu akan ia jadikan bekal. Jadi nanti dia tidak perlu keluar kelas hanya untuk makan.
Setelah semuanya siap Febri memutuskan untuk pergi dengan ojeg saja. Kebetulan tak jauh dari rumahnya ada pangkalan ojeg.
Sampai di sekolah Febri mengeratkan topi yang sedang ia kenakan. Hari ini dia memakai hoddie besar berwarna abu dengan topi hitam dan juga masker untuk menutupi wajahnya.
Entah kenapa Febri merasa malu luar biasa. Padahal ruam merah yang menghiasi leher hingga paha sudah tidak berbekas sama sekali.
Saat di kelas kedatangannya menjadi pusat perhatian. Febri menghentikan langkahnya didepan kelas dengan gerakan kaku.
"Yo." Katanya canggung sembari mengacungkan tangan.
"Astaga Febri?!"
Kania, salah satu teman dekatnya menjerit dari bangku dengan tatapan tak percaya. Lalu yang lainpun akhirnya mengenali kalau itu adalah Febri.
"Buset, kemana aja lo selama dua minggu? Udah bertelornya?"
"Kenapa gak pernah mau dijengukin, sih? Belagu lo."
"Gimana Feb, udah sehat?"
"Sakit apaan sih lo? Sampe gak mau di jengukin segala?"
Pertanyaan berentet itu datang saat Febri memutuskan untuk duduk. Mejanya kebetulan ada didepan guru paling pojok dekat dinding.
Febri mencoba tenang seraya melepaskan tas, masker dan juga topi. Dia tersenyum canggung.
"Gue.. gue gak mau kalian ketularan aja. Lagian malu banget, gue kalau lagi sakit jeleknya minta ampun." Diakhiri dengan kekehan kecil.
Semua teman-temannya mencebik kesal, memang selama di rumah Febri sudah umumkan di grup kelas agar tidak ada yang menjenguknya sama sekali. Dan ketika ada yang datang ke rumah maka dia akan mengunci pintu.
"Sial, sejelek apa sih lo. Nyebelin banget, padahal gue udah niat-niatin beli kue brownis siapa tau lo langsung sehat." Puji berkelakar. Dia salah satu yang menjenguk Febri waktu itu.
"Eh, jangan lupain gue bawa buah semangka sama melon segede apaan. Mana di tolak sama emak lu. Balik ke rumah gue diledekin sama nyokap tumben banget beli begituan." Kania juga menimpali.
Febri hanya meringis canggung tak enak hati saat mendengarnya, dia juga menunduk malu.
"Maafin, dong. Sekarang kan gue udah sehat. Berkat doa kalian juga. Makasih, ya." Katanya dengan cengiran lebar.
"Lu ketinggalan banyak pelajaran anjir."
"Tugas numpuk, sama ulangan dadakan juga banyak. Mantep lu nangkring di ruang guru."
Yang lain terkikik geli, Febri hanya tersenyum saja melihat mereka.
"Wajah lo pucat banget, yakin udah sehat?" Tanya Riska.
Febri mengangguk yakin, "tenang aja. Efek makan obat ya begini."
Jangankan makan obat, makan nasipun dia jarang. Makanya pucat dan berat badannya turun secara drastis. Saat ingat itu Febri langsung meringis lagi.
"Eh, gue mau tanya, nih." Selin menepuk lengannya pelan. Gadis itu mendekatkan kepalanya hingga yang lainpun ikutan. "Saat terakhir guru nyuruh lo buat anterin buku lo kemana? Hilang ditelan bumi, yang paling ngagetin itu. Ada kak Kevin minta izin ke kelas kita katanya lo sakit."
"Bener!" Seru Kania, "gue juga penasaran. Kok bisa lo sama Kak Kevin, diam-diam lo punya hubungan?"
Febri terdiam, badannya langsung kaku dan ingatan ketika di ruangan rooftop kembali hadir. Semuanya, tanpa terkecuali sampai dia pingsan dan dia antarkan ke rumah. Itu juga Kevin yang buat.
"Ah, mm.. g-gue gak sengaja ketemu dia pas mau pingsan. J-jadi dia yang nolongin gue. S-soalnya, soalnya hidung gue berdarah kepentok dinding." Mata Febri meliar mencari alasan. Badannya langsung merinding tak karuan.
Tapi untungnya mereka semua percaya, teman-temannya mengangguk paham.
Dan Febri langsung lega karena hal itu.
"Baik juga tu orang. Gue kira dia cuma tau ngebully sama bikin onar aja." Celetuk Puji. Tangannya langsung di tampar oleh Selin.
"Hush, dia denger tau rasa lo. Bisa-bisa lo dijadiin rempeyek sama dia."
Puji yang di tegur hanya cengengesan. Mereka langsung bubar saat bel pertama berdering nyaring. Febri lega lagi, dia menghela napas panjang dan masih memakai hoddie.
Pelajaran berjalan lancar. Setiap guru yang mengajar selalu bertanya apakah ia sudah sehat dan juga memberitahukannya soal ulangan dadakan serta tugas yang membuat nilainya tertinggal jauh dengan yang lain.
Jadi dua pelajaran sebelum istirahat, para guru itu memintanya untuk ke ruang guru. Febri mengangguk paham. Jadi saat istirahat ketika yang lain ke kantin dia berjalan sendirian ke arah ruang guru.
Berjalan tenang sesekali menatap kesana kemari. Saat sampai dia diminta mengerjakan beberapa soal ulangan dadakan. Langsung di tempat.
Untungnya Febri paham beberapa dan ada sedikit yang asal ia jawab. Alhasil dua jam pelajaran setelah istirahat ia gunakan waktunya di ruang guru. Dan dia izinkan untuk tetap disana oleh guru yang berikutnya akan mengajar.
Setelah selesai Febri berpamitan pada salah satu guru disana dan juga meraih catatan yang isinya tugas-tuga dari beberapa pelajaran.
Matanya masih meneliti kertas tugas itu. Lumayan banyak hingga dia menghela napas panjang. Kepalanya terasa berdenyut namun masih ia tahan.
Febri berbelok ke arah toilet lebih dulu sebelum ke kelas. Masih ada 25 menit lagi sebelum bel pelajaran berakhir.
Di toilet sangat sepi. Febri langsung masuk ke dalam salah satu bilik. Menuntaskan hal pribadinya dan keluar untuk mencuci tangan di wastafel.
Namun gerakan dan langkahnya harus terhenti kala melihat 4 orang yang sangat ia hindari.
Liam menyender di depan pintu sambil bersidekap dada. Tak jauh dari dinding pintu ada Gio yang juga menyender dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.
Kevin duduk diatas wastfel sedangkan Jayendra menyender di dinding dekat wastafel.
Febri tergagap kehilangan napas, langkahnya mundur dan tangannya segera mencari pegangan karena mendadak kedua kakinya lemas.
"K-kalian.." lirihnya pelan. Matanya meliar enggan menatap keempatnya.
"You look like healty, baby." Gio menyapa terlebih dahulu dengan senyuman lebar.
"Udah sehat sayang? Kita kangen." Sambung Kevin. Kedua yang tidak berkata hanya tersenyum miring.
Febri menggeleng keras, dia menunjuk mereka satu persatu.
"Mau apa kalian, hah?! Sudah cukup untuk yang waktu itu. Aku gak mau lagi!" Serunya keras. Matanya berkaca-kaca dengan gemetar yang ketakutan
Jayendra melangkah mendekatinya.
Memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana dan membungkuk mensejajarkan kepala mereka.
"Cukup untuk hari itu, untuk hari lainnya tentu tidak. Dan jangan lupakan satu hal tentang ini manis. Jangan pernah berharap dapat lolos dari kita berempat." Jayendra menegakkan tubuhnya, mundur dua langkah sembari sedikit merentangan kedua tangannya.
"Welcome baby, you are one of our members." Lanjutnya lalu terkekeh serak. Tak lupa dengan kilata bahaya dari kedua matanya.
Febri kembali menggeleng, dia terisak lebih kencang.
Kini, harusnya ia tahu kalau dirinya sudah menjadi mainan yang tidak mungkin dilepas begitu saja oleh mereka.
BERSAMBUNG